Kerusuhan Prancis Pasca Polisi Tembak Mati Nahel M: 667 Orang Ditangkap dan 200 Petugas Terluka

Para pengunjuk rasa dilaporkan mendirikan barikade, menyalakan api, dan menembakkan kembang api ke arah polisi yang merespons mereka dengan gas air mata dan meriam air di jalan-jalan di Prancis.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 30 Jun 2023, 22:49 WIB
Prancis telah mengerahkan puluhan ribu polisi hari Kamis (29/6/2023) dalam upaya mengatasi kerusuhan perkotaan yang meluas. (AP Photo/Aurelien Morissard)

Liputan6.com, Paris - Lebih dari 600 orang ditangkap saat pemerintah Prancis berupaya memulihkan ketertiban pasca polisi menembak mati Nahel M. pada Selasa (27/6/2023). Kematian remaja Prancis keturunan Aljazair berusia 17 tahun itu dengan cepat memicu gelombang protes yang diwarnai kekerasan di seantero negeri.

"Polisi menahan 667 orang," sebut Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin seperti dilansir VOA, Jumat (30/6).

Kementerian Dalam Negeri Prancis menggambarkan penangkapan tersebut sebagai peningkatan tajam dari operasi sebelumnya dalam upaya pemerintah bersikap sangat tegas terhadap para perusuh.

Markas polisi Paris menegaskan bahwa dari jumlah tersebut, 307 di antaranya berasal dari wilayah Paris saja.

Juru bicara polisi juga mengonfirmasi bahwa 200 petugas terluka. Sejauh ini belum ada informasi terkait korban luka di kalangan demonstran.

Para pengunjuk rasa dilaporkan mendirikan barikade, menyalakan api, dan menembakkan kembang api ke arah polisi yang merespons mereka dengan gas air mata dan meriam air di jalan-jalan di Prancis.

Di sejumlah titik di Paris, sekelompok orang melemparkan petasan ke arah pasukan keamanan. Kantor polisi di 12 distrik kota diserang, sementara sejumlah toko di sepanjang Jalan Rivoli, dekat Museum Louvre dan di Forum des Halles, pusat perbelanjaan terbesar di ibu Prancis, dijarah.

Otoritas Marseille mengabarkan bahwa mereka berusaha membubarkan kelompok yang melakukan kekerasan di pusat kota.

Sekitar 40.000 petugas polisi telah dikerahkan untuk memadamkan kerusuhan Prancis.


Alasan Penembakan Nahel M. Versi Polisi

Kawasan di pinggiran Paris mengumumkan jam malam pada Kamis (29/6) imbas aksi protes berujung kekerasan belakangan ini. (AP Photo/Aurelien Morissard)

Petugas polisi yang dituduh menembak Nahel telah didakwa melakukan pembunuhan melanggar hukum setelah jaksa Pascal Prache mengatakan bahwa penyelidikan awal menyimpulkan syarat penggunaan senjata secara legal tidak terpenuhi.

Jaksa Prache seperti dilansir AP mengungkapkan bahwa petugas berusaha menghentikan Nahel karena dia terlihat sangat muda dan mengendarai Mercedes dengan plat nomor Polandia di jalur bus. Nahel disebut mengabaikan permintaan polisi untuk berhenti dengan menerobos lampu merah, namun dia terjebak macet.

Dua polisi yang terlibat mengaku mereka menodongkan senjata untuk mencegah Nahel melarikan diri. Sementara salah satu yang melepaskan tembakan mengklaim dia khawatir bahwa dia dan rekannya atau orang lain dapat tertabrak mobil.

Keduanya mengatakan merasa terancam saat Nahel tidak mengindahkan perintah untuk berhenti.

Pengacara petugas polisi yang ditahan mengungkapkan kepada saluran TV Prancis, BFMTV, bahwa kliennya menyesal dan merasa hancur.

"Petugas melakukan apa yang menurutnya diperlukan pada saat itu," kata pengacara Laurent-Franck Lienard.

"Dia tidak bangun di pagi hari untuk membunuh orang," kata Lienard. "Dia benar-benar tidak bermaksud membunuh."

Keluarga Nahel dan pihak pengacaranya tidak sekalipun mengatakan bahwa penembakan polisi terkait dengan ras. Namun, tetap saja, aktivis anti-rasisme memperbaharui keluhan mereka tentang perilaku polisi.

"Kita harus lebih dari sekadar mengatakan bahwa segala sesuatunya perlu tenang. Isunya adalah bagaimana kita membuat polisi, ketika mereka melihat orang kulit hitam dan Arab, tidak cenderung meneriaki, menggunakan istilah rasis terhadap mereka, dan dalam beberapa kasus, menembak kepala mereka," kata aktivis anti-rasisme Dominique Sopo yang merupakan pemimpin kelompok kampanye SOS Racisme.

 


Topik Tabu di Prancis

Petugas polisi yang dituduh menembak pada hari Selasa dijerat dengan tuduhan pembunuhan setelah jaksa Pascal Prache menyatakan penyelidikan awalnya menyimpulkan "kondisi penggunaan senjata secara hukum tidak terpenuhi". (AP Photo/Aurelien Morissard)

Ras adalah topik yang tabu selama beberapa dekade di Prancis, yang secara resmi menganut doktrin universalisme buta warna. Namun, beberapa kelompok yang semakin vokal berpendapat bahwa konsensus ini menyembunyikan diskriminasi dan rasisme yang meluas.

Penggunaan senjata api yang mematikan lebih jarang terjadi di Prancis dibanding Amerika Serikat, meskipun 13 orang yang tidak mematuhi pemeriksaan lalu lintas ditembak mati oleh polisi Prancis tahun lalu. Tahun ini, tiga orang lainnya, termasuk Nahel, meninggal dalam kondisi yang sama.

Di Nanterre, aksi damai pada Kamis (29/6) sore untuk menghormati Nahel diikuti oleh konfrontasi yang meningkat, dengan asap mengepul dari mobil dan tempat sampah yang dibakar.

Ketegangan meningkat di berbagai tempat di seluruh Prancis sepanjang hari Kamis. Di Kota Pau di Pyrenees yang biasanya tenang, sebuah bom molotov dilemparkan ke kantor polisi. Di Toulouse dan pinggiran Kota Lyon, kata polisi, sejumlah kendaraan dan trem dibakar.

Beberapa kota, seperti Clamart dan Neuilly-sur-Marne, memberlakukan jam malam sebagai bentuk pencegahan.

Banyak jalur trem tidak beroperasi pada jam sibuk Jumat pagi.

Kerusuhan akibat kematian Nahel meluas hingga ke ibu kota Belgia, Brussel, di mana sekitar selusin orang ditahan selama bentrokan dan beberapa kebakaran berhasil dikendalikan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya