Liputan6.com, Jakarta - Makkah dan Madinah ada dua kota suci, yang juga populer dengan sebutan haramain atau dua tanah suci atau tanah haram.
Allah menjadikan Makkah dan Madinah tanah suci yang aman. Di sana, tidak boleh membunuh, menzalimi, berburu, dan menebang pepohonan.
Advertisement
Tanah Haram adalah wilayah Kota Makkah dan Madinah yang sudah dibatasi dengan batas-batas tertentu. Haramain atau tanah Makkah dan Madinah biasa juga disebut dengan tanah suci, tanah di mana Islam diturunkan dan tanah yang pernah disinggahi dan diinjak oleh manusia-manusia mulia di sisi Allah.
Karena statusnya yang mulia, tanah suci, maka tak aneh jika ada jemaah haji, baik dari Indonesia maupun dari negara lain, berkeinginan untuk membawa tanah suci ke kampung halaman.
Lantas, bolehkah jemaah haji atau umrah, atau seorang pekerja migran (TKI) membawa tanah dari Makkah dan Madinah untuk dibawah ke Indonesia, apa hukumnya?
Simak Video Pilihan Ini:
Hukum Membawa Tanah Haramain ke Kampung Halaman
Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo dalam ulasannya di laman NU Online menjelaskan, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengambil sebagian Tanah Haram dan dibawa pulang ke Tanah Air meskipun untuk tujuan baik, semisal tabaruk atau yang sudah menjadi produk perabot yang terbuat dari Tanah Haram.
Ada yang menyatakan haram dan wajib mengembalikan semuanya ke tempat asalnya dan ada juga yang memakruhkannya, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah sebagai berikut:
صَرَّحَ الشَّافِعِيَّةُ بِحُرْمَةِ نَقْل تُرَابِ الْحَرَمِ وَأَحْجَارِهِ وَمَا عُمِل مِنْ طِينِهِ - كَالأَْبَارِيقِ وَغَيْرِهَا - إِِلَى الْحِل، فَيَجِبُ رَدُّهُ إِِلَى الْحَرَمِ، وَنُقِل عَنْ بَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ كَرَاهَتُهُ
Artinya: "Madzhab Syafi'iyah menjelaskan tentang keharaman memindahkan tanah atau debu dan bebatuan Tanah Haram dan apapun yang dibuat dengan tanah liat Tanah Haram seperti kendi dan selainnya ke tanah halal, dan wajib mengembalikannya ke Tanah Haram. Dikutip dari sebagian ulama Madzhab Syafi'iyah tentang kemakruhannya."
قَال الزَّرْكَشِيُّ فِي إِعْلاَمِ السَّاجِدِ: يَحْرُمُ نَقْل تُرَابِ الْحَرَمِ وَأَحْجَارِهِ عَنْهُ إِِلَى جَمِيعِ الْبُلْدَانِ، وَهَذَا هُوَ الأَْصَحُّ وَاَلَّذِي أَوْرَدَهُ الرَّافِعِيُّ كَرَاهَتُهُ
Artinya: "Imam Az-Zarkasi dalam kitabnya I'lamu as-Sajid berkata: "Haram hukumnya memindah tanah atau debu dan bebatuan Tanah Haram ke seluruh negeri. Dan ini adalah pendapat yang lebih shahih. Adapun pendapat yang dinyatakan Imam Rafi'i adalah makruh."
وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّهُ لاَ بَأْسَ بِإِِخْرَاجِ أَحْجَارِ الْحَرَمِ وَتُرَابِهِ، نَقَلَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الأُْمِّ، وَهُوَ الْمَنْقُول عَنْ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ، لَكِنَّهُمَا
Artinya: "Menurut Madzhab Abu Hanifah tidak masalah mengeluarkan bebatuan dan tanah atau debunya Tanah Haram. Pendapat ini dinukil Imam Syafi'i dalam kitab Al-Um, pendapat ini juga adalah pendapat yang dinukil dari sahabat Umar dan Ibnu Abbas akan tetapi keduanya menilai makruh hal tersebut."
وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى أَنَّهُ لاَ يُخْرَجُ مِنْ تُرَابِ الْحَرَمِ، وَلاَ يُدْخَل إِلَيْهِ مِنَ الْحِل، وَلاَ يُخْرَجُ مِنْ حِجَارَةِ مَكَّةَ إِِلَى الْحِل، وَالإِِْخْرَاجُ أَشَدُّ فِي الْكَرَاهَةِ
Artinya: "Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh mengeluarkan tanah atau debunya Tanah Haram, dan tidak boleh juga memasukkan tanah halal ke Tanah Haram. Tidak diperbolehkan juga mengeluarkan bebatuan Makkah ke tanah halal, hukum mengelurkannya lebih-lebih dalam kemakruhan." (Kementrian Waqaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz 17 halaman 195-196).
Advertisement
Konsekuensi Hukum karena Membawa Tanah Haram ke Kampung Halaman
Terkait perbedaan pendapat dalam Madzhab Syafi'i, Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa pendapat yang mu'tamad menurut mayoritas ulama Madzhab Sya'fiiyah adalah makruh memindah tanah, debu, bebatuan dan perabot yang terbuat dari tanah liat Tanah Haram. Sedangkan menurut Imam An-Nawawi hukumnya Haram dan wajib dikembalikam ke tempat asalnya.
والمعتمد عند أكثر الشافعية كراهة ذلك، والأصح عند النووي التحريم
Artinya: "Pendapat yang mu'tamad menurut mayoritas Syafi'iyah adalah makruh. Sedangkan menurut Imam An-Nawawi hukumnya Haram." (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz III, halaman 2392).
Lebih jauh tentang pendapat haram dalam Madzhab Syafi'i dimana konsekuensinya adalah mengembalikan ke tempat asalnya, ternyata jika hal ini tidak dilakukan tidak ada dhoman-nya, hal ini disamakan dengan kasus memotong atau mencabut rerumputan kering di Tanah Haram.
Berikut penjelasan Asy Syarwani dalam kitabnya Hawasyi asy-Syarwani yang merupakan komentar atas kitab Tuhfatul Muhtaj karangan Ibnu Hajar.
قَوْلُهُ: فَيَلْزَمُهُ رَدُّهُ إلَخْ أَيْ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَا ضَمَانَ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِنَامٍ فَأَشْبَهَ الْكَلَأَ الْيَابِسَ نِهَايَةٌ قَالَ ع ش قَوْلُهُ: م ر فَأَشْبَهَ الْكَلَأَ إلَخْ أَيْ فِي مُجَرَّدِ عَدَمِ الضَّمَانِ
Artinya, "Perkataan mushanif: "Maka ia harus mengembalikannya". Yakni, maka apabila tidak melakukannya tidak ada dhoman (tanggungan pertanggungjawaban) karena hal tersebut (tanah, debu dan batu) bukanlah perkara yang bertumbuh kembang. Maka dalam hal ini menyerupai rumput kering. Ini adalah ungkapan Imam Ali As-Syibromalisi. Ungkapan Imam Ramli:
"Menyerupai rumput" yakni, dalam tidak adanya dhoman belaka." (Abdul Hamid Asy Syarwani dan Ahmad bin qosim, Hawasyi asy Syarwani Syarah Tuhfatul Muhtaj, [Bairut, Darul Ihya' Thurots: th.t], juz IV halaman 194).
Walhasil, hukum membawa tanah, debu, batu atau olahan dari tanah liat Tanah Haram ke Tanah Air hukumnya diperselisihkan ulama: Haram menurut Imam Nawawi, konsekuensinya adalah harus mengembalikan ke tempat asalnya sekalipun tidak ada dhoman jika tidak dilakukan.
Sedangkan menurut pendapat mu'tamad dalam Madzhab Syafi'i, Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanabilah hukumnya Makruh. Wallahu a'lam.
Tim Rembulan