Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) mengungkapkan siap mengimplementasikan rencana redenominasi rupiah Rp 1.000 jadi Rp 1. Bahkan, BI mengaku sudah menyiapkan skenario redenominasi rupiah.
Akan tetapi, ada tiga faktor yang menyebabkan pelaksanaan redenominasi rupiah Rp 1.000 jadi Rp 1 belum dilakukan hingga kini. Pertama soal makro ekonomi Indonesia harus dalam posisi stabil. Kedua, kondisi sosial yang aman. Sedangkan ketiga, faktor kondisi politik yang stabil.
Advertisement
“Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain,tahapannya, sudah kami siapkan semua secara operasional dan langkah-langkahnya,” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo ditulis, Rabu (28/6/2023).
Negara Gagal Redenominasi
Redenominasi ini sebenarnya sudah dilakukan beberapa negara di dunia. Yang sukses, ada Zimbabwe, Turkey, Yunani dan China. Meski demikian, ada juga negara yang dianggap gagal dalam redenominasi mata uangnya.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menyebutkan negara yang gagal tersebut adalah:
- Brazil
- Rusia
- Argentina
Menurut Bhima, mereka gagal karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, kepercayaan terhadap pemerintah rendah, hingga momentum saat ekonomi alami tekanan eksternal.
“Dengan jumlah penduduk dan unit usaha yang cukup besar di Indonesia setidaknya butuh waktu 10-15 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi di buat. Menjelang pemilu risiko redenominasi gagal juga tinggi,” katanya kepada Liputan6.com.
Bhima juga mengingatkan, momentum pemulihan ekonomi sebaiknya dipastikan dengan kebijakan yang kontraproduktif.
Redenominasi yang merupakan penyesuaian terhadap nominal baru akan mempengaruhi administrasi dan akuntansi puluhan juta perusahaan di Indonesia.
Pengertian Redenominasi
Mengutip laman Ivestopedia, redenominasi adalah kalibrasi ulang mata uang suatu negara, yang biasanya dilakukan karena hiperinflasi dan devaluasi mata uang, dimana mata uang lama ditukar dengan yang baru dengan kurs tetap.
Inflasi yang signifikan menjadi salah satu alasan utama suatu negara untuk melakukan redenominasi mata uangnya, alasan lain termasuk desimalisasi atau bergabung dengan serikat mata uang.
Ketika suatu negara menghadapi hiperinflasi, redenominasi menjadi salah satu langkah yang diperlukan karena membutuhkan terlalu banyak catatan lama untuk memfasilitasi perdagangan.
Dalam redenominasi, uang kertas dan koin lama biasanya dikeluarkan dari peredaran dan mata uang baru dikeluarkan. Namun, mata uang lama terkadang kembali beredar dengan nilai tetap terhadap uang kertas baru.
Ketika redenominasi rupiah terjadi, nilai baru ditetapkan untuk uang kertas dan koin baru. Salah satu contoh adalah yang dilakukan Zimbabwe pada tahun 2006, ketika melakukan redenominasi mata uangnya dengan kurs 1.000 dolar Zimbabwe lama menjadi satu dolar Zimbabwe baru.
Advertisement
Redenominasi dalam Kasus Penggabungan Serikat Mata Uang
Selain itu, redenominasi juga dapat terjadi ketika suatu negara bergabung dengan serikat mata uang, salah staunya yang dilakukan zona euro, dan mulai menggunakan mata uang seperti euro, bukan miliknya sendiri.
Pada tahun 1999, ketika euro diperkenalkan, negara-negara anggota pertama kali menggunakan mata uang baru dalam pembayaran dan akuntansi elektronik. Mereka kemudian beralih dari uang kertas dan koin domestik mereka ke euro pada tahun 2002.
Proses ini sebenarnya merupakan redenominasi karena nilai uang kertas negara berubah. Misalnya, pound Irlandia dikonversi dengan nilai 0,787564 pound per euro.
Proses ini sebenarnya merupakan redenominasi karena nilai uang kertas negara berubah. Misalnya, pound Irlandia dikonversi dengan nilai 0,787564 pound per euro.