Kelompok DPD RI dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR Pertajam Visi Perbaikan Konstitusi

Kelompok DPD RI di MPR mengundang Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI dari pengajuan DPD RI, mempertajam wacana kaji ulang Konstitusi di Kantor DPD, Kompleks Senayan Jakarta, Rabu (5/7/2023).

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Jul 2023, 17:40 WIB
Kelompok DPD dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR menggelar kajian mempertajam wacana kaji ulang Konstitusi. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Kelompok DPD RI di MPR mengundang Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI dari pengajuan DPD RI, mempertajam wacana kaji ulang Konstitusi di Kantor DPD, Kompleks Senayan Jakarta, Rabu (5/7/2023).

Anggota DPD RI Alirman Sori mengatakan, Kelompok DPD RI di MPR perlu menghadirkan beberapa narasumber untuk memberikan masukan dan mempertajam wacana kembali ke UUD 45 naskah asli kepada Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI.

Salah satunya mengenai mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi dan pengisian keanggotaan MPR supaya benar-benar representasi kedaulatan rakyat menjadi berkecukupan sebagai penjelmaan rakyat.

"Perjuangan DPD RI adalah mengembalikan bangsa ini ke UUD 1945 naskah asli yang kemudian disempurnakan dengan teknik adendum. Karena banyak dinamika dan problematikanya, maka kita perlu mempertajam hal itu, supaya Komisi Kajian Ketatanegaraan mendapat banyak perspektif tentang begitu pentingnya perjuangan ini," kata dia.

Dalam paparannya, Radian Salman berbicara soal perlunya anggota DPR dari unsur perseorangan yang dipilih melalui Pemilu. Menurutnya dia, hal itu untuk memperkokoh kedaulatan dan keterwakilan rakyat dalam proses legislasi. Karena di UUD 45 naskah asli, pembentuk UU juga DPR, sama dengan Konstitusi hasil perubahan. Dikatakan, gagasan DPR dari unsur non partai tersebut memang baru di sistem ketatanegaraan kita, namun bukan hal baru di tempat lain.

"Di Eropa, dari 27 negara Uni Eropa, 12 diantaranya membuka calon perseorangan. Hal menarik lagi, di Afrika Selatan, April lalu resmi yang memberlakukan UU Pemilu yang di dalamnya terdapat calon perseorangan untuk nasional assembly (DPR)," tutur dia.

Dia tegaskan, unsur perseorangan di DPR memiliki keunggulan karena perseorangan lebih independen, karena tidak dipagari ideologi partai politik, sehingga lebih bebas memperjuangkan aspirasi rakyat.

"Yang terpenting adalah basis konseptual dan representasi adalah siapa mewakili siapa atau mewakili apa di unsur perseorangan," ujar Radian.

Menurutnya, desain badan perwakilan dengan peserta dari parpol dan perseorangan bisa menimbang beberapa kriteria. Misalnya unsur perorangan berarti bukan pengurus parpol atau total tidak ada afiliasi, baik sebagai anggota maupun pengurus parpol.

"Kemudian jumlahnya seperti apa, apakah harus sama dengan jumlah anggota yang dari parpol. Lalu metode nominasi, syaratnya seperti apa, juga soal masa jabatan dan wewenangnya. Harus didetailkan," papar dia.


Demokrasi Korporasi

Petugas membersihkan area depan Gedung MPR/DPR/DPD yang meliputi Kolam, Halaman, Lobi gedung Nusantara Jakarta, Rabu (29/7/2020). Menjelang bulan Agustus yang juga Perayaan Kemerdekaan RI, Parlemen bersolek menyambut sidang Tahunan yang diselenggarakan 14 Agustus 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ekonom Ichsanoodin Noorsy membuka paparannya dengan menyinggung soal demokrasi korporasi, dimana korporasi yang menentukan keputusan di negara ini. Menurutnya, hal itulah yang terjadi pada Indonesia saat ini.

"Disebut demokrasi korporasi karena demokrasi bergerak setelah ada uang. Semua keputusan, ditentukan oleh kekuatan korporasi. Lalu kita lihat bagaimana begitu tingginya biaya politik demokrasi liberal yaitu pemilihan langsung. Sementara sistem ekonomi, Pasal 33 dijegal dengan adanya ayat 4. Itu yang membuat semua rusak," katanya.

Karena keseluruhan adalah demokrasi korporasi, makanya reformasi yang dilakukan adalah semu. Karenanya, menurut Noorsy sangat tepat untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli, untuk kemudian kita perkuat dengan beberapa adendum, supaya tujuan nasional tercapai.

Soal pengisian utusan golongan di MPR, dikatakan Noorsy, posisinya sangat strategis dan perlu. Dalam kesempatan itu, dia menjelaskan, berbicara golongan sama saja dengan berbicara soal identitas. Makanya dia menekankan agar tidak boleh menolak adanya politik identitas.

"Karena wajar-wajar saja. Itu kodrat manusia, jadi tidak perlu dijargonkan," ucapnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya