Liputan6.com, Jakarta - Selama ini, kebanyakan orang sering menganggap aerosol adalah cat semprot, pembasmi serangga, atau zat serupa yang disemprotkan dari kaleng. Namun, aerosol sebenarnya adalah partikel kecil atau droplet yang melayang di udara, dan ternyata dampaknya besar pada perubahan iklim.
Aerosol bisa dihasilkan dari berbagai aktivitas. Mulai dari asap kebakaran hutan, gas vulkanik, semburan air laut, hingga polusi udara.
Advertisement
Peran aerosol dalam ilmu iklim sangat kompleks. Jenis aerosol yang berbeda membuatnya memiliki efek yang berbeda pula.
Pada umumnya, partikel yang berwarna terang di atmosfer akan memantulkan sinar matahari yang masuk dan menyebabkan pendinginan. Sementara itu, partikel yang berwarna gelap menyerap sinar matahari dan membuat atmosfer menjadi lebih hangat.
Dikutip dari situs NASA, Selasa (3/7/2023), berikut informasi seputar aerosol:
Aerosol dari Letusan Gunung Berapi
Erupsi eksplosif atau letusan besar gunung berapi dapat menyuntikkan gas hingga ke stratosfer, yaitu lapisan atmosfer yang dimulai sekitar 10.000 meter di atas kepala.
Gunung berapi mengeluarkan gas belerang dioksida, yang menyatu dengan air di atmosfer untuk membentuk partikel kecil yang dapat mengelilingi dunia dan bertahan di udara selama beberapa tahun. Aerosol sulfat berwarna terang ini menghalangi sinar matahari yang masuk dan mendinginkan atmosfer.
Letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991 disebut NASA adalah contoh terbaru. Sulfat dari letusannya mendinginkan atmosfer 0,4 hingga 0,5 derajat Celcius dan menjadikan tahun 1992 dan 1993 sebagai tahun terdingin dalam 35 tahun terakhir.
Advertisement
Polusi Udara Bantu Dinginkan Iklim tapi...
Pembakaran bahan bakar fosil melepas partikel sulfat dan sulfur dioksida (SO2), yang seperti aerosol vulkanik dapat memantulkan sinar matahari dan membuat atmosfer menjadi lebih dingin. Namun, aerosol yang dihasilkan dari polusi udara tidak menyebar terlalu tinggi di atmosfer, sehingga hanya bertahan selama tiga sampai lima hari.
Meski memiliki efek pendinginan pada Bumi, namun polusi udara tidak ada manfaatnya bagi lingkungan atau kehidupan manusia. Yang ada malah sebaliknya, polusi udara akibat bahan bakar fosil menyebabkan kematian dini sekitar 8 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
Partikel kecil yang dipancarkan selama pembakaran bahan bakar fosil dapat terhirup dan menyebabkan asma, infeksi pernapasan, kanker paru-paru, dan penyakit jantung.
Pandemi COVID-19, yang memicu dunia menerapkan pembatasan perjalanan, menunjukkan apa yang bisa terjadi jika manusia mengurangi polusi udara, yaitu udara yang lebih bersih pada Musim Semi 2020, namun sedikit pemanasan (antara 0,1 - 0,3 derajat Celcius) di beberapa wilayah.
Pada saat yang sama, pengurangan polusi udara diperkirakan telah menyelamatkan 11.000 nyawa di Eropa dan 77.000 nyawa di China.
Memicu Peningkatan Suhu Panas
Jelaga adalah aerosol berwarna gelap yang menyerap sinar matahari dan menghangatkan atmosfer. Pemanasan tambahan akan terjadi saat jelaga mengendap di salju dan es, menyebabkan pencairan lebih cepat.
Kebakaran hutan, proses memasak, kegiatan industri, dan mesin diesel merupakan sumber utama penghasil jelaga.
Mengurangi emisi jelaga akan memberikan efek pendinginan yang cepat di atmosfer sekaligus manfaat tambahan dalam meningkatkan kesehatan manusia.
Advertisement