Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan judicial review (JC) atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). Terutama perihal masa jabatan Ketua Umum Partai Politik.
"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam amar putusannya, dikutip lewat website MK, Rabu (28/6/2023).
Advertisement
Anwar Usman mengatakan, gugatan yang diajukan oleh Muhammad Helmi Fahrozi, E. Ramos Petege, dan Leonardus O. Magai itu ditolak lantaran majelis hakim menganggap gugatan tersebut tidak serius. Sebab tidak menjalankan perbaikan hal yang diminta oleh hakim.
Permintaan perbaikan tersebut telah disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra kepada para pemohon yang diwakili Aldo Pratama Amry ketika sidang perdana perkara Perkara Nomor 53/PUU-XXI/2023, 30 Mei 2023.
“Dalam persidangan tersebut, pada pokoknya Majelis Hakim memberikan nasihat kepada para Pemohon terkait dengan permohonan a quo dan menyampaikan kepada para Pemohon mengenai batas waktu penyampaian perbaikan permohonan," kata Saldi.
"Namun, hingga batas waktu maksimal yang ditentukan tersebut, para Pemohon tidak menyerahkan perbaikan permohonan a quo,” tambah Saldi.
Menurut Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, secara kelembagaan kalau jabatan ketum parpol dibatasi hanya 2 periode, maka akan memberikan ruang kepada kader-kader terbaik partai untuk bisa mengisi jabatan di masa depan.
"Tapi tentu juga akan mengalami pergolakan dari beberapa partai yang merasa dirugikan jika jabatan partai dibatasi dua periode saja karena tidak bisa meneruskannya kepada para anak-anaknya yang ingin bisa meneruskan kepemimpinan parpolnya," kata Arifki kepada Liputan6.com, Rabu (28/6/2023).
Arifki menjelaskan, dalam skema demokrasi kontemporer dan juga hal yang berkembang di negara-negara lain, maka kecenderungannya pembangunan parpol di Indonesia identik dengan figur keluarga-keluarga tertentu dan bukan dimiliki oleh publik.
Menurutnya, sulit memisahkan antara kepemilikan parpol dengan hak publik, karena kekuatan figur tertentu dan keluarganya memperlihatkan posisi bahwa persepsi nepotisme dalam pembangunan parpol di Indonesia masih terbentuk.
"Makanya akan susah nantinya uji materil ke MK ini karena akan mengalami penolakan dari parpol tentang batasan kepemimpinan 2 periode. Kenapa? Karena mereka merasa yang mendirikan parpol, merasa berhak menentukan siapa yang menjadi ketum ketumnya."
"Jadi tidak adil memang bila parpol mau dikatakan bisa menjadi wadah semua warga negara untuk bisa berkarier dan menduduki jabatan ketum parpol. Makanya ini juga akan menjadi saling tarik menarik antar parpol yang dirugikan dengan parpol modern yang siap memberikan ruang untuk tiap kadernya."
Arifki menilai, dalam pembangunan parpol di Indonesia identik dengan kepemilikan oleh keluarga tertentu, sehingga agenda-agenda di parpol bukan lagi milik publik tapi keluarga tertentu, baik itu fungsi regenerasi dan fungsi untuk meletakkan orang-orang terbaik di posisi strategis.
"Makanya, jika ketum parpol bisa menjabat tanpa batasan, tentu akan membentuk politik dinasti," ucapnya.
Berikan Ruang untuk Regenerasi
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengatakan, secara ideal Ketum Parpol mesti diatur berapa lama masa jabatan politiknya, untuk memberikan ruang regenerasi, ruang yang berkesimbungan dalam potret regenerasi kepemimpinan.
Ini juga untuk menunjukan harus ada upaya modernisasi di internal parpol, karena partai adalah ujung tombak pembangunan demokrasi.
"Ini kan sebenarnya aspirasi publik. Problemnya adalah apakah mau elite-elite partai menerima masukan ini, ya itu tentu urusan parpol, tapi yang jelas namanya aspirasi dari bawah, perlu dipertimbangkan," kata Adi kepada Liputan6.com, Rabu (28/6/2023).
Adi menilai, agak sedikit dilematis dan bahkan paradoks, karena parpol di Indonesia terpusat dan tersentralisasi pada Ketum mereka yang berkuasa selama bertahun-tahun, artinya kekuatan parpol di Indonesia itu terpersonifikasi pada sosok-sosok figur ketum mereka. Itu jelas sangat terlihat, bahkan partai-partai yang terpesonifikasi atau yang ketumnya begitu lama berkuasa, justru perolehan suaranya signifikan.
"Tapi pada saat bersamaan ada tuntutan supaya partai lakukan modernisasi supaya ketumnya gantian dan bukan itu-itu saja. Sementara di sisi lain ada partai yang cukup modern terbuka seperti PSI, tapi tidak lolos ke parlemen, sementara parpol lain yang ketumnya lama berkuasa justru perolehan suara pilegnya signifikan, ini yang serba dilematis."
"Sulit membayangkan akan ada perubahaan UU parpol, dimana ketumnya itu dibatasi dua periode, karena banyak parpol yang tidak mau keistimewaan kekuatan mereka yang terletak pada ketum akan habis, akan sirna dengan perubahan UU itu," ucapnya.
Demokrat: Itu Urusan Internal Partai, Tidak Semua Diatur oleh Negara
Ketua DPP Partai Demokrat Herman Khaeron menilai perihal jabatan lebih baik diurus oleh internal parpol, bukan negara.
"Menurut saya, biarkan saja ini adalah proses demokrasi yang berlangsung di internal partainya, diatur oleh rumah tangga partainya," kata Herman.
"Sehingga betul-betul dinamika di internal partai juga tidak kaku semuanya diatur oleh negara," sambungnya.
Menurutnya, gugatan yang dilayangkan tidak relevan ke MK. Sebab, pimpinan partai atau parpol sama saja seperti organisasi kemasyarakatan (ormas).
"Karena pimpinan partai adalah pimpinan para pengurus partainya sama dengan sebuah organisasi. Masa, organisasi misalkan organisasi masyarakat lama dibatasi, kan enggak juga gitu," papar dia.
Lebih lanjut, dia menyebut masa jabatan ketum parpol tidak bisa disamakan dengan jabatan pejabat publik atau misal Kepala Negara dan Kepala Daerah. Ketua umum parpol, kata Herman, memiliki aturan yang sangat tergantung kepada struktur di dalam partainya.
"Ketua umum partai itu diatur oleh statutanya, diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya karena ini menjadi urusan internal, menjadi urusan rumah tangga partai itu sendiri. Sehingga tidak bisa diatur oleh Negara," tutur Herman.
PPP: Bukan Ranah MK Urusi Parpol
Ketua DPP PPP Achmad Baidowi alias Awiek mengingatkan bahwa parpol bukan alat negara dan setiap parpol memiliki aturannya sendiri.
"MK memang tidak bisa menolak setiap uji materi yang masuk, semua harus diperiksa, tetapi bukan ranah MK mengurusi partai politik karena partai politik itu bukan alat negara," kata Awiek.
Oleh karena itu, Awiek menyebut Parpol adalah mitra bukan alat negera sehingga tidak bisa diatur-atur, sebab bisa mengatur dirinya sendiri.
"Parpol itu mitranya negara dan partai politik punya aturan main tersendiri, diberikan kewenangan kepada partai politik untuk mengatur dirinya sendiri. Parpol bukan pejabat publik, partai politik ya swasta kan? ngapain diatur-atur," kata Awiek.
Advertisement
PDIP: Apa-Apa Diatur Negara
Politikus PDIP Masinton Pasaribu menilai, terlalu jauh jika negara mengatur organisasi termasuk partai politik.
"Negara enggak perlu terlalu jauh mengatur mekanisme organisasi partai politik, dan kemudian itu nanti implikasinya juga akan panjang, setiap organisasi yang dibentuk oleh masyarakat ya masyarakat sipil itu akan organisasi di luar negara gitu ya itu akan berimplikasi semuanya akan dibatasi termasuk organisasi profesi nanti," ujar Masinton.
Masinton berharap MK tidak mengabulkan gugatan tersebut. Sebab, organisasi partai politik berada di luar kewenangan negera.
"Biarkan diserahkan pada mekanisme masing-masing organisasi tentang periodisasi masa jabatan ketua umum karena organisasi partai politik itu organisasi di luar negara gitu loh," tegasnya.
Lebih lanjut, Masinton khawatir jika jabatan ketum parpol dibatasi hanya dua periode akan sangat merepotkan, karena ciri khas dan karakter masing-masing organisasi akan jadi seragam. Padahal, organisasi di masyarakat itu baik partai politik maupun organisasi lainnya, masing-masing punya ciri khas dan karakter beragam.
Sehingga, kembali dia meminta agar negara tidak terlalu ikut campur terlalu jauh dalam mengurusi mekanisme di dalam sebuah organisasi terutama partai politik.
"Apa-apa diatur negara. Menurut saya itu tadi relevansinya mengatur aturan tentang masing-masing kedaulatan masing-masing organisasi," imbuh dia.
Gerindra: Kalau Dibatasi Malah Tidak Demokratis
Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon menilai, masa jabatan ketum menjadi ranah internal partai politik.
"Ya kalau itu kan urusan internal dari setiap partai politik, beda antara partai politik dengan jabatan publik gitu ya jadi kalau kita lihat partai politik adalah satu institusi yang bergerak di dalamnya menurut aturan disepakati oleh semua anggotanya dan pimpinannya, jadi saya kira agak berbeda dengan jabatan-jabatan publik seperti jabatan presiden dibatasi dua periode," kata Fadli Zon.
Dia pun menyinggung soal jabatan ketua DPR RI yang tidak dibatasi. Sebab hal itu sesuai dengan hak konstituen. Lebih lanjut, Fadli Zon menilai, jika masa jabatan ketua umum partai politik dibatasi tidak akan menjadi demokratis.
"Amerika juga tidak dibatasi di Eropa juga tidak dibatasi karena itu aspirasi rakyat jadi rakyat maunya orang itu ya memang harus orang itu begitu juga dengan ketua umum parpol, kalau masyarakatnya anggotanya atau yang menjadi pengikutnya menginginkan ketua umumnya adalah si A ya apa boleh buat ya karena itu kan proses yang demokratis. Kalau dibatasi justru bisa tidak demokratis," imbuh dia.
PAN: Tak Ada Batasan Masa Jabatan Ketum Parpol Tidak Langgar Konstitusi
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menilai, Mahkamah Konstitusi seharusnya menolak gugatan terhadap UU Partai Politik terkait masa jabatan ketua umum partai. Viva menuturkan, pasal 23 (1) UU Partai Politik bersifat open legal policy.
Terlebih, tidak ada pembatasan masa jabatan ketua umum partai, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Soal tidak adanya pembatasan periodesasi jabatan ketua umum partai politik tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945," jelas Viva kepada wartawan, Rabu (28/6).
Viva menjelaskan, partai politik berbeda dengan lembaga negara. Parpol merupakan organisasi yang dibentuk masyarakat sipil secara suka rela atau atas dasar kesamaan ideologi dan cita-cita
"Kalau lembaga negara adalah menjalankan fungsi dan kewenangan negara serta menjalankan fungsi keadministrasian atas nama negara, bukan atas kepentingan individu, kelompok, atau golongan," jelas Viva.
Partai politik sebagai organisasi sipil harus diberikan ruang kebebasan untuk mengatur rumah tangga sendiri. Setiap partai politik memili anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagai pedoman.
"Biarkanlah mereka hidup bebas dan merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri. Negara tidak perlu mengatur tentang kesepakatan nilai dan manajemen organisasi partai politik," jelas Viva.
"Dalam hirarkis peraturan perundang-undangan, kedudukan Undang-undang lebih tinggi dari pada AD ART. Hal ini menjelaskan bahwa ketika bersinggungan dengan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, partai politik harus tunduk dan taat pada Undang-undang," lanjutnya.
Masa jabatan ketua umum partai tidak perlu dibatasi karena perlu dipimpin oleh figur kuat dan berintegritas. Karena partai politik bercita-cita harus selalu menang pemilu.
"Hal itulah yang tercermin dan terimplentasi di masa jabatan anggota legislatif yang tidak dibatasi oleh Undang-undang. Selama masyarakat masih memilih dan menyintai anggota Dewan tersebut, maka selama itu pula akan menjadi Wakil Rakyat karena dipilih secara langsung oleh rakyat," ujar Viva.
"Jika pimpinan partai politik tidak memiliki kualifikasi paripurna seperti itu maka dipastikan akan terancam oleh hukum besi ambang batas, yaitu parliamentary threshold 4 persen, sehingga posisinya dapat terjungkal menjadi partai gurem," jelasnya.
Menurut Viva, dalil Lord Acton bahwa 'Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely' tidak berlaku bagi partai politik. Karena ini berkaitan dengan kekuasaan lembaga negara.
"Ini berkaitan dan ditujukan kepada lembaga negara, bukan ke partai politik. Sebab lembaga negara dan partai politik adalah dua entitas yang berbeda," jelas Viva.
Lebih lagi partai politik membiayai hidupnya sendiri. Negara mensubsidi partai politik yang lolos ke parlemen. Kata Viva, berdasarkan penelitian Perludem subsidi itu hanya membantu partai sebesar 0,03 persen.
"Justru karena kecilnya subsidi negara atas kebutuhan biaya partai politik menyebabkan anggota partai politik yang berada di lembaga eksekutif dan legislatif acap kali terjerat kasus hukum karena korupsi dengan dalih untuk membantu biaya partai politik," papar Viva.
"Oleh karena itu, jika subsidi negara masih sangat kecil, maka masa jabatan ketua umum partai politik tidak usah dibatasi. Tetapi jika negara menanggung sebagian besar kebutuhan biaya partai politik, semisal sebesar 30 persen dari kebutuhan biaya partai politik, maka pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik dapat dipertimbangkan untuk dapat dimasukan sebagai aturan formal di Undang-undang tentang partai politik," pungkasnya.
Advertisement
Pemohon Tak Serius, MK Tolak Gugatan UU Parpol Terkait Jabatan Ketum
Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya telah menjadwalkan sidang Pemeriksaan Pendahuluan (II) pada Senin, tanggal 12 Juni 2023 untuk memeriksa perbaikan permohonan dan mengesahkan alat bukti.
"Namun, hingga persidangan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, para Pemohon tidak hadir," tutur Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Para pemohon tersebut beralasan ada kendala teknis, yaitu beberapa berkas dari Papua belum tiba sehingga para Pemohon tidak dapat menghadiri persidangan dan meminta kepada Mahkamah agar permohonan tersebut digugurkan.
Walaupun sebenarnya, permohonan tersebut masih tetap dapat dilanjutkan karena Mahkamah dapat menggunakan permohonan awal.
"Namun, karena adanya permintaan dari para Pemohon untuk menggugurkan permohonan a quo, Mahkamah menilai para Pemohon tidak serius dalam mengajukan permohonan a quo," ucapnya.
Oleh karenanya, permohonan para Pemohon tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Sehingga perkara ini tidak dilanjutkan dengan putusan menolak permohonan gugatan.
"Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan," katanya.