Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah memperbolehkan ekspor pasir laut. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menyampaikan bahwa kebijakan ekspor pasir laut berdampak kecil terhadap penerimaan negara. Sebaliknya, kebijakan yang menuai pro kontra ini justru lebih banyak menguntungkan para pengusaha.
Advertisement
"Penerimaan negara dari kebijakan ekspor pasir laut ini kecil, lebih banyak menguntungkan pengusaha," ungkapnya dalam webinar bertajuk Ekspor Pasir Laut, Cuan atau Merusak Lingkungan? di Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Potensi nilai ekspor pasir laut mencapai Rp733 miliar. Adapun, potensi pendapatan negara dari kebijakan ekspor pasir laut hanya mencapai Rp74 miliar.
"Ini disampaikan juga ya oleh Kementerian Keuangan potensi pendapatan dari ekspor pasir laut itu cukup rendah," tegasnya.
Dengan nilai potensi penerimaan negara yang relatif kecil, Huda menyebut, penerapan kebijakan ekspor pasir tidak sebanding dengan risiko kerusakan ekosistem lingkungan laut. Bahkan, kebijakan ekspor pasir laut juga dapat mengancam kesejahteraan keluarga nelayan.
"Kerusakan lingkungan dari adanya penambangan pasir laut itu adanya erosi pantai, perubahan garis pantai, air, hingga dari sektor sosial dan ekonomi itu ada penurunan hasil tangkapan nelayan, dan potensi banyak nelayan menjadi pengangguran," pungkasnya.
Bahayakah Pengerukan Pasir bagi Ekosistem Laut? Ini Kata KKP
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan memastikan pengerukan pasir laut sebagai pemanfaatan hasil sedimentasi tetap mementingkan keamanan ekosistem laut. Meski begitu, diakui ada sejumlah kekhawatiran yang muncul pasca terbitnya aturan mengenai hal tersebut.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Victor G Monoppo mengatakan, ada beberapa masukan dari berbagai pihak soal Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Diantaranya, ada 3 kekhawatiran mengenai beleid ini, yakni soal ekspor pasir laur, ancaman ekologi, dan dugaan kepentingah lain.
"Sejak PP ini diterbitkan, segala perdebatan yang kita terima. Ada tiga kekhawatiran di dalamnya yaitu ekspor pasir laut, ancaman ekologi, dan ada siapa di balik kebijakan ini. Sebetulnya dari tiga isu itu kalau memang kita sudah membaca PP tersebut dari awal, manfaatnya apa pertimbangannya apa dan dasar-dasar kebijakannya apa sudah jelas. Ada tugas dan tanggung jawab KKP yang harus memelihara laut," ujarnya, mengutip keterangan resmi, Jumat (9/6/2023).
Dia menuturkan Pasal 2 PP 26/2023 menyebut pengelolaan dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut. Kemudian untuk mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
"Jadi pemanfaatannya bukan sebatas untuk kepentingan pembangunan, tapi juga adanya perlindungan pada ekosistem dan amanat memanfaatkan hasil sedimentasi untuk rehabilitasi ekosistem di situ," tambah Victor.
Advertisement
Tata Kelola Sedimentasi di Laut
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan bidang Hubungan Luar Negeri Edy Putra Irawady menjelaskan beberapa hal yang melatarbelakangi pemerintah menerbitkan kebijakan tata kelola sedimentasi di laut.
Mulai dari kewajiban negara memastikan lautnya sehat dan bersih untuk menjamin keberlanjutan ekologi, mendukung kepentingan nasional dan adanya mandat internasional tentang kesehatan laut, serta tidaknya adanya standarisasi reklamasi selama ini yang berimbas pada kerusakan ekosistem.
"Kita selama ini absennya standarisasi reklamasi. Batam ini paham sekali, bagaimana dikeruk bukit-bukit untuk reklamasi karena tidak ada supply (material). Saya sudah beberapa kali ke Busan, Korea, mereka sudah punya standarisasi reklamasi, material apa, ukuran apa, karena setiap bahan yang digunakan ada standarnya sendiri," beber Edy Putra.