Liputan6.com, Jakarta - Tiga nama kuat bakal Calon Presiden Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto masih belum mengumumkan bakal Calon Wakil Presiden (Bacawapres).
Advertisement
Direktur Riset Poltracking Indonesia, Arya Budi, mengatakan belum adanya Bacawapres yang diumumkan karena para elite masih tarik-menarik kepentingan.
Dia menjelaskan, pada proses pencalonan Capres-Cawapres, elite-lah yang memiliki peran besar. Cawapres yang dipilih pun harus kontributif terhadap Capres dan kemenangan.
“Mereka butuhkan sebagai cawapres yang mampu secara sumber daya, mampu memutar mesin roda kemenangan. Tarik menarik juga terjadi dalam (penentuan Cawapres) itu,” jelas Arya, Selasa (4/7/2023).
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM ini menuturkan, hitung-hitungan terkait Cawapres ini lebih kepada sumber daya yang dibawa oleh Cawapres. Sehingga mampu membantu pada proses pemenangan.
Diketahui, berdasarkan rilis survei nasional Poltracking April 2023 pada simulasi 10 nama, Erick Thohir (17.1%), Sandiaga Salahuddin Uno (15.5%), dan Ridwan Kamil (13.5%), sementara nama lainnya, Mahfud MD (7.8%), Agus Harimurti Yudhoyono (7.7%), Khofifah Indar Parawansa (6.8%), Puan Maharani (3.5%), Airlangga Hartarto (3.1%), Muhaimin Iskandar (3.0%), dan Andika Perkasa (2.5%).
Jokowi Dinilai Berpengaruh pada Dinamika Koalisi Pilpres 2024
Partai politik masih sibuk melakukan konsolidasi politik untuk menguatkan bangunan koalisi Pilpres 2024. Para ketua umum partai masih saling tunggu melihat dinamika koalisi Pilpres 2024.
Dinamisnya bangunan koalisi partai untuk Pilpres 2024 dinilai terpengaruh dari sejumlah variabel politik. Termasuk salah satunya efek Jokowi yang secara langsung atau tidak langsung terhadap dinamika partai dalam menentukan langkah koalisi partai.
“Jokowi menentukan karena efek dari basis pendukung. Jokowi memiliki pengaruh separuh pemilih di Indonesia 2014, 2019. Praktis Jokowi memiliki basis pemilih mayoritas,” kata Peneliti Politik Poltracking Indonesia, Arya Budi, di Jakarta, Rabu (4/7/2023).
Berdasarkan data KPU, pada 2014 Joko Widodo-Jusuf Kalla meraih suara mayoritas memperoleh suara sebesar 53,15 persen, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan suara sebesar 46,85 persen. Sementara, pada 2019 Jokowi-Ma’ruf memperoleh 55,50 persen, dan pasangan Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Sandiaga memperoleh 44,50 persen.
Jokowi dinilai memiliki pengaruh sosial yang berdampak pada elektoral partai pada koalisi. Selain itu, massa militan pendukung Jokowi berpotensi memberikan insentif elektoral bagi kandidat, sehingga menjadi magnet partai untuk berkoalisi Pilpres 2024.
“Ketika Jokowi dianggap dekat atau Jokowi dianggap mendukung meskipun secara gestur, tidak verbal maka kandidat ini akan mendapat limpahan pemilih Jokowi, elektabilitasnya naik kemudian partai mendekat. Ini efek tidak langsung Jokowi,” jelasnya.
Kemudian, pengaruh Jokowi terhadap penentuan koalisi berpengaruh kuat lantaran sebagai Presiden yang masih menjabat. Jokowi dinilai memiliki pengaruh kuat terhadap penentuan koalisi terhadap partai yang masih bergabung di pemerintahan.
Advertisement