Liputan6.com, Jakarta - Dalam diskusi publik bertajuk 'Surabaya Bukan Smart City, Gak Bahaya Tah?' yang digelar belum lama ini, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Jerry Mangasas Swandy, mengungkapkan sulitnya menggelar jaringan telekomunikasi di Kota Surabaya.
Ia menjelaskan hambatan penggelaran jaringan telekomunikasi di Kota Pahlawan itu disebabkan Perda 5 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Perwali 80 tahun 2016 tentang Formula Tarif Sewa BMD Berupa Tanah dan/ Bangunan sebagaimana diubah dengan Perwali 1 tahun 2022.
Advertisement
"Pada saat itu Walikota Tri Rismaharini menginginkan adanya tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pengenaan sewa tanah terhadap pembangunan jaringan telekomunikasi di Kota Surabaya. Kebijakan tersebut bertentangan dengan UU 28 tahun 2009 dimana tanah yang tidak mengubah fungsi tanah seperti penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan umum dikecualikan dari pemanfaatan kekayaan daerah, sehingga tidak dapat dikenakan sewa tanah," ungkap Jerry, dikutip Selasa (4/7/2023).
Ia menilai saat ini telekomunikasi merupakan kebutuhan primer masyarakat agar dapat terkoneksi, di mana seharusnya Walikota memiliki paradigma yang sama bahwa telekomunikasi merupakan kebutuhan dasar.
"Akibat Perda dan Perwali tersebut saat ini belum semua wilayah di Surabaya punya infrastruktur broadband," klaim Jerry menambahkan.
Akibat adanya Perda dan Perwali tersebut, kata Jerry, sudah banyak jaringan telekomunikasi anggota APJATEL yang diputus oleh SATPOL PP Kota Surabaya secara paksa.
Sejatinya seluruh penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tergabung di APJATEL akan tunduk terhadap aturan yang dibuat oleh pemerintah, baik itu pusat maupun daerah.
"Perda ini memperbolehkan Pemkot untuk tidak melakukan apapun, namun bisa mendapatkan PAD. Tentu saja ini menjadi preseden buruk penggelaran infrastruktur telekomunikasi di Kota Surabaya. Dahulu sewaktu Walikota Risma, Surabaya pernah mendapatkan predikat smart city. Namun sekarang Surabaya tidak masuk. Harusnya tidak masuknya Surabaya menjadi smart city menjadi bahan evaluasi Walikota Eri,” Jerry memaparkan.
Layanan Broadband di Surabaya Tidak Merata
Di Kota Surabaya, lanjut Jerry, anggota APJATEL terus berusaha mengurus perizinan melalui Surabaya Single Window. Namun, pengurusan perizinan di Surabaya sulit diajukan anggota APJATEL.
Kendala ini disebabkan adanya aturan dari Perda dan Perwali yang mewajibkan operator telekomunikasi yang ingin menggelar jaringan fiber optik harus membayar sewa tanah terlebih dahulu.
Dengan demikian, ketika belum membayar sewa ke Pemkot Surabaya, anggota APJATEL tidak bisa menggelar jaringan. Akibatnya jaringan telekomunikasi di Surabaya tidak merata. Padahal masih banyak masyarakat Surabaya yang belum mendapatkan layanan broadband.
"Kami bukannya tidak mau memberikan kontribusi ke PAD Kota Surabaya. Hingga saat ini regulasi penggenaan sewa di Kota Surabaya juga belum clear. Dampaknya ketika belum bayar, anggota kami tidak bisa menggelar jaringan. Saat ini APJATEL juga mempertanyakan dana yang disetorkan sebagian anggotanya apakah masuk ke kas daerah atau tidak," Jerry membeberkan.
Jika Pemkot Surabaya dapat memberikan kemudahan dalam penggelaran infrastruktur telekomunikasi, Jerry memastikan anggota APJATEL siap mendukung Walikota Surabaya saat ini Eri Cahyadi untuk mewujudkan Surabaya sebagai smart city.
Jerry mengambil contoh seperti di Jakarta, anggota APJATEL telah memberikan layanan free wifi di beberapa tempat pelayanan publik. Dengan duduk bareng bersama APJATEL, Pemkot dan DPRD Kota Surabaya, Jerry optimistis akan ada jalan terbaik untuk mewujudkan Surabaya menjadi smart city.
Advertisement
Pendapat MAKPI
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI), Riant Nugroho, menilai tidak masuknya Surabaya sebagai kota pintar dikarenakan adanya misinterpretasi dalam pembuatan kebijakan yang diambil oleh Pemkot Surabaya sehingga tidak 'ramah' terhadap pagelaran infrastruktur digital.
Selain Surabaya, menurut dia, Kabupaten Badung juga memiliki kebijakan yang tidak ramah dengan pagelaran infrastruktur digital.
“Pemkot Surabaya dan Pemkab Badung membuat kebijakan yang justru mematikan berkembangnya smart city. Pemkot Surabaya membuat Perda yang mengenakan tarif sewa tinggi terhadap penggelaran infrastruktur digital berupa kabel fiber optic," kata Riant melalui keterangannya.
Ia menambahkan, Surabaya pun melarang penyelenggara infrastruktur untuk membangun jaringan telekomunikasi kepada masyarakat. Juga telah melakukan pemotongan kabel fiber penyelenggara infrastruktur digital secara paksa yang menyebabkan gangguan massal kepada masyarakat.
Sedangkan Pemkab Badung, Riant memaparkan mereka telah melakukan kontrak eksklusif dengan salah satu tower provider, sehingga pihak lain tidak dapat membangun menara BTS. Jika ada pihak lain yang mendirikan BTS, maka Pemkot Badung akan memotong dan membongkar BTS tersebut.
"Kontrak eksklusif ini memiliki kecenderungan memenangkan salah satu pihak secara tidak langsung, sehingga bertendensi korupsi dan persaingan usaha tidak sehat. Dua daerah ini hanya menggencarkan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), tanpa mempertimbangkan efek domino tersedianya infrastruktur digital,” ungkap Riant.
Infografis Era Teknologi 5G di Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)
Advertisement