Habitat Harimau di TNTN Riau dalam Proses Reboisasi, Perambah Malah Bakar dan Racuni Pohon

Pemulihan TNTN sebagai habitat harimau dan gajah di Riau mendapat rintangan dari perambah karena membakar, mencabut, bahkan meracuni pohon yang ditanam kembali oleh petugas.

oleh M Syukur diperbarui 08 Jul 2023, 09:00 WIB
Ilustrasi perusakan hutan. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Pemulihan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) terus dilakukan sejak tahun 2019. Balai TNTN sebagai pemangku kawasan bersama instansi lainnya melakukan reboisasi untuk memperbaiki hutan yang luluh lantak.

Habitat harimau sumatra dan gajah di Riau tersebut selama ini dirusak perambah untuk diambil kayunya dan disulap menjadi kebun. Setidaknya ada 28 ribu hektare lahan rusak parah sementara sisanya kritis.

Dari 81 hektare total luas kawasan, hutan alam di TNTN yang tinggal hanya 16 persen lagi. Mempertahankan hutan sisa itu menjadi tugas berat Balai TNTN karena perambah selalu ada.

Selain ancaman terhadap hutan alam yang tersisa, pemulihan hutan sering juga diganggu oleh pihak tidak bertanggungjawab. Benih-benih pohon hutan alam yang ditanam petugas dicabut.

Menurut Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro, bibit pohon yang sudah tumbuh bahkan ada yang dibakar oleh orang yang merasa dirugikan dengan pemulihan kawasan.

"Ada yang diracun juga dan dicabut," kata Heru Sutmantoro di Pekanbaru.

Meski begitu, petugas tidak pernah menyerah melakukan pemulihan TNTN mengingat peran pentingnya sebagai habitat harimau dan gajah di Sumatra.

"Tujuannya juga mengurangi interaksi negatif antara satwa liar dengan manusia, jadi hutan itu harus dijaga sealami mungkin," sebut Heru.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Tiga Desa

Heru menjelaskan, luas lahan pemulihan ada 3.500 ribu hektare dan tersebar di tiga desa di Kabupaten Pelalawan yaitu Lubuk Bunga, Air Hitam dan Pangkalan Limau. Daerah aliran Sungai Tesso dan Nilo menjadi fokus.

Pemulihan daerah aliran sungai ini melibatkan pihak yang berkompeten. Termasuk juga perusahaan di sekitar TNTN agar menjaga hutan dari kerusakan.

"Ada juga kegiatan swadaya di wilayah yang sudah terbuka, ditanam kembali," kata Heru.

Tak bisa dipungkiri, di kawasan TNTN itu ada perkampungan. Masih menjadi perdebatan, apakah masyarakat di kawasan itu ada sebelum penetapan TNTN menjadi wilayah konservasi atau menyusul.

Menurut Heru, keberadaan masyarakat tetap diakui hanya saja tidak boleh lagi menanam kelapa sawit. Pasalnya, sesuai peraturan berlaku, tidak boleh ada tanaman tersebut di taman nasional.

"Yang ditanam itu petai, jengkol dan tanaman lainnya yang bisa menimbulkan efek ekonomi bagi masyarakat, kecuali sawit," terang Heru.

 


40 Hektare Kebun Ilegal

Heru menerangkan, saat ini ada 40 ribu hektare kawasan TNTN sudah berdiri kebun sawit ilegal. Meskipun tidak atas nama perusahaan, satu pemilik terkadang biasa menguasai hingga ratusan hektare hutan negara itu.

Sewaktu Undang-Undang Cipta Kerja belum dicabut, pemerintah sudah menyusun rencana terhadap kebun ilegal itu. Bagi warga yang memiliki kebun sawit di bawah 5 hektare dan berusia di bawah 5 tahun maka tidak ada denda tapi sawitnya harus diganti dengan tanaman kehidupan.

Teruntuk warga yang menguasai di atas 5 hektare, tambah Heru, maka pemerintah akan memberlakukan sanksi administratif. Tanah dikembalikan ke negara dan akan diganti dengan tanaman hutan serta kehidupan.

"Sehingga tidak ada sawit lagi di taman nasional, ini tidak akan mudah," sebut Heru.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya