Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Perumahan tengah menyelesaikan pembangunan dan perbaikan 31 unit rumah bantuan, dalam rangka penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Aceh.
Pembangunan 31 rumah ini sejalan dengan peluncuran program pemulihan hak-hak korban Pelanggaran HAM masa lalu di Aceh yang diinisiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Advertisement
"Sesuai dengan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM berat, maka Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Perumahan memberikan bantuan sebanyak 31 rumah untuk masyarakat terdampak," ujar Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto, Rabu (28/6/2023).
Dilaksanakan 3 Bulan
Iwan menerangkan, pembangunan 31 rumah bantuan tersebut dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan, yakni sejak Juni hingga Agustus 2023.
Anggaran pembangunan rumah bantuan tersebut sebesar Rp 1,98 miliar, tersebar di sejumlah wilayah seperti di Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Selatan.
Sebaran Lokasi
Adapun sebaran lokasi pembangunan berada di Kabupaten Pidie sebanyak 12 unit dengan spesifikasi 12 unit perbaikan rumah, Kabupaten Aceh Utara 3 unit dengan spesifikasi 1 unit perbaikan rumah dan 2 unit pembangunan rumah baru.
Selanjutnya, di Kabupaten Aceh Selatan 16 unit dengan spesifikasi 16 unit pembangunan baru.
“Kami berharap adanya rumah bantuan ini dapat membantu para korban untuk dapat menghuni rumah yang lebih layak dan menjadikannya hidup lebih baik," imbuh Iwan.
Advertisement
Jokowi Pastikan Langkah Yudisial Pelanggaran HAM Berat Tetap Bisa Ditempuh Beriring Pemulihan Hak Korban
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan, langkah yudisial bagi pelanggar HAM berat di masa lalu tetap dilakukan. Menurut dia, hal itu dapat berjalan seiring dengan pemulihan hak korban melalui jalur non-yudisial.
"Saya kira dua duanya bisa berjalan, tapi kita ingin yang non yudisial dulu yang bergerak," kata Jokowi di Pidie, Aceh dalam keterangan daring, Selasa (27/6/2023).
Jokowi menambahkan, langkah yudisial akan ditempuh saat terdapat bukti kuat. Prosesnya dengan melibatkan Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, termasuk Komnas HAM.
"Langkah yudisial itu apabila bukti buktinya kuat, Komnas HAM menyampaikan ke Kejagung, kemudian ada persetujuan dari DPR nanti bisa berjalan," jelas presiden.
12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat
Sebagai informasi, pada tahap awal pemerintah mencatat ada 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan diselesaikan dengan mengembalikan hak-hak para korban melalui jalur non yudisial.
Keduabelas peristiwa tersebut adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985 Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 hingga Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999.
Kemudian, termasuk juga Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003 dan terakhir Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Jokowi memastikan, penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Indonesia telah melalui proses yang lama dan sangat panjang. Untuk itu, dia menyampaikan terima kasih atas kebesaran hati para korban dan ahli waris korban menerima setiap proses yang berjalan.
Jokowi pun yakin tidak ada proses yang sia-sia. Dia berdoa, apa yang dilakukan hari ini bisa menjadi awal yang baik ini menjadi pembuka jalan bagi upaya-upaya untuk menyembuhkan luka-luka yang ada.
"Ini menjadi awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera di atas fondasi perlindungan dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan," Jokowi menutup.
Advertisement