Liputan6.com, Jakarta - Studi yang diterbitkan di JAMA Psychiatry pada Rabu (28/6/2023), menemukan bahwa peningkatan 1 derajat Celcius suhu rata-rata tahunan terkait dengan peningkatan lebih dari 6,3 persen insiden kekerasan fisik dan seksual dalam rumah tangga di tiga negara Asia Selatan.
Penelitian ilmiah ini melacak 194.871 anak perempuan dan perempuan berusia 15-49 tahun dari India, Pakistan, dan Nepal antara tahun 2010 dan 2018, serta pengalaman mereka tentang kekerasan emosional, fisik, dan seksual yang dilaporkan. Data tersebut dibandingkan dengan fluktuasi suhu pada periode yang sama.
Advertisement
India mencatat peningkatan tertinggi. Dengan peningkatan panas 1 derajat Celcius, terjadi peningkatan kekerasan fisik sebesar 8 persen dan kekerasan seksual sebesar 7,3 persen. Negeri Hindustan belakangan cukup sering mengalami suhu ekstrem.
Pada Juni 2023, India melaporkan suhu hingga 45 derajat Celcius dan puluhan kematian terkait cuaca panas.
"Banyak jalur potensial, baik fisiologis maupun sosiologis, di mana suhu lebih tinggi dapat memengaruhi risiko kekerasan," ungkap Michelle Bell, profesor kesehatan lingkungan di Universitas Yale dan salah satu penulis studi tersebut seperti dilansir The Guardian, Rabu (5/7).
Panas ekstrem dapat memicu gagal panen, merusak infrastruktur, menggerogoti ekonomi, menjebak orang di dalam ruangan, dan membuat orang tidak dapat bekerja. Semua hal tersebut adalah faktor yang dapat membuat keluarga berada di bawah tekanan ekstrem dan mendorong tingkat kekerasan.
Para peneliti mendapati bahwa meskipun ada peningkatan kekerasan terkait suhu panas di semua kelompok pendapatan, namun peningkatan terbesar terjadi di antara rumah tangga berpendapatan rendah dan pedesaan.
Aktivis India Suniti Gargi, yang sempat bekerja dengan komisi perempuan Negara Bagian Uttar Pradesh, India, meyakini bahwa gelombang panas yang diperburuk oleh krisis iklim berkaitan dengan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Suhu panas yang tidak biasa menjadi lebih umum... menyebabkan tekanan ekonomi yang luar biasa dalam keluarga. Jika seorang pria bisa pindah (ke tempat lain) untuk bekerja, dia tetap dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun ketika dia tidak bisa, istrinya menerima pelampiasan kemarahan," ungkap Suniti.
Suniti mengisahkan seorang perempuan yang suaminya tidak bisa bekerja di ladang saat panas ekstrem melanda pada Mei dan Juni.
"Dia (sang suami) marah, merasa tidak berdaya karena tidak bisa memberi makan anak-anak. Ketika rasa frustrasi menumpuk dan anak-anak merengek dan berkelahi, dia melampiaskannya kepada saya. Dia juga memukul mereka dan menyesalinya. Namun, ketika dia masih tidak bisa keluar dan menghasilkan uang, dia melakukannya kembali," ungkap Suniti mengutip pernyataan perempuan itu.
Kajian Lain Mendukung Relasi Perubahan Iklim dan Kekerasan
Studi Universitas Fudan, Shanghai, menambah semakin banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana kenaikan suhu dapat memicu dunia jadi lebih kejam, terutama bagi perempuan.
Sebelumnya, penelitian dari Madrid menemukan bahwa ketika gelombang panas melanda, risiko femisida pasangan intim meningkat 40 persen dan di Kenya, perempuan yang terpapar cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas, memiliki peluang 60 persen lebih tinggi untuk melaporkan kekerasan pasangan intim.
Kajian berbeda, yang mengumpulkan data global menemukan bahwa risiko kekerasan antarpribadi meningkat sebesar 2,3 persen dan konflik antarkelompok sebesar 13,2 persen saat suhu meningkat.
Sementara banyak negara telah menghitung kematian akibat penyakit terkait suhu panas ekstrem, jumlah perempuan meninggal terkait cuaca panas dalam insiden KDRT terabaikan.
Di Negara Bagian Bihar, India, dekat perbatasan dengan Nepal, Shilpi Singh, yang merupakan direktur Bhoomika Vihar, yang telah membantu para korban KDRT selama 15 tahun, mengatakan bahwa krisis iklim telah memperburuk hubungan tradisional yang tidak setara antara pria dan wanita.
"Memukul istri di pedesaan adalah hal yang rutin, bahkan pada dalam suasana menyenangkan. Seorang pria melihat itu sebagai haknya, sebagai bagian dari otoritasnya atas istrinya, untuk memukulinya kapan pun dia mau. Para wanita telah menginternalisasi ini dan menerimanya sebagai haknya. Apa yang baru adalah rasa frustrasi karena panas yang ekstrem atau cuaca yang tidak menentu… Ini menciptakan kesulitan ekonomi, bahkan membuat situasi tradisional di mana memukul istri sebagai norma, menjadi lebih buruk," ungkap Singh.
"Para wanita memberi tahu saya bahwa ketika tidak ada gelombang panas atau banjir dan pria pergi bekerja, situasinya menjadi lebih mudah. Para pria keluar hampir sepanjang hari. Namun, ketika cuaca ekstrem membuat mereka menganggur dan memaksa tinggal di rumah, kemarahan dan tensi tinggi karena tidak mampu menyediakan kebutuhan – dan rasa lapar keluarga – membuat mereka marah."
Advertisement