Menko Luhut Bakal Temui IMF Bahas Permintaan Pencabutan Ekspor Nikel

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan akan menemui IMF pada akhir Juli atau awal Agustus 2023 terkait visi Indonesia mengenai hilirisasi.

oleh Agustina Melani diperbarui 30 Jun 2023, 08:43 WIB
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan akan menyambangi IMF untuk membahas permintaan IMF terkait kebijakan larangan ekspor nikel. (Foto: aim.org)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan akan menyambangi Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) untuk membahas permintaan IMF agar Indonesia mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor nikel.

Juru Bicara Menko Marves, Jodi Mahardi menuturkan kepada Antara, Menko Luhut akan bertemu dengan Managing Director IMF sekitar akhir Juli atau awal Agustus untuk memaparkan visi Indonesia terkait hilirisasi.

"Menko Luhut nantinya akan ke Amerika dan berencana bertemu dengan Managing Director IMF untuk menjelaskan visi kami ini dengan lebih detail. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk menjalin dialog yang konstruktif dan berbagi tujuan kita dalam menciptakan Indonesia yang lebih berkelanjutan, adil dan sejahtera,” tutur dia seperti dikutip dari Antara, ditulis Jumat (30/6/2023).

Jodi mengatakan, pemerintah Indonesia menyampaikan terima kasih atas perspektif yang disampaikan IMF.

“Sebagai bangsa yang berdaulat dan sedang berkembang, pandangan kami terhadap masa depan adalah untuk memperkuat peran kita dalam proses hilirisasi, yang merujuk kepada peningkatan nilai tambah produk kami, bukan hanya sebagai pengekspor bahan mentah,” ujar dia

Pemerintah Indonesia juga menegaskan komitmen membangun ekonomi yang berkelanjutan dan progresif yang melibatkan semua lapisan masyarakat Indonesia.

Jodi menekankan konsep hilirisasi tidak hanya mencakup proses peningkatan nilai tambah, tetapi juga tahapan hingga daur ulang yang merupakan bagian integral dari upaya Indonesia untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan menekankan pentingnya berkelanjutan.

“Kami tidak memiliki niat untuk mendominasi semua proses hilirisasi secara sepihak. Tahapan awal akan kami lakukan di Indonesia, namun tahapan selanjutnya masih dapat dilakukan di negara lain, saling mendukung industri mereka, dalam semangat kerja sama global yang saling menguntungkan,” ujar dia.

 

 


Imbauan IMF

Ilustrasi Nikel

Jodi juga menyebut langkah ini selaras dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bumi, air dan kekayaan alam adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk keberlanjutan dan kemakmurna rakyat.

Sebelumnya diberitakan IMF mengimbau Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap pembatasan ekspor nikel dan tidak memperluas pembatasan ke komoditas lainnya.

Hal itu berdasarkan dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang memberikan catatan terkait rencana hilirisasi nikel di Indonesia.

Dalam dokumen itu, IMF menyebut kebijakan harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kemudian kebijakan juga perlu dibentuk dengan mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.


IMF Minta Indonesia Hapus Larangan Ekspor Nikel, Ini Alasannya

Nikel lagi-lagi mencatatkan trend kenaikan harga yang positif selama tahun 2017.

Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi sorotan terkait publikasi terbarunya yang membahas kebijakan hilirisasi di Indonesia.

Kebijakan hilirisasi yang dibahas IMF adalah larangan ekspor nikel. IMF menyebut, Indonesia perlu mempertimbangkan kebijakan itu secara bertahap dan tidak memperluasnya pada komoditas lain.

"Potensi manfaat jangka panjang dari kebijakan hilirisasi perlu dipertimbangkan terhadap biayanya, yang mencakup limpahan lintas batas," tulis IMF dalam laporan Article IV Consultation, dikutip Rabu (28/6/2023).

"Biaya fiskal dalam hal pendapatan (negara) tahunan hilang saat ini tampak kecil, dan harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini," tambahnya.

IMF mengatakan, diperlukan adanya analisa rutin terkait biaya dan manfaat dari hilirisasi, juga perlu diinformasikan  dengan menekankan pada keberhasilan serta apakah ada urgensi perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.

"Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan limpahan lintas batas yang negatif," jelas lembaga itu.

"Dalam konteks ini, pihak berwenang harus mempertimbangkan kebijakan dalam negeri yang mencapai tujuannya untuk meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus pembatasan ekspor secara bertahap dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tambah IMF.

Seperti diketahui, Indonesia tengah berfokus melakukan kegiatan hilirisasi pada komoditas bahan mineralnya dalam upaya mendapatkan nilai tambah, salah satunya pada nikel. 

Dalam hal nikel, IMF mencatat, Indonesia memiliki cadangan yang besar, dan telah terjadi peningkatan investasi asing langsung untuk mengolah bijih nikel serta peningkatan nilai ekspor. 

Selain itu, Indonesia juga menjajaki peluang domestik dari nikel untuk pembuatan baterai untuk kendaraan listrik, yang selanjutnya akan meningkatkan nilai tambah ekspor.

 


IMF Minta Indonesia Cabut Larangan Ekspor Nikel, Kabulkan Jangan?

Sebelumnya, ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan agar Pemerintah Indonesia mengabulkan permintaan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) untuk menghapus kebijakan larangan ekspor nikel.

"Menurut saya batalkan saja, terlepas dari IMF yang bicara sebenarnya batalkan saja pelarangan ekspor nikel ini," kata Bhima kepada Liputan6.com, Rabu (28/6/2023). 

Bhima paham betul bahwa maksud Pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor nikel untuk hilirisasi. Namun, permasalahannya hilirisasi yang dilakukan masih bersifat setengah jadi. Jika prosesnya masih begitu, maka akan mengakibatkan kebijakan pelarangan ekspor nikel tidak efektif.

"Terkait dengan pelarang ekspor yang dari awal itu kan untuk hilirisasi, masalahnya kita hanya setengah jadi hilirisasi sekarang seperti feronikel. Jadi, cuman kalau tanggung setengah hilirisasi sementara insentif yang diberikan begitu besar tentu akan mengakibatkan tidak efektif pelarangan ekspor nikel," jelasnya.

Selain itu, Bhima juga menyoriti terkait Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai dugaan ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel ke China sejak Januari 2020-Juni 2022.

"Ini kan masalah saya pikir kalau mau menarik hilirisasi yang utuh bukan dengan jalan proteksiesme pelarangan ekspor bijih nikel, tapi didorong untuk investasi hilirasinya," ujarnya.

Disisi lain, sebelumnya Indonesia kalah melawan Uni Eropa dalam gugatan larangan ekspor bijih nikel (nikel ore) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

Menurutnya, hal itu hanya membuang anggaran saja. Sebab, biaya yang dibutuhkan untuk sidang di WTO tidaklah murah.

"Kalau misalnya dilakukan pelarangan ekspor begini ya khawatir juga, nanti jadi gugatannya fix menang Uni Eropa untuk kasus nikel, dan itu ada biaya litigasi untuk sidang di WTO yang tidak murah juga," ujarnya.

 

Infografis Ekonomi RI Jauh Lebih Baik dari Negara Lain (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya