Cari Passion untuk Karier, Masihkah Relevan?

Perdebatan soal relevansi antara passion dan karier masih sering terjadi.

oleh Septian Deny diperbarui 29 Jun 2023, 13:00 WIB
Ilustrasi virtual meeting. (Shutterstock/fizkes)

Liputan6.com, Jakarta Perdebatan soal relevansi antara passion dan karier masih sering terjadi. Ini jadi salah satu hal yang diulas dalam workshop online “Digital Career Path: Professional in Corporate or Build a Startup”.

Workshop ini digelar oleh Indigo Connect dan SobatLit (Living in Telkom), yang bekerja sama dengan Influence ID, salah satu startup binaan Indigo.

Menghadirkan para praktisi dari dua dunia startup dan korporat –CEO & Co Founder Influence ID Matt Junior dan Head of Representative Office Telkom Indonesia Apri Rokhyadi, workshop ini diikuti lebih dari seratus mahasiswa tingkat akhir dari berbagai perguruan tinggi se-Indonesia.

Matt dan Apri menjelaskan passion sebagai hal penting dalam pencarian karier yang tepat. Passion dapat mendorong orang-orang untuk mencari pengalaman sebanyak mungkin. Dan pengalaman adalah faktor penting untuk mengidentifikasi minat dan kemampuan dasar pekerja, terutama para fresh graduate.

Apri Rokhyadi menjelaskan empat batu loncatan yang harus diambil para fresh graduate untuk memulai karier di dunia korporasi. Dan pencarian serta penentuan terhadap passion adalah yang utama. Setelahnya, passion itu perlu didalami, sebelum mengambil action berdasar pemahaman terhadap minat dan rencana.

Terakhir, faktor eksternal dari support system dari orang-orang yang bisa membantu kita mencapai tujuan. "Teman-teman fresh graduate harus punya keinginan dan kemampuan untuk selalu explore dan belajar hal baru. Kalau enggak, bisa-bisa karier kalian stuck mau kerja di startup atau di korporasi seperti aku,” kata Apri.

“Lalu kalau sudah diterima kerja, silakan cari tahu proses jenjang karier dan promosi di perusahaan untuk menyiapkan diri agar menjadi stand out di jenjang karier masing-masing. Biasanya kesempatan bertanya ini ada di interview awal," tambah Apri.

 


Influencer

Ilustrasi Karier| foto : istimewa

Sementara, Matt bercerita tentang masa awal membangun Influence ID yang selain dari passion juga lahir dari keresahan selama mengerjakan berbagai campaign: kesulitan mencari influencer yang sesuai dengan objective sebuah campaign.

“Setelah sering ketemu problem ini, saya coba validasi ke banyak rekan-rekan brand. Ternyata banyak juga yang punya problem serupa,” kata Matt.

Influence ID sendiri adalah one-stop marketing platform yang dapat diakses gratis, baik untuk pengiklan ataupun influencer. Para pengiklan bisa mencari influencer yang tepat untuk membantu marketing plan brand mereka secara lebih efektif dan efisien.

Melalui platform ini para pengiklan bisa membuka proyek dengan budget, kebutuhan influencer, brief, serta platform yang diinginkan. Saat ini, sudah ada lebih dari 150.000 influencer dan 10.000 bisnis bergabung di Influence ID.


Miliarder Kritik Generasi Z Terlalu Sibuk Main TikTok Daripada Kejar Karier

Berhenti dari pekerjaan tak selamanya akhir dari perjalanan karier. Justru bisa jadi, kamu bisa lebih sukses dari sebelumnya. (Foto: Unsplash)

Miliarder sekaligus pemilik toko kelontong New York City Gristedes Foods John Catsimatidis mendapatkan serangan akibat kritik terhadap generasi Z. Dia mengatakan bahwa generasi tersebut "terlalu sibuk di TikTok " daripada mengejar karier.

Dalam sebuah wawancara, Catsimatidis mengatakan dia dulu bekerja 70 jam seminggu di sebuah supermarket. Karena itu, dia menyalahkan generasi Z, kelompok orang yang lahir antara akhir 1990-an dan awal 2010-an, karena tidak melakukan hal yang sama.

“Itulah salah satu masalah yang kita alami di negara kita saat ini, anak-anak sibuk bermain TikTok,” ujar  miliarder ini seperti melansir independent.co.uk, Selasa (20/6/2023).

“Jika Anda bekerja 100 jam seminggu, dan itu tidak berhasil, lebih baik Anda bekerja 120 jam,” tambahnya lebih lanjut. "Kamu tidak bisa menang jika kamu takut kalah."

Miliarder ini mengatakan, “Saya siap untuk tidur di sofa sepanjang musim panas dan menonton televisi. Ibu saya melempar saya dari sofa, dan saya kira saya adalah anak yang esktrem karena dengan cepat berakhir bekerja 70 jam seminggu.”

“Ini mengajari saya tanggung jawab untuk sedikit kesempurnaan,” tambahnya.

Selain itu, sebuah laporan McKinsey pada Oktober 2022 merinci bahwa responden generasi Z yang bekerja cenderung melaporkan bahwa gaji yang mereka terima tidak memungkinkan untuk memiliki kualitas hidup yang baik.

 


Pengakuan dan Dihargai

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/ander burdain

Selain itu, juga lebih kecil kemungkinannya dibandingkan orang lain untuk melaporkan bahwa mereka merasa cukup diakui dan dihargai untuk pekerjaannya.

Studi berjudul “How does Gen Z see its place in the working world? With trepidation” menyatakan bahwa 77 persen responden generasi Z melaporkan sedang mencari pekerjaan baru, hampir dua kali lipat tingkat responden lain.

Sementara beberapa tingkat churn pekerjaan di awal karier diharapkan, pesimisme ekonomi yang dilaporkan oleh generasi Z - hanya 37 persen percaya bahwa kebanyakan orang di negara ini memiliki peluang ekonomi - menunjukkan rasa tidak enak yang mendalam tentang prospek diri sendiri.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya