Denny JA: 4 Pendapat soal Kurban Hewan Idul Adha

Hari Raya Idul Adha menjadi ritual agama Islam yang identik dengan penyembelihan hewan kurban yang merujuk pada kisah Nabi Ibrahim yang mengurbankan anaknya, Ismail. Lalu, muncul pertanyaan apakah kurban hewan saat Idul Adha bisa diganti dengan kurban berupa uang atau lainnya?

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jun 2023, 18:09 WIB
Panitia bersiap menyembelih hewan kurban di Masjid Daarul Falah, Jakarta Selatan, Selasa (20/7/2021) (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Hari Raya Idul Adha menjadi ritual agama Islam yang identik dengan penyembelihan hewan kurban yang merujuk pada kisah Nabi Ibrahim yang mengurbankan anaknya, Ismail. Lalu, muncul pertanyaan apakah kurban hewan saat Idul Adha bisa diganti dengan kurban berupa uang atau lainnya?

Hal itu disampaikan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena dan Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, merenungkan kisah Nabi Ibrahim di Hari Raya Idul Adha lewat empat tulisan yang mewakili empat sikap berbeda atas kurban hewan secara massal untuk ritual agama.

Pertama, pada 2020, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyarankan bagi yang memiliki sumber daya terbatas, sebaiknya kurban hewan diganti dengan uang sedekah. Alasan yang digunakan adalah situasi ekonomi akibat Covid-19.

Sedekah uang itu dinilai lebih bermanfaat bagi penduduk luas yang serba kekurangan. Publik juga terhindar dari kerumunan jika bersama menyaksikan hewan yang menjadi kurban. Sebab, kerumunan berbahaya di era pandemi Covid-19.

“Ini sikap pertama: fleksibel. Untuk kondisi tertentu, hewan kurban dapat diganti uang sedekah. Tapi itu hanya untuk kondisi tertentu saja,” kata Denny JA dalam keterangannya, Kamis (29/6/2023).

Kedua, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), kurban hewan tidak bisa diganti oleh uang atau barang lain dan tak ada perkecualian untuk prinsip ini. Seandainya pun ada isu Covid-19, penyembelihan hewan dapat diatur hanya dilakukan di area tertentu oleh lembaga atau tenaga profesional.

“Ini sikap kedua: tidak fleksibel. Kurban hewan, penyembelihan hewan tak bisa ditafsir lain,” ujar Denny JA.

Ketiga, kata Denny JA, esai dari Shahid ‘Ali Muttaqi yang berjudul An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice yang menafsir ulang kisah Ibrahim. Menurut penulisnya, perintah Ibrahim untuk mengurbankan anak itu bukan instruksi Tuhan. Namun, perintah itu hanya penglihatan yang datang dari mimpi.

Menurut Denny JA, penulis itu mengedepankan human reason. Dalam Ten Commandment, Tuhan sudah menyatakan jangan membunuh. Maka, mustahil Tuhan meminta Ibrahim membunuh anaknya sendiri.

Penulisnya menyebut hal itu hanya mimpi Ibrahim karena mengira mimpi itu perintah Tuhan. Sebagai manusia yang tunduk pada Tuhan, loyalitas Ibrahim mengalahkan cinta pada anak.

Tapi kemudian, pembunuhan atas anak sendiri batal dan diganti dengan kurban hewan. Itulah awal dari tradisi turun-temurun kurban hewan untuk Tuhan.

Namun, Ali Muttaqi juga mengutip ayat Alquran Surat Al-Hajj Ayat 37: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah. Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Melalui surat itu, Ali Muttaqi menyatakan, yang mencapai Allah bukan daging atau darah kurban, namun ketakwaan. Muttaqi menganjurkan kurban hewan di Idul Adha ditafsir ulang.

Pada zaman modern saat ini, dengan animal rights, kurban hewan massal dinilai tak lagi sesuai. Sebab, yang penting dalam kurban bukan hewannya, namun sikap ketakwaan.

“Ini sikap ketiga: mempromosikan untuk tak lagi kurban hewan massif dalam rangka ritual agama. Alasannya diambil dari tafsir atas surat Alquran sendiri,” terang Denny JA.

Keempat, media Inggris, The Sun, menulis artikel yang berjudul “Blood in the Street. Eid Al adha animal sacrifice festival sees road turn red with blood as cow beheaded.” Dalam Bahasa Indonesia: “Darah di Jalan. Festival kurban hewan Idul Adha jalan berubah merah dengan darah saat sapi dipenggal.”

Dalam berita tersebut, dilihat dari kacamata dunia modern non Islam, digambarkan bahwa anak-anak menyaksikan begitu banyak hewan meronta kesakitan dibunuh atas nama Tuhan.

“Ini sikap keempat: mengkritik kurban hewan di publik yang disaksikan anak-anak. Seraya mempertanyakan apakah kurban hewan secara masif itu higienis, sehat, dan masih tepat untuk zaman ini,” ungkap Denny JA

Menurut Denny JA, pemerintah tidak perlu ikut campur dalam tafsir publik atas tiga sikap yang berbeda soal kurban hewan dan dibiarkan sebagai hak pemeluk menafsir agama.

Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini berpendapat, sikap MUI yang menyatakan kurban hewan tak bisa diganti uang harus dihormati. Lalu, sikap Muhammadiyah yang menyatakan untuk situasi khusus kurban hewan dapat diganti uang juga harus dihormati.

Sementara, sikap seperti Ali Muttaqi yang berdasarkan tafsir atas ayat Alquran meyakini kurban hewan perlu ditafsir ulang pun menjadi hak pemeluk agama menafsir agamanya sendiri.

Meski begitu, kata dia, sikap Ali Muttaqi lebih radikal ketimbang sikap Muhammadiyah. Jika Muhammadiyah menyatakan kurban hewan dapat diganti uang sedekah hanya untuk kondisi tertentu, Muttaqi menyebut kurban hewan dapat diganti untuk semua kondisi karena zaman berubah.

“Biarkan tiga pandangan itu hidup. Bebaskan publik memilih yang mana yang mereka ingin ikuti,” ujarnya.

Denny JA menambahkan, untuk sikap keempat terkait pemotongan hewan di jalan atau di area publik yang tidak higienis apalagi tak dilakukan oleh profesional, pemerintah perlu melakukan penertiban. Alasan penertibannya bukan tafsir agama, namun semata untuk kepentingan kesehatan publik.


Tak Melanggar Hukum

Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena dan Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA (Istimewa)

Dia mengungkapkan, pemerintah memang sebaiknya tidak usah ikut campur dalam perbedaan tafsir agama selama tak ada yang melanggar hukum kriminal.

Pasalnya, setelah Nabi wafat, yang tersisa hanya para penafsir yang sehebat apapun tingkat keulamaan, kependetaan, dan kecendikiaannya, mereka bukanlah Nabi. Sehingga, perbedaan tafsir tak bisa terhindarkan.

Denny JA menjelaskan, kisah Ibrahim bahkan terjadi perbedaan fakta keras. Awalnya, kisah tersebut tertulis dalam Torah dan Perjanjian lama, di mana mereka meyakini putra yang akan dikurbankan Ibrahim bernama Ishak.

Namun, Alquran datang 600 tahun kemudian. Melalui proses waktu, di kalangan Islam meyakini fakta yang berbeda bahwa yang dikurbankan bernama Ismail.

“Kini penganut dua agama terbesar, Kristen dan Islam, meyakini fakta yang berbeda untuk peristiwa yang sama. Ishak versus Ismail. Secara fakta, mustahil dua-duanya benar. Pastilah ada keyakinan yang salah di antara dua keyakinan besar itu. Jika tak Ishak, pasti Ismail. Tak mungkin dua-duanya benar,” terang Denny JA.

Namun, kata Denny JA, terlepas dari kisah manapun yang salah, kita menyaksikan bahwa keyakinan atas fakta yang salah itu bertahan ribuan tahun dan dipeluk oleh lebih dari satu miliar manusia.

Dua agama ini dibiarkan tumbuh dengan keyakinan fakta yang berbeda. Alasannya sederhana, agama itu soal keyakinan, bukan masalah fakta. Maka, tak heran hingga saat ini berkembang 4.300 agama yang semuanya tumbuh dengan keyakinannya masing masing.

“Jika perbedaan fakta saja dibiarkan, maka perbedaan tafsir soal kurban hewan atau uang sedekah sebaiknya juga dibiarkan pemerintah. Biarkan publik memilih percaya yang mana. Pada waktunya, tafsir yang lebih sesuai dengan semangat zaman, itu yang akan bertahan panjang. Ini sejenis survival of the fittest yang terjadi di dunia tafsir agama,” tutup Denny JA.

Infografis Waspada Titik Lengah Saat Idul Adha (Liputan6.com/Niman)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya