Liputan6.com, Jakarta Pesawat Lion Air dengan nomor terbang JT-120 dari Bandara Soekarno-Hatta gagal mendarat di Bandara H.A.S Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Alasannya, pesawat Lion Air yang digunakan dinilai tak sesuai dengan kemampuan bandara tujuan, sehingga harus kembali ke bandara asal.
Pengamat Penerbangan Gatot Rahardjo memandang hal itu berdampak pada penumpang penerbangan tersebut. Karena membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai tujuan, alhasil, aktivitas selanjutnya menjadi terhambat.
Advertisement
"Kalau dari sisi keselamatan tidak beresiko, karena penerbangannya berjalan normal. Tapi dari sisi bisnis maskapai dan sisi keperluan penumpang yang bermasalah. Harusnya penumpang sudah sampai ke tujuan dan melakukan aktivitas, jadi terganggu," ujar dia kepada Liputan6.com, Minggu (2/7/2023).
Gatot menilai ada risiko lebih besar jika pesawat tersebut diizinkan untuk mendarat. Mengingat, spesifikasi bandara, termasuk apron bandara yang disebut tak bisa menampung pesawat jenis Boeing 737-900 ER varian B737 NG yang awalnya digunakan Lion Air.
"Kecuali kalau pesawat yang lebih besar itu dipaksakan masuk bandara, itu yang bahaya, karena apron (tempat parkir) nya tidak mencukupi," jelasnya.
Gatot mencatat, kejadian penolakan mendarat di bandara tujuan bukan kali ini saja. Namun, pernah juga terjadi pada maskapai asal Australia, Jestar yang ditolak mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Itu tercatat terjadi pada akhir 2022 lalu.
"Dulu kejadian ini pernah terjadi waktu maskapai dari Australia ditolak oleh Bandara Bali karena pesawatnya beda. Dan maskapai akhirnya mengakui kesalahannya," ungkapnya.
Petugas Maskapai Lalai
Pesawat dari maskapai Lion Air dengan rute Jakarta-Tanjung Pandan, Belitung diketahui ditolak mendarat di Bandara H.A.S Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Alasannya, karena pesawat yang digunakan tidak sesuai dengan kriteria yang bisa diterima oleh bandara Tanjung Pandan.
Dengan begitu, penerbangan dengan nomor JT-120 ini harus kembali ke Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian, sebagai konsekuensi, maskapai perlu mengganti jenis pesawat menjadi B737-800 yang lebih kecil dari sebelumnya Boeing 737-900 ER varian B737 NG.
Pengamat Penerbangan Gatot Rahardjo menyebut, ada kemungkinan kesalahan berada di sisi Flight Operation Officer (FOO) dari maskapai. Pasalnya, FOO bertugas memastikan rencana penerbangan termasuk spesifikasi pesawat yang bisa diterima oleh bandara tujuan.
"Kemungkinan kesalahan ada di FOO maskapai," kata dia kepada Liputan6.com, Minggu (2/7/2023).
Advertisement
Tugas FOO
Gatot menjelaskan, sebelum pesawat terbang, itu petugas maskapai yang namanya flight operation officer (FOO) tugasnya membuat flight plan yang kemudian diserahkan ke pilot. Lalu, dalam membuat flight plan, FOO itu harus koordinasi dengan BMKG untuk cuaca, Airnav Indonesia untuk lalu lintas udara dan pengelola bandara tujuan terkait kondisi bandara.
"Dan kalau penerbangan nya berjadwal, harusnya FOO ini sudah hafal dengan sepsifikasi bandara setempat. Jadi dia harusnya tahu pesawat yang boleh dipakai ke bandara tersebut. Kalau ada perubahan pesawat, harus dikoordinasikan dengan bandara setempat, bisa nggak dilayani, baik itu layanan parkir, layanan PKP-PK dan lain-lain," jelasnya.
Gatot menilai, jika sudah mendapat izin terbang, berarti pesawat boleh berangkat dari bandara asal. Artinya, FOO tidak salah dan bandara tujuan wajib untuk melayani pesawat dari maskapai tersebut.
"Kalau belum dapat izin tapi pesawat tetap diterbangkan, itu berarti salah FOO kalau pesawat ditolak," tegasnya.
Kronologis
Diberitakan sebelumnya, Pesawat Lion Air nomor penerbangan JT-120 rute Jakarta - Tanjung Pandan gagal mendarat di Bandara Internasional H. AS Hanandjoeddin, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada 30 Juni 2023. Gagal mendarat Lion Air ini akibat kapasitas bandara terbatas.
Pengamat penerbangan Alvin lie menduga hal itu bisa terjadi dikarenakan kekeliruan perhitungan oleh petugas operasi penerbangan (Flight Operation Officer/ FOO) Lion Air.
Diketahui, pesawat Lion Air menerbangkan pesawat berbadan besar menuju Tanjung Pandan. Namun, karena Pelataran pesawat di Tanjung Pandan terbatas, maka pihak bandara pun meminta pihak maskapai untuk putar balik.
Menurut Alvin, seharusnya pihak AirNav telah menolak lebih awal terkait penerbangan tersebut saat dilakukan pengajuan oleh Lion Air, sehingga putar balik dan mengganti pesawat tidak perlu dilakukan.
"Pihak Airnav seharusnya juga sudah menolak Flight Plan yang diajukan menggunakan B737-900ER untuk penerbangan ke TJQ (Tanjung Pandan)," kata Alvin kepada Liputan6.com, Sabtu (1/6/2023).
Advertisement