Syarat Umum dan Khusus Hewan Kurban, Salah Satunya Harus Baik bagi Kesehatan Fisik dan Akal

Hewan kurban di Idul Adha harus baik bagi fisik dan mental seseorang

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 29 Jun 2023, 18:31 WIB
Hewan kurban yang disembelih pada perayaan Idul Adha memiliki syarat umum hingga khusus. Dengan kata lain, pemilihan hewan yang hendak dikurbankan tidak bisa sembarangan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Hewan kurban yang disembelih pada perayaan Idul Adha memiliki syarat umum hingga khusus. Dengan kata lain, pemilihan hewan yang hendak dikurbankan tidak bisa sembarangan.  

Maka dari itu, pembahasan soal penyakit hewan kurban seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) penting dilakukan.

Hal ini disampaikan Wakil Rais ‘Aam (Ketua Umum) Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir.

Menurutnya, syarat umum mengatur soal bahan-bahan makanan yang boleh dikonsumsi oleh umat Islam, harus suci, tidak membahayakan kesehatan fisik dan akal. Juga harus diperoleh melalui jalan legal, syar’i atau yang dibenarkan secara syariat.

“Hal terpenting yang harus diperhatikan dari hewan kurban yang akan dikonsumsi tidak mengganggu terhadap kesehatan fisik dan akal. Sebab memelihara akal dan fisik merupakan dua di antara lima dari ad-dharuriyat al-khamsah atau tujuan dari syariat Islam,” kata Pria yang karib disapa Kiai Afif mengutip NU Online, Kamis (29/6/2023).  

Syarat Khusus Hewan Kurban

Lebih lanjut, Kiai Afif menjelaskan bahwa hewan kurban juga memiliki syarat khusus. Salah satu syarat khusus tersebut adalah, hewan kurban tidak boleh cacat dan mengandung aib.

Ia lantas menyebutkan sebuah hadits Nabi Muhammad yang membeberkan tentang keabsahan hewan kurban.

“Ada empat jenis hewan yang tidak cukup dijadikan hewan kurban, yaitu hewan yang buta sebelah, sakit, pincang, dan sangat kurus. Itu beberapa jenis aib yang sudah manshus (terverifikasi) dinyatakan langsung oleh Allah,” ungkap kiai yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah itu.


Kenapa Hewan Sakit Tak Boleh Dikurbankan?

Syarat Umum dan Khusus Hewan Kurban, Salah Satunya Harus Baik Bagi Kesehatan Fisik dan Akal. (Liputan6.com/ist)

Kondisi hewan kurban yang disebutkan di atas beberapa di antaranya tidak berpengaruh pada daging. Timbul tanya, mengapa hewan dengan kondisi yang masih memungkinkan untuk dimakan tetap tidak boleh dikurbankan?

Menjawab hal ini, Kiai Afif memberi penjelasan dari sisi hukum Islam. Menurutnya, pada perumusan sebuah hukum, yang dibahas adalah persoalan analogi atau qiyas, sedangkan dasar dari qiyas adalah ta’qilul ahkam atau hukum yang dapat dipahami oleh akal. 

“Misalnya kenapa hewan-hewan sakit tidak bisa dijadikan hewan kurban? Kenapa yang pincang, buta sebelah, dan kurus itu tidak bisa? Kalau kita bisa memahami alasan-alasan itu maka kita akan bisa melakukan qiyas,” jelas Kiai Afif. 


Harus Benar-Benar Sempurna

Dokter dari Tim Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok memeriksa kesehatan sapi di salah satu lapak hewan kurban di Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2023). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho).

Namun, Kiai Afif mengaku belum menemukan atau melakukan pengecekan hukum itu berdasar dari nash (teks) atau analogi (qiyas). 

Padahal, menurut pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur ini, aib hewan seperti pincang dan buta, tidak akan berpengaruh pada daging yang akan membahayakan kesehatan, terutama terkait dengan persoalan PMK. 

“Apa bedanya PMK dengan penyakit-penyakit yang sudah manshush di hadits itu? Karena kesimpulan-kesimpulan dari syarat-syarat itu, hewan kurban harus optimal. Tidak cukup hanya tidak berbahaya, tetapi harus benar-benar sempurna,” ungkapnya. 


Perlu Kajian Para Pakar dan Ahli Fikih

Syarat Umum dan Khusus Hewan Kurban, Salah Satunya Harus Baik Bagi Kesehatan Fisik dan Akal. Ilustrasi hewan kurban (Istimewa)

Karena itu, Kiai Afif menegaskan bahwa pihak yang bisa menjawab persoalan mengenai hubungan antara aib hewan dengan daging yang akan dikonsumsi adalah pakar.

Sementara, para fuqaha atau ahli fikih adalah pihak yang bisa memutuskan hukum secara syariat. 

“Oleh karena itu, harus bertemu antara kedua belah pihak antara fuqaha dan khubara. Fuqaha tidak akan bisa memutuskan hal ini tanpa ada penjelasan para khubara atau para pakarnya,” ungkap Kiai Afif.

Infografis Pelaksanaan Kurban Idul Adha 2021 (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya