Liputan6.com, Jakarta Teknologi Informasi dan Komunikasi (Information Communication and Technology-ICT) memiliki pengaruh yang besar (significant) atas perkembangan ekonomi global. ICT mampu mengeskalasi, mengintegrasikan dan mengotomasi roda perekonomian dunia sehingga lebih produktif, efektif dan efisien.
Hal tersebut dimungkinkan karena Keunggulan ICT dapat berupa jangkauan yang lebih luas, lebih fleksibel, lebih aman dan nyaman, lebih sederhana, lebih transparan, lebih selektif, lebih murah dan efektif sehingga hal tersebut berdampak pada berkembang pesatnya ekonomi digital sebagai bagian dari perekonomian global.
Advertisement
Timbulnya model dan proses bisnis baru berbasis digital seperti eCommerce, start-up, financial technology, virtual currency, gig and sharing economy, membuatnya berbeda dengan bisnis konvensional karena karekter dan ciri khas ekonomi digital yaitu mass without scope, relliance on Intelectual Property dan User Participation and Data Mining.
Ciri khas yang pertama yaitu mass without scope artinya aktivitas bisnis berbasis digital tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kegiatan bisnisnya dapat dilakukan dari berbagai lokasi/tempat (seperti rumah, kantor, ruko) dalam jangka waktu 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.
Ciri khas kedua yaitu relliance on intellectual property berarti sebahagian besar harta korporasi berbasis digital berbentuk intangible assets seperti copy rights, patent dan knowhow.
Hal tersebut berbeda bila dibandingkan dengan perusahaan yang konvensional dimana aset terbesarnya berupa harta tetap (fixed assets) seperti tanah dan/atau bangunan, mesin dan kendaraan.
Ciri khas ketiga yaitu user participation and data mining dimana kedua komponen tersebut merupakan faktor yang krusial dalam melakukan valuasi atas nilai suatu perusahaan berbasis digital. Selain itu kedua komponen tersebut merupakan aset yang berharga agar dapat survive dan bersaing dalam lingkungan ekonomi digital.
Ibaratnya sebuah uang koin, dampak kemajuan ICT terhadap otoritas pajak dapat menimbulkan pengaruh positip disatu sisi maupun negatip pada sisi lainnya.
Pertama, kecanggihan ICT misalnya blockchain technology telah banyak dimanfaatkan oleh otoritas pajak untuk memodernisasi administrasi perpajakan. Pembaruan administrasi perpajakan antara lain meliputi struktur organisasi, sistem informasi perpajakan, metode kerja dan proses bisnis serta pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM).
Tujuan reformasi administrasi pajak adalah untuk meningkatkan kemampuan otoritas pajak dalam memberikan pelayanan prima (excellent services) dan pengawasan terhadap kepatuhan pembayar pajak (taxpayer compliance) sehingga memberikan tambahan penerimaan pajak yang significant dan meningkatkan tax ratio.
Selain itu dengan ICT, pertukaran informasi keuangan (Exchange of Information) berdasarkan permintaan, spontan dan secara otomatis dapat dilakukan oleh otoritas pajak dari banyak yurisdiksi sehingga outcome yang dihasilkan yaitu otoritas pajak dari masing-masing yurisdiksi dapat mengadministrasikan penerimaan secara efektif.
ICT secara khusus dapat mendorong terwujudnya keterbukaan informasi keuangan secara global untuk tujuan perpajakan. Kemajuan ICT juga menekan beban administrasi (low tax administrative cost) bagi otoritas pajak karena proses bisnisnya terotomasi, sederhana dan terkoneksi satu dengan lainnya, mulai dari pelayanan perpajakan (seperti registrasi, pembayaran, pelaporan, keberatan dan banding), penyuluhan dan penegakan hukum (pemeriksaan dan penagihan).
Selain itu, bagi pembayar pajak hal tersebut akan menimbulkan biaya kepatuhan yang murah (low compliance cost) karena kemudahan yang diperolehnya dalam pemenuhan kewajiban dan haknya dibidang perpajakan. Kedua yaitu dampak disruptif yang timbul dari ICT antara lain kekosongan hukum pajak internasional regulasi perpajakan internasional yang mengatur perlakuan perpajakan atas transaksi ekonomi digital.
Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan perang dagang (trade war) karena masing-masing yurisdiksi merasa memiliki hak untuk memajaki income atas transaksi produk dan jasa digital atau sering disebut Digital Services Tax (DSTs).
Misalnya unilateral measures yang dilakukan oleh India, Perancis, Italia dan Austria. Sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty), pengenaan pajak berganda (double taxation) dan mendistorsi aktivitas perdagangan internasional (international trade distortion).
Dampak disruptif lainnya adalah eskalasi globalisasi ekonomi yang dipicu oleh kemajuan ICT dapat menimbulkan tantangan dan permasalahan perpajakan (tax matters and challanges derived from digitalization) seperti harmful tax competition antar yurisdiksi untuk memperebutkan investasi global yang terbatas.
Selain itu, aktivitas underground economy (seperti illegal logging, fishing and mining, illicit fund, bitcoin) akan semakin luas dan complicated karena dipengaruhi oleh kemajuan ICT. Hal tersebut dapat menggerus kapasitas administrasi perpajakan dari suatu otoritas dan dapat menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak (tax revenue forgone).
Guna mengatasi tantangan dan permasalahan perpajakan global yang timbul dari ICT tersebut, kerja sama, kolaborasi dan perjanjian perpajakan internasional merupakan alternatif solusi yang efektif.
Perjanjian perpajakan internasional (Multilateral Convention) diperlukan untuk mendapatkan konsensus bersama atas ketentuan mengenai perlakuan pajak atas kegiatan ekonomi digital misalnya pilar 1 (satu) tentang konvensi multilateral untuk Digital Services Tax (DSTs) dan pilar 2 (dua) tentang Global anti Base Erosion and Profit Shifting (GloBE).
Kerja sama dan kolaborasi internasional dibutuhkan untuk membangun kesetaraan administrasi perpajakan modern diantara sesama yurisdiksi agar mampu menjaga basis pemajakannya masing-masing dari praktik perencanaan pajak yang agresif atau sering disebut Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Oleh: John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja pada Direktorat Jenderal Pajak sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.