Liputan6.com, Jakarta - Sebagian masyarakat sulit membedakan antara musibah dan murka Allah SWT. Setiap ada bencana semuanya dianggapnya murka Allah SWT. Padahal belum tentu hal tersebut murka Allah SWT.
Untuk diketahui, musibah adalah kejadian yang tidak diinginkan atau bencana yang menimpa seseorang atau suatu kelompok. Kemurkaan Allah SWT merujuk pada amarah atau kekesalan Allah SWT SWT terhadap perbuatan dosa atau pelanggaran terhadap-Nya.
Dalam konteks agama Islam, musibah dan kemurkaan Allah SWT adalah dua hal yang terkait namun memiliki perbedaan penting.
Dalam Islam, musibah dipandang sebagai ujian atau cobaan dari Allah SWT. Musibah dapat berupa bencana alam, kehilangan orang yang dicintai, penyakit, kegagalan, atau kesulitan lainnya.
Musibah dianggap sebagai kesempatan bagi individu untuk menguji ketabahan, kesabaran, dan keimanan mereka. Musibah juga dapat berfungsi sebagai penghapus dosa atau sebagai kesempatan untuk pertumbuhan spiritual. Dalam menghadapi musibah, umat Muslim diajarkan untuk menerima takdir Allah SWT dengan kesabaran, berdoa, dan berusaha mencari hikmah di baliknya.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Benarkah Tidak ada Kaitan Antara Musibah dan Kemurkaan Allah SWT
Sedangkan kemurkaan Allah SWT terjadi ketika seseorang atau kelompok melanggar perintah-Nya atau berbuat dosa secara sengaja dan terus-menerus. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur'an bahwa kemurkaan-Nya dapat ditimpakan pada orang-orang yang melanggar-Nya dan berbuat dosa tanpa bertaubat.
Namun, Allah SWT juga menunjukkan sifat-Nya sebagai Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan memberikan kesempatan untuk taubat kepada hamba-Nya yang memohon pengampunan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Dalam pandangan Islam, musibah dan kemurkaan Allah SWT adalah bagian dari kehidupan dan takdir yang Allah SWT tetapkan. Umat Muslim diajarkan untuk menghadapi musibah dengan kesabaran, introspeksi, taubat, dan memperbaiki hubungan dengan Allah SWT serta sesama manusia.
Walaupun Allah SWT memiliki sifat kemurkaan, kasih dan pengampunan-Nya jauh lebih besar. Kesadaran akan musibah dan kemurkaan Allah SWT dapat memotivasi individu untuk hidup dengan takwa, berbuat kebaikan, dan berusaha menjauhi dosa serta kesalahan.
Dari suaramuhammadiyah.or.id bahwa gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang, tsunami dan bencana-bencana lainnya yang telah terjadi dikarenakan bahwasanya Tuhan sedang murka adalah sangat tidak dibenarkan.
Untuk membuktikannya kita harus memahami secara mendalam makna dari istilah bencana tersebut dalam Al-Qur’an sehingga kita bisa memaknai semua bencana yang terjadi dengan arif.
Bencana, keburukan atau dikatakan juga sebagai petaka disebut dengan berbagai istilah di dalam Al-Qur’an. Misalnya, mushibah, bala’, ’iqab dan fitnah dengan pengertian dan cakupan yang berbeda:
Kata mushibah, pada mulanya berarti mengenai atau menimpa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sesuatu yang menimpa atau mengenai tersebut adalah sesuatu yang menyenangkan, namun bila Al-Qur’an menggunakan kata mushibah maka itu berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia.
Pengertian ini juga telah umum diketahui di Indonesia, bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia disebut dengan musibah. Dalam penyelusurannya, ada beberapa hal yang dapat ditarik dari uraian Al-Qur’an: Musibah terjadi karena ulah manusia, antara lain karena dosanya. Ini ditegaskan oleh firman Allah SWT SWT:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيْرٍ. [الشورى، 42: 30]
Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah SWT memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. asy-Syura (42): 30]
Advertisement
Musibah Tidak Terjadi Kecuali atas Izin Allah SWT
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. [التغابن، 64: 11]
Artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah SWT, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. at-Taghabun (64): 11]
Musibah, antara lain, bertujuan untuk menempa manusia, dan karena itu dilarang untuk berputus asa akibat jatuhnya musibah—walau hal tersebut adalah karena kesalahan sendiri—sebab bisa jadi ada kesalahan yang tidak disengaja atau karena kesalahan yang tidak disengaja atau karena kelengahan. Al-Qur’an menegaskan bahwa:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ. لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. [الحديد، 57: 22-23]
Artinya: “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kamu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah SWT. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. al-Hadid (57): 22-23]
Kata bala’ . Akar kata ini mulanya berarti nyata/tampak, seperti firman Allah SWT: يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِلُ. [الطارق، 86: 9]
Artinya: “Pada hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. ath-Thariq (86): 9]
Namun makna tersebut berkembang sehingga berarti ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Dari beberapa ayat yang menggunakan kata bala’ dalam berbagai bentuknya dapat diperoleh beberapa hakikat berikut:
Bala’ Merupakan Keniscayaan Bagi Manusia
Bala’ (ujian) adalah keniscayaan hidup. Itu dilakukan Allah SWT, tanpa keterlibatan manusia yang diuji dalam menentukan cara dan bentuk ujian tersebut. Yang menentukan cara, waktu, dan bentuk ujian adalah Allah SWT swt. Allah SWT swt berfirman:
اَلَّذِي خَلَقَ اْلمَوْتَ وَالحْيََاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ العَزِيْزُ الْغَفُوْرُ. [الملك، 67: 2]
Artinya: “(Dia) Yang menciptakan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu (melakukan bala’), siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. al-Mulk (67): 2]
Karena bala’ adalah keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin berat pula ujiannya, karena itu ujian para nabi pun sangat berat. Dikarenakan bala’ adalah keniscayaan hidup, maka ada pula bala’ (ujian) tersebut berupa sesuatu yang menyenangkan. Adapun contoh dari bala’ (ujian) yang menyenangkan adalah anugerah yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Sulaiman as yang menyadari bahwa fungsi nikmat tersebut adalah sebagai ujian.
هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ. [النمل، 27: 40]
Artinya: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku (melakukan bala’), apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” [QS. an-Naml (27): 40]
Anugerah/nikmat yang berupa ujian itu, tidak dapat dijadikan bukti kasih Ilahi sebagaimana penderitaan tidak selalu berarti murka-Nya. Hanya orang-orang yang tidak memahami makna hidup yang beranggapan demikian. Hal ini antara lain ditegaskan-Nya dalam QS. al-Fajr (89): 15-17:
فَأَمَّا اْلإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاَهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلاَّ بَل لاَّ تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ. [الفجر، 89: 15-17]
Artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.” [QS. al-Fajr (89): 15-17]
Bala’ (ujian) yang menimpa seseorang dapat merupakan cara Allah SWT mengampuni dosa, menyucikan jiwa, dan meninggikan derajatnya. Dalam perang Uhud tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw yang gugur. Al-Qur’an dalam konteks ini membantah mereka yang menyatakan dapat menghindar dari kematian sambil menjelaskan tujuannya:
قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ. [آل عمران، 3: 154]
Artinya: “Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumah kamu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah SWT (berbuat demikian) untuk menguji (melakukan bala’) apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah SWT Maha Mengetahui isi hati.” [QS. Ali Imran (3): 154]. Waallahu A’lam,
Penulis: Nugroho Purbo
Advertisement