Liputan6.com, Jakarta - Kontroversi RUU Kesehatan pasal zat adiktif terus berlanjut di tengah proses pengesahan aturan tersebut. Selain disamakannya tembakau dengan narkoba yang menimbulkan ketidaksetujuan dari berbagai pihak, kini pasal 156 dalam RUU tersebut yang mengatur tentang standarisasi kemasan produk tembakau, juga menimbulkan pertanyaan besar.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa menteri kesehatan lewat aturannya akan menjadi pihak yang berwenang untuk menentukan jumlah batang dalam kemasan rokok, bentuk serta tampilan kemasan. Hal ini tentu menciptakan tanda tanya, lantaran aturan-aturan terkait hal tersebut sebelumnya berada pada ranah Kementerian Keuangan dan Kementerian Industri.
Wacana perpindahan wewenang ini tampaknya didorong hanya pada satu tujuan, melemahkan industri rokok. Padahal keberadaan sebuah industri semestinya dilihat dari banyak perspektif dan tujuan, seperti kesinambungan ekonomi, pertanian, tenaga kerja, dan lain sebagainya.
Baca Juga
Advertisement
Penyusunan RUU Kesehatan ini jelas menjadi babak baru dari upaya Kementerian Kesehatan mengakuisisi semua kewenangan lembaga pemerintah lainnya terhadap kebijakan pertembakauan yang selama ini selalu dipatuhi oleh industri, seperti standardisasi kemasan dan kandungan pada nikotin-tar, pembatasan ruang display produk, bahkan perkara ruang konsumsinya pun mengalami diskriminasi.
Kemenkes juga terus berupaya mempersempit ekosistem IHT dalam berusaha dengan mendesak revisi PP No. 109 Tahun 2012 yang berinduk pada UU Kesehatan No.36/2009. Salah satunya mendorong usulan porsi peringatan bergambar pada kemasan rokok yang ditambah hingga 90 persen.
Kemenkes sebagai pengusul RUU Kesehatan, maka aturan standarisasi kemasan akan membuka jalan bagi kementerian tersebut memperluas kewenangannya, termasuk dalam mendorong usulan perluasan gambar peringatan pada kemasan rokok.
Jika RUU ini resmi disahkan, maka akan berdampak panjang pada seluruh elemen ekosistem pertembakauan. Masa depan ekosistem tembakau pun sudah tentu akan hilang dengan cepat secara legal.
Ekosistem tembakau juga bukanlah pihak yang anti aturan, bahkan sektor ini sangat patuh terhadap regulasi. Tidak hanya itu, tembakau terus berkontribusi terhadap penerimaan negara dengan rata-rata 10 sampai 13 persen dari porsi APBN selama lima tahun terakhir.
Sikap pemerintah seperti menampik sumbangsih tembakau terhadap perekonomian masyarakat, penyerapan jutaan tenaga kerja dan timbal balik terhadap kesehatan melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi kontribusi cukai rokok kedua terbesar berada di bidang kesehatan sebesar 40 persen.
Sudah saatnya pemerintah dan wakil rakyat juga memberikan kesempatan ekosistem pertembakauan ini dapat bertahan, diberi perlindungan dan jaminan keberlangsungan.
Sampai dengan saat ini ada sekitar 300 regulasi tingkat lokal dan pusat yang mengelilingi ekosistem pertembakauan. Saat pasal ini muncul yang menyebutkan standarisasi kemasan akan diatur oleh Menteri Kesehatan, otomatis akan bertentangan dengan aturan yang telah ada.
Terkait praktiknya, AMTI pun menilai pembentukan RUU Kesehatan ini mengabaikan praktik keterbukaan dan partisipatif. Sejak awal pemangku kepentingan ataupun elemen ekosistem pertembakauan tidak diberi kesempatan untuk memaparkan realita yang terjadi saat ini, sekalipun Kemenkes sebagai pemrakarsa menyebutkan telah dilakukannya public hearing dengan para pemangku kepentingan.
(Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono)