Liputan6.com, Ramallah - Israel mulai menarik pasukannya dari kamp pengungsi Palestina di Jenin, Tepi Barat, mengakhiri operasi militer besar-besaran dua hari yang menewaskan 12 warga Palestina. Hal tersebut diungkapkan oleh seorang pejabat pertahanan Israel, namun tembakan dan ledakan dilaporkan terus terdengar di seluruh Jenin saat kabar itu muncul.
Pada Selasa (4/7/2023), terjadi serangan balasan atas operasi militer Israel di Jenin. Seorang warga Palestina asal Tepi Barat bernama Abed Elohab Halaila (20) menabrak truk pickup yang dikemudikannya ke para pejalan kaki di dekat halte bus di Pinchas Rosen Street yang sibuk, sebelum meninggalkan kendaraannya untuk menikam salah satu korban.
Advertisement
Sembilan orang terluka dalam serangan mobil dan penikaman itu.
Merespons peristiwa tersebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu seperti dilansir BBC, Rabu (5/7) mengatakan, "Siapapun yang berpikir bahwa serangan semacam itu akan menghalangi kami untuk melanjutkan perang melawan terorisme adalah keliru."
Netanyahu juga menegaskan bahwa pasukan Israel sedang "menyelesaikan misi" di Jenin dan dia memperingatkan bahwa itu tidak akan menjadi yang terakhir.
Para pemimpin Palestina menuduh Israel melakukan "invasi".
Militer Israel melancarkan operasinya di kamp pengungsi Jenin pada Senin (3/7) pagi dengan serangan pesawat tak berawak. Mereka mengklaim menargetkan pusat komando Brigade Jenin, unit yang terdiri dari berbagai kelompok militan, termasuk Hamas.
Drone melakukan serangan udara lebih lanjut saat ratusan tentara Israel memasuki kamp dan terlibat baku tembak sengit dengan kelompok bersenjata di dalam kamp.
Militer mengatakan bahwa operasi kontraterorisme difokuskan pada penyitaan senjata dan menghancurkan pola pikir bahwa kamp merupakan tempat berlindung yang aman.
Operasi Militer Israel Merusak Infrastruktur
Dalam konferensi pers di Jenewa pada Selasa, juru bicara kantor kemanusiaan PBB mengungkapkan kekhawatirannya dengan skala operasi udara dan darat yang terjadi di Jenin dan Tepi Barat, terutama serangan udara yang menargetkan kamp pengungsi padat penduduk.
Menurut juru bicara PBB itu, Kementerian Kesehatan Palestina mengonfirmasi bahwa tiga anak, dua laki-laki usia 17 tahun dan seorang usia 16 tahun, termasuk di antara korban tewas dalam operasi militer Israel. Kerusakan infrastruktur, sebut dia, berarti sebagian besar kamp pengungsi sekarang tidak memiliki air minum atau listrik.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menuturkan bahwa kru ambulans Palestina telah dicegah memasuki kamp, termasuk menjangkau korban luka parah. Kementerian Kesehatan Palestina mengonfirmasi bahwa lebih dari 100 warga Palestina terluka dan 20 di antaranya kritis.
Sekitar 3.000 warga Palestina, ungkap pejabat Bulan Sabit Merah Palestina, termasuk banyak yang sakit dan lanjut usia, diizinkan untuk melarikan diri dari baku tembak dan serangan drone Israel.
Seorang pria berkursi roda yang dikawal keluar dari kamp bersama keluarganya mengatakan kepada BBC bahwa mereka ditahan di sebuah ruangan oleh pasukan Israel.
"Kami dikepung oleh barikade militer. Tentara Israel datang. Sekarang kami bisa keluar begitu saja. Tidak ada orang yang tersisa di kamp. Kami satu-satunya," ujar pria itu. "Ini situasi yang sangat sulit. Drone menembaki kami... Kami semua lelah. Kami tidak punya makanan... Tidak ada minuman."
Badan amal medis Medecins Sans Frontieres mengeluh bahwa paramedis terpaksa berjalan kaki karena buldoser militer Israel menghancurkan banyak jalan.
Dalam wawancara dengan CNN pada Selasa malam, kepala juru bicara militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari mengaku bahwa tidak ada non-kombatan yang tewas selama operasi militer tersebut. Dia juga mengklaim, ambulans mengemudi dengan bebas di dalam kamp pada siang hari.
"Kami membantu ambulans itu untuk mengevakuasi yang terluka," ujar Hagari.
Menurut Hagari, buldoser melakukan penggalian sekitar 2 km di dalam kamp, di mana para militan menyembunyikan alat peledak.
Advertisement
Jenin, Pusat Perlawanan Kelompok Militan Palestina?
Jenin disebut telah menjadi basis generasi baru militan Palestina yang frustrasi oleh kepemimpinan jadul Otoritas Palestina dan pendudukan Israel.
Kota ini telah berulang kali mengalami serangan militer Israel dalam satu tahun terakhir karena warga Palestina setempat melancarkan serangan mematikan terhadap warga Israel. Penyerang Palestina lainnya bersembunyi di sana.
Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh menolak pernyataan pemerintah asing yang mengatakan bahwa Israel memiliki hak untuk membela diri.
"Israel diakui secara internasional sebagai kekuatan pendudukan atas tanah dan rakyat kami," twitnya. "(Itu) harus dikutuk karena menggunakan kekuatan untuk menghancurkan infrastruktur, fasilitas, dan kamp, serta membunuh, menangkap, dan menggusur orang-orang yang tidak bersalah."
"Rakyat Palestina memiliki hak untuk membela diri. Tidak ada hak semacam itu bagi kekuatan pendudukan."