Liputan6.com, Jakarta Peneliti Sigmaphi, Faishal Rahman mengatakan bahwa penting untuk memperhatikan sistem upah bagi pekerja informal dalam negeri. Sistem upah saat ini belum mengarah kepada pekerja informal, melainkan pekerja formal.
"Selama ini sistem upah kita lebih meregulasi pekerja formal. Melalui kontrak, peraturan tenaga kerja, kenaikan upahnya juga sudah ditentukan, saat ini juga sudah ada revisi dari Omnibus Law, dan itu juga sudah ditentukan," kata Faisal dalam webinar Diskusi dan Bedah Buku Kekuasaan, Kesejahteraan, dan Perubahan Teknologi pada Selasa (27/6/2023).
"Karena kalau melihat kondisi pekerja saat ini, memang jumlah pekerja informal meningkat. Sebelumnya 57 sampai 58 persen, terakhir pada Februari 2023 sudah menyentuh 60 persen," paparnya.
Tetapi bila dilihat dari efisiensi, perusahaan, perkembangan teknologi, serta ketidakpastian global, menurut Faishal, penetapan upah belum cukup menjadi perhatian.
Persoalan ini mulai diamati kembali tentang bagaimana, dan apakah upah sudah dibagi dengan cukup adil, cukup, baik dari pekerja maupun perusahaan.
"Terlebih pasar tenaga kerja kita (di Indonesia) yang sangat besar, jumlah pencari kerja juga sangat banyak," ujarnya.
Faishal menyebut, hal ini membuat perusahaan bersikap santai jika kehilangan satu (pekerja maka akan mecari pekerja lain.
"Kalau memang Pemerintah harus menjamin sesuai undang undang yang sudah diamanatkan, mungkin pekerja informal masih harus menjadi perhatian," tambahnya.
Teknologi Dukung Pekerja
Pekerja memeriksa kualitas komponen otomotif di pabrik PT Dharma Polimetal (Dharma Group), kawasan Delta Silicon, Cikarang. Perusahaan manufaktur komponen otomotif optimistis perpanjangan PPnBM dan tren penjualan kendaraan roda empat (4 wheeler/4W) yang mulai positif. (Liputan6.com/HO/Dharma)
Adapun Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menyarankan bahwa investasi yang masuk ke dalam negeri dapat dialih teknologikan untuk mendukung tenaga kerja dalam negeri.
Bhima membeberkan salah satu contoh seperti kerja sama konsorsium antara Indonesia dan China dalam pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung.
"Dari alih teknologi itu bisa tercipta lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal. Tapi kalau kita mau lanjutkan bangun Kereta Cepat Jakarta Surabaya, cukupkan kerja sama dengan Tiongkok, cukupkan investor dari luar, kecuali mungkin pendanaannya,' kata Bhima.
"(Bisa) mulai mengambil kontraktor, tenaga kerja, bahan bahan dan teknologi kereta cepat Jakarta Bandung di transfer pada BUMN misalnya, atau swasta nasional," jelasnya.
"Spill over dan multi effectnya bisa menguntungkan ekonomi dalam negeri," tambah Bhima.
Advertisement