Liputan6.com, Jakarta Di Randublatung, sebuah kecamatan di Kabupaten Blora, Jawa Tengah rupanya tidak ada dokter spesialis yang masuk ke sana. Alhasil, masyarakat setempat yang sakit dan memerlukan rujukan harus jauh berobat sampai Semarang, bahkan Solo.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menuturkan gambaran singkat akses kesehatan masyarakat di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, yang selama ini jadi wilayah dapil-nya.
Advertisement
Pemerintah daerah setempat sudah membuat fasilitas kesehatan. Sayangnya, tidak ada dokter spesialis yang mau ke Randublatung.
“Orang Randublatung kalau sakit, harus jauh ke kota. Apalagi rujukan, sampai Solo dan Semarang,” tutur Edy saat menjadi pembicara di Forum Hukum Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), ditulis Minggu (2/7/2023).
Kurangnya Dokter Spesialis
Tak hanya di Randublatung Blora, sejumlah daerah juga masih banyak masyarakat yang mengeluh rumah sakit penuh. Mereka harus mengantre pada beberapa jenis penyakit.
Bukan berarti tidak ada yang terketuk untuk mendirikan rumah sakit.
“Ketika mau mendirikan rumah sakit baru, masalah utamanya adalah kurangnya dokter spesialis,” kata Edy sekaligus politikus PDI Perjuangan.
Kondisi di atas sangat disayangkan, padahal Indonesia memiliki target Universal Health Coverage (UHC) 98 persen pada tahun 2024. Sebagian besar rakyat Indonesia pun sudah menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
Layanan Kesehatan Belum Merata
Menurut Edy Wuryanto, masyarakat Indonesia yang sudah banyak menjadi peserta JKN seharusnya ini menjadi berita menggembirakan. Namun, ia masih menemukan adanya masyarakat yang belum bisa merasakan layanan kesehatan dengan sempurna.
“Di daerah pedesaan atau Indonesia Timur, mereka membayar iuran JKN, tapi untuk mendapatkan akses kesehatan cukup sulit,” imbuhnya.
“Artinya, layanan kesehatan belum merata.”
Pastikan Negara Hadir
Melihat kondisi akses kesehatan yang masih sulit, Edy mengungkapkan pentingnya kehadiran RUU Kesehatan. Tujuannya, untuk memastikan negara hadir dalam pemenuhan hak-hak masyarakat di sektor kesehatan.
Pandemi COVID-19 yang menyerang Indonesia sejak 2020 menyadarkan semua pihak bahwa sistem kesehatan nasional belum bisa maksimal.
“Sistem kesehatan kita tidak cukup untuk menghadapi permasalah yang dihadapi rakyat. Ini menjadi pemikiran awal RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law,” pungkas Edy pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com.
Advertisement
Kawal Transformasi Kesehatan
RUU Kesehatan, lanjut Edy Wuryanto, mengawal transformasi kesehatan. Mulai memperkuat layanan primer, menata rujukan, kemandirian alat kesehatan, pembiayaan kesehatan, perkembangan teknologi hingga sumber daya manusia (SDM) kesehatan.
Edy mendengarkan adanya keresahan masyarakat dan organisasi profesi dalam pembentukan RUU Kesehatan. Untuk itu, ia membuka telinga atas semua aspirasi yang datang padanya.
“Semua saya catat dengan detail. Mari kita saling memberi masukan untuk membuat regulasi yang baik dan mensinergikan tujuan kita dalam memberikan layanan kesehatan,” terangnya.
Peta Jalan agar Berjalan Sinergi
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan merupakan hal yang dinamis. Norma yang sedang disusun ini memiliki tujuan untuk memberikan peta jalan bagi stakeholder kesehatan agar berjalan sinergi dan tidak berbenturan.
Harapannya segala aspek yang berkaitan akan dibahas dengan detail.
“Semua kami dengarkan dengan baik. Negara ini memiliki instrumen profesi dalam mengawal mutu profesi ada pemerintah, konsil, organisasi profesi, kolegium, dan majelis disiplin. Masing-masing punya wewenang dan tupoksi,” tutup Edy.