Liputan6.com, Jakarta Wacana redenominasi mata uang Rupiah kembali mencuat. Meski penerapan Redenominasi Rupiah belum juga berjalan hingga saat ini, namun sebenernya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah.
Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang. Misalnya Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1
Advertisement
Meski belum diterapkan secara sah, namun Redenominasi Rupiah ternyata sudah diterapkan oleh masyarakat. Jika melihat fenomena di masyarakat saat ini, tanpa disadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal.
Jika kita berjalan-jalan di mal, restoran, cafe, atau bioskop, terpampang daftar harga/tarif dengan embel-embel “K” dibelakang digitnya.
Contohnya untuk menu nasi soto ayam dengan harga Rp30.000 per porsi hanya dicantumkan 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu.
"Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar. Misalnya, pedagang buah menawarkan sekilo jeruk dengan harga Rp30.000, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja yang artinya Rp20.000 per kilogram," tulis Kemenkeu dikutip Rabu (28/6/2023).
Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal.
Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari.
Pengertian Redenominasi Rupiah
Melansir dari laman djkn.kemenkeu.go.id, redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.
Secara teknis, uang yang sudah diredenominasi jumlah angkanya akan mengecil tapi nilainya tetap sama. Misalnya dalam pecahan uang Rp10.000, maka tiga angka di belakang akan dihilangkan, penulisannya berubah Rp10 saja dan nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu rupiah.
"Jika kita biasanya membeli susu seharga Rp10.000 per kaleng, setelah redenominasi rupiah, maka harga tersebut berubah Rp10 per kaleng," jelas Kemenkeu.
Advertisement
BI Berencana Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1, Ekonom: Hati-Hati Hiperinflasi
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengungkapkan berbagai keuntungan yang bisa didapat dari aksi Redenominasi Rupiah yang direncanakan oleh Bank Indonesia. Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 dapat meningkatkan efisiensi transaksi keuangan, penyederhanaan laporan keuangan.
Selain itu, Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 juga bisa mencegah kesalahan penghitungan uang tunai karena nominal yang terlalu banyak.
Namun, Bhima menyarankan, perlu adanya penyusunan peta jalan sebelum redenominasi rupiah benar-benar akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Jika BI mau lakukan redenominasi rupiah sebaiknya buat roadmap dulu sehingga masyarakat dan pelaku usaha bisa bersiap,” kata Bhima kepada Liputan6.com, dalam keterangan tertulis pada Selasa (27/6/2023).
Menurut Bhima, redenominasi masih belum tepat dilakukan dalam jangka pendek.
Pertimbangan Sebelum Redenominasi
“Beberapa pertimbangan sebelum lakukan redenominasi yakni stabilitas inflasi harus terjaga. Pra kondisi ideal adalah inflasi kembali ke level pra pandemi dulu atau di kisaran 3 persen. Lebih rendah dari itu lebih bagus,” jelasnya.
Sementara itu, inflasi Indonesia masih di kisaran 4 persen dan sedang dibayangi ancaman el nino yang berisiko menaikkan inflasi.
“Pertimbangan utama jika memaksa redenominasi disaat inflasi masih tinggi adalah kekhawatiran terjadinya Hiperinflasi. Ini dipicu oleh perubahan nominal uang hasil redenominasi mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan pembulatan harga ke atas,” papar Bhima.
“Sebagai contoh, harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp 9.200 kemudian ga mungkin kan jadi Rp 9,5 paska redenominasi, yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp 10. Ada pembulatan nominal baru ke atas. Akibatnya harga barang akan naik signifikan. Ini sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. akibatnya apa? Hyperinflasi yang memukul daya beli,” pungkasnya.
Ada Negara yang Gagal
Kedua, Bhima juga mengingatkan untuk melihat kegagalan redenominasi di Brazil, Rusia dan Argentina karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, kepercayaan terhadap pemerintah rendah, hingga momentum saat ekonomi alami tekanan eksternal.
“Dengan jumlah penduduk dan unit usaha yang cukup besar di Indonesia setidaknya butuh waktu 10-15 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi di buat. Menjelang pemilu risiko redenominasi gagal juga tinggi,” katanya.
Bhima juga mengingatkan, momentum pemulihan ekonomi sebaiknya dipastikan dengan kebijakan yang kontraproduktif.
Penyesuaian terhadap nominal baru akan mempengaruhi administrasi dan akuntansi puluhan juta perusahaan di Indonesia.
“UMKM saja ada 65 juta unit usaha. Alih-alih mau fokus dalam fase pemulihan ekonomi, pelaku usaha akan sibuk mengatur soal nominal harga di barang yang dijual, bahan baku bahkan administrasi perpajakan,” imbuhnya.
“Saya kira momentum redenominasi perlu dikaji secara serius, jangan terburu-buru dan benar-benar ketika kondisi ekonomi sudah stabil. Inflasi stabil, kurs juga tidak fluktuatif berlebihan baru BI dan pemerintah bahas rencana redenominasi,” tambah Bhima.
Advertisement