Poltracking Diduga Terima Uang Korupsi Bupati Kapuas untuk Dongkrak Elektabilitas di Survei

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga PT Poltracking Indonesia menerima aliran uang korupsi Bupati nonaktif Kapuas Ben Brahim S Bahat (BBSB). Uang diberikan agar Poltracking mendokrak popularitas Ben dalam kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalimantan Tengah (Kalteng).

oleh Fachrur Rozie diperbarui 05 Jul 2023, 07:54 WIB
Lembaga Poltracking Indonesia melakukan survei terkait elektabilitas partai politik dengan simulasi 16 parpol peserta pemilu 2019. (Foto:Liputan6/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga PT Poltracking Indonesia menerima aliran uang korupsi Bupati nonaktif Kapuas Ben Brahim S Bahat (BBSB). Uang diberikan agar Poltracking Indonesia mendokrak popularitas Ben dalam kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalimantan Tengah (Kalteng).

Dugaan itu diketahui saat tim penyidik memeriksa Manajer Keuangan PT Poltracking Indonesia Anggraini Setio Ayuningtyas pada Senin (3/7/2023).

Anggraini diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara disertai dengan penerimaan suap di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

"Saksi hadir dan didalami pengetahuannya di antaranya terkait dugaan pembayaran survei elektabilitas untuk menaikkan pamor tersangka BBSB (Ben Brahim S Bahat) dalam rangka maju Pilgub Kalteng," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dikutip Rabu (5/7/2023).

Selain soal aliran uang, KPK juga turut menelusuri berbagai aset milik Ben Bahat. Terkait hal itu, tim penyidik mendalaminya lewat 5 saksi, yakni Dealdo Dwirendragraha Bahat dan Bella Brittani Bahat yang merupakan anak dari tersangka, kemudian Yanuar Yassin Anwar, Esty Novelina Karuniani, dan Sartono. "Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya terkait dugaan kepemilikan berbagai aset tersangka BBSB dkk," ujar Ali.

Sementara Christine selaku Finance Hotel Intercontinental Pondok Indah dan Raden Kusmartono selaku PPAT/Notaris mangkir, alias tak memenuhi panggilan tim penyidik.

"Kedua saksi tidak hadir dan masih akan dilakukan pemanggilan kembali," kata Ali.

KPK menyatakan akan mendalami aliran uang korupsi Ben Bahat ke dua lembaga survei. Sebelumnya KPK sudah memeriksa Direktur Keuangan PT Indikator Politik Indonesia Fauny Hidayat, pada Senin, 26 Juni 2023.

Tim penyidik KPK mendalami aliran uang dari Ben Bahat ke Indikator Politik Indonesia melalui Fauny. Uang itu dipergunakan untuk biaya survei Ben Bahat dan istrinya, anggota Komisi III DPR dari Partai NasDem Ary Egahni.

"Diperiksa di antaranya pendalaman soal aliran uang di antaranya yang juga dipergunakan untuk pembiayaan polling survei pencalonan kepala daerah terhadap tersangka dan istrinya," kata Ali, Selasa (27/6/2023).


Uang Korupsi Dipakai untuk Kepentingan Politik

Diduga terima suap, Bupati nonaktif Kapuas Ben Brahim S Bahat (BBSB) dan Istri ditahan KPK. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebagaimana diketahui, Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan Anggota Komisi III DPR dari Partai NasDem Ary Egahni diduga menggunakan uang hasil korupsi sebesar Rp8,7 miliar untuk sejumlah kepentingan politik.

Mulai dari pendanaan pencalonan Bupati Kapuas, Gubernur Kalimantan Tengah, hingga pemilihan Ary Egahni sebagai anggota legislatif DPR RI di tahun 2019.

KPK turut menyebut Ben dan Ary juga memakai uang korupsinya untuk membayar dua lembaga survei guna mendongkrak elektabilitas.

"Mengenai besaran jumlah uang yang diterima BBSB dan AE sejauh ini sejumlah sekitar Rp8,7 miliar yang antara lain juga digunakan untuk membayar dua lembaga survei nasional," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (28/3/2023).

Uang sejumlah Rp8,7 miliar tersebut diduga diperoleh Ben dan Ary dari hasil pemotongan anggaran dari sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkab Kapuas, Kalimantan Tengah, serta dari pihak swasta berkaitan dengan izin perkebunan. Pungutan uang Ben tersebut dilakukan dengan dibantu Ary.

Ary diduga aktif turut campur dalam proses pemerintahan, antara lain dengan memerintahkan beberapa Kepala SKPD untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.

Atas perbuatannya, Ben dan Ary disangkakan melanggar Pasal 12 huruf f dan Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Infografis Wacana Hukuman Mati Koruptor Kembali Muncul. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya