Ketahui Fakta tentang EU.1.1, Varian Baru COVID-19 yang Picu Kenaikan Kasus di Eropa

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat melacak adanya varian baru COVID-19 bernama EU.1.1 yang merupakan turunan lebih kompleks dari Omicron.

oleh Diviya Agatha diperbarui 03 Jul 2023, 13:00 WIB
Omicron varian baru bernama EU.1.1 terdeteksi di Eropa. Varian tersebut kini telah menyebabkan terjadinya lonjakan kasus kembali di sana. (pexels.com/CDC)

Liputan6.com, Jakarta Tak ada yang menjanjikan jikalau virus Corona atau SARS-CoV-2 akan berhenti bermutasi menghasilkan varian baru. Itulah yang kini terjadi di Eropa melalui temuan COVID-19 varian baru EU.1.1.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat melacak adanya varian baru COVID-19 bernama EU.1.1 yang merupakan turunan lebih kompleks dari Omicron.

Lantas, apa yang perlu diketahui dari varian Omicron baru EU.1.1?

EU.1.1 atau XBB.1.5.26.1.1 adalah bagian dari keluarga Omicron XBB.1.5. Saat ini, Eropa tengah mengalami lonjakan kasus yang cepat akibat varian tersebut.

CDC memperkirakan setidaknya ada 1,7 persen kasus COVID-19 di Amerika Serikat secara nasional yang disebabkan oleh varian EU.1.1, seperti dikutip melalui laman CBS News.

Peneliti sekaligus epidemiolog Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa Omicron XBB memang jadi varian yang masih mendominasi di dunia.

"EU.1.1 ini turunan atau asal muasalnya dari XBB.1.5 yang kita tahu sekarang mendominasi di dunia, dengan kemampuan untuk menginfeksi yang jauh lebih kuat. Paling kuat bahkan menembus pertahanan tubuh atau imunitas," ujar Dicky pada Health Liputan6.com, Senin (3/7/2023).

Belum Ada Potensi Perburukan

Menurut Dicky, munculnya varian baru seperti EU.1.1 dan terjadinya peningkatan kasus yang terdeteksi di negara-negara maju belum menunjukkan adanya risiko perburukan untuk situasi terkait COVID-19.

"Secara umum, sebetulnya saya saat ini belum melihat ada potensi perburukan situasi global atau nasional. Meskipun, kasus infeksi meningkat terutama di negara dengan kemampuan deteksi dini genome sequencing yang masih dijaga seperti di negara maju," kata Dicky.


EU.1.1 Masih Terlalu Awal untuk Disimpulkan, Tapi...

EU.1.1 masih terlalu awal untuk dianggap sebagai sesuatu yang bisa menjadi ancaman. Namun, kehadiran setiap varian baru tetap memiliki risiko keparahan dan kematian, terutama jika dibiarkan terus berkembang. (Arfandi/Liputan6.com)

Lebih lanjut Dicky mengungkapkan jika dilihat dari perkembangan kasus secara global, EU.1.1 masih terlalu awal untuk dianggap sebagai sesuatu yang bisa menjadi ancaman.

"Masih terlalu awal kalau (EU.1.1) kita anggap sebagai sesuatu yang bisa menjadi ancaman. Tapi, prinsipnya adalah sekali lagi, semakin kita membiarkan virus ini menginfeksi ulang banyak orang, artinya kita mengundang masalah," ujar Dicky.

"Mengundang adanya atau lahirnya subvarian atau varian yang bisa benar-benar meniadakan efektivitas dari vaksin. Ini yang bahaya karena artinya bisa terjadi lonjakan kasus dengan keparahan dan kematian. Tentu itu masih teoritis tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi," sambungnya.


Mutasi Virus Corona yang Tetap Terus Terjadi

Selama virus Corona terus menginfeksi manusia, maka risiko mutasi virus akan tetap ada. Terlebih, efektivitas vaksin terus menurun dengan adanya penempuan varian baru tersebut. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Dicky, perkembangan atau mutasi virus Corona masih akan terus bermutasi. Apalagi jika manusia membiarkan virus untuk terus-menerus menginfeksi dan kasus baru bermunculan.

"Virus ini masih terus mutasi, tapi sejauh ini kalau bicara EU.1.1 kita belum melihat lampu merah atau sinyal serius. Hanya yang mesti diketahui, setiap turunan sekarang kecenderungannya semakin mengurangi efektivitas vaksin dan obat," ujar Dicky.

"Itu sebabnya booster menjadi penting terutama pada kelompok rawan yang khususnya setelah sudah enam bulan lalu mendapatkan vaksinnya."


Vaksin COVID-19 Perlu Direvisi Tiap Tahun

Epidemiolog sekalgius peneliti Dicky Budiman menyebut vaksin COVID-19 tampaknya perlu untuk direvisi setiap tahun. Hal itu guna membuat vaksin tetap punya efektivitas tinggi untuk membentuk imunitas tubuh agar terhindar dari COVID-19. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Dalam kesempatan yang sama, Dicky turut mengungkapkan bahwasanya dari hasil pemantauan, COVID-19 memiliki karakter yang mirip dengan flu.

Artinya, vaksin COVID-19 penting untuk direvisi setiap tahunnya agar bisa tetap efektif menghadang varian-varian baru yang juga sulit dikontrol mutasinya.

"Bukan (COVID-19) sama dengan flu, tapi ada hal yang sama dengan flu. Apa itu? Dalam konteks vaksin, vaksin tampak kecenderungannya harus terus direvisi per tahun, dan itu diberikan rekomendasinya untuk kelompok berisiko tinggi," pungkas Dicky.

Infografis Wacana Vaksin Covid-19 Booster Berbayar di Masa Endemi. (Liputan6.com/Trieyasni}

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya