Liputan6.com, Jakarta - World Bank atau Bank Dunia di Indonesia merilis data terkait dampak belajar online selama pandemi COVID-19 kepada kemampuan belajar anak. Ternyata, dampak belajar online tidak bisa digeneralisasi, pasalnya siswa miskin kena dampak paling parah.
"Sebelum pandemi COVID-19, krisis pembelajaran sudah terjadi di seluruh dunia, dan selama pandemi, krisis ini semakin mendalam. Penurunan kemampuan akibat COVID-19 juga memperburuk ketidaksetaraan antar negara, yang dapat berdampak negatif terhadap pendapatan serta produktivitas negara di masa depan," tulis pernyataan Bank Dunia, dikutip Senin (26/6/2023).
Advertisement
Menurut catatan Bank Dunia, pandemi COVID-19 mengharuskan Indonesia menutup sekolah hingga 650 hari (lebih dari 21 bulan). Hal itu relatif lama di antara Negara Berpenghasilan Menengah ke Bawah dan negara Asia Tenggara lainnya.
Studi terbaru Bank Dunia kemudian membandingkan kemampuan siswa SD kelas 4 pada sebelum pandemi (2019) dan setelah pandemi reda (2023).
Hasilnya, siswa kelas 4 SD di Indonesia pada tahun 2023 kehilangan keterampilan matematika setara 11,2 bulan. Keterampilan bahasa berkurang setara 10,8 bulan dibandingkan dengan siswa kelas 4 SD pada tahun 2019.
Akses Teknologi Tidak Merata
Bank Dunia mencatat siswa miskin menghadapi dampak yang lebih parah dari belajar online. Salah satu penyebabnya adalah akses internet yang tidak mumpuni.
Ekonom Senior Bank Dunia Shinsaku Nomura membenarkan bahwa anak-anak yang sering memakai internet lebih tidak terdampak loss learning.
"Mereka yang sering memiliki akses internet lebih sedikit terdampak dari learning losses. Dan mereka yang tidak memiliki akses internet mendapat learning losses yang lebih besar," ujar Shinsaku Nomura di Jakarta, Jumat (24/3).
Berdasarkan temuan Bank Dunia, siswa dari keluarga miskin/berpenghasilan rendah mengalami dampak yang lebih besar, dengan kehilangan sebesar 18,1 dan 27,2 bulan pembelajaran matematika dan bahasa, mengakibatkan melebarnya ketimpangan hasil belajar.
"Lama jam pembelajaran, akses rumah tangga ke internet, maupun pengalaman masalah kesehatan atau kematian seseorang yang dekat juga berkorelasi dengan hasil pembelajaran yang lebih rendah dan/atau penurunan kemampuan belajar yang lebih besar," tulis keterangan Bank Dunia.
Masalah Kompleks
Ketika ditanya apakah berarti akses teknologi menjadi masalah utama gagalnya belajar online, Ekonom Senior Bank Dunia Shunsaku Nomura menjelaskan bahwa masalahnya cukup kompleks.
Seperti diketahui, sebelum pandemi belajar online umumnya diajar oleh para milenial melalui platform-platform online. Pandemi membuat para guru-guru umumnya untuk ikut mengajar online.
Nomura mencontohkan ada kasus guru-guru yang memilih mengunjungi rumah-rumah untuk membagikan PR.
Sebetulnya ada kuota internet dari pemerintah untuk belajar online, namun Nomura mengutip survey bahwa hanya sekitar 50 persen yang menggunakannya. Permasalahannya pun bisa saja berada di sisi murid atau gurunya.
Nomura pun berkata dampak learning loss di bidang matematika dan bahasa ini berpotensi pada dampak anak-anak di masa depan, seperti dalam faktor finansial.
"Dengan menggunakan Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2014, yang menunjukan relatif lebih rendahnya pendapatan individu dengan kemampuan matematika yang lebih rendah, hilangnya pendapatan diperkirakan dapat mencapai 30,9 persen untuk laki-laki dan 39,2 persen untuk perempuan dibandingkan jika tidak adanya pandemi. Kebijakan pemulihan belajar oleh pemerintah dapat mengurangi kerugian tersebut di masa mendatang," tulis keterangan Bank Dunia.
Advertisement