Liputan6.com, Jakarta - Pengalaman mendapatkan vaksinasi rabies pernah dirasakan Selena, bukan nama sebenarnya, sekitar awal tahun 2000-an. Saat itu dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Dia memang tak ingat persis apa yang terjadi saat itu. Namun, Selena ingat kakinya digigit anjing hingga celananya robek. Bapaknya langsung membawanya ke fasilitas kesehatan terdekat. Sebagai guru di salah satu sekolah, informasi mengenai dampak gigtan anjing sudah dimengerti oleh bapaknya saat itu.
Advertisement
"Jadi bapakku langsung bawa ke Puskesmas dan minta aku langsung divaksin. Almarhum bapak ngotot ke petugas Puskesmas, takut anaknya terkena rabies," kata Selena kepada Liputan6.com.
Pegawai swasta di Jakarta ini mengaku pada saat kejadian, dia tidak mengetahui anjing yang menggigitnya sudah mendapat vaksin atau belum. Namun usai kejadian, sang bapak memberikan edukasi terkait dampak rabies kepada dia dan adik-adiknya.
Beberapa pekan terakhir masyarakat dikagetkan dengan penyakit rabies yang telah memakan korban jiwa. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan, ada lebih 31 ribu kasus terkait dengan penularan rabies di Indonesia dengan 53 kematian sepanjang Januari-Juni 2023.
Sedangkan berdasarkan data Kemenkes terdapat 104.229 kasus rabies pada tahun 2022 dan tercatat sebanyak 102 kasus kematian. Jumlah kasus pada 2022 mengalami kenaikan sebanyak 82,04 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 57.257 kasus.
Sekitar 95 persen kasus kematian akibat rabies pada manusia biasanya disebabkan gigitan anjing yang terinfeksi. Namun, ada pula yang disebabkan oleh berbagai hewan liar misalnya rubah, rakun, dan kelelawar.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kemenkes Imran Pambudi menuturkan, ada dua kabupaten yang menyatakan kejadian luar biasa (KLB) rabies: Kabupaten Sikka dan Timor Tengah Selatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kendati begitu, dia menyebut adanya perbedaan antara kedua kabupaten tersebut. Untuk Kabupaten Sikka telah dinyatakan sebagai endemi atau sudah terjadi kasus rabies dari beberapa tahun terakhir.
Sedangkan di Kabupaten Timor Tengah Selatan belum pernah ditemukan kasus rabies sebelumnya. Karena itu terdapat perbedaan pendekatan dalam penanganan penyakit rabies.
"Makanya perlu dilakukan hal-hal yang sifatnya affirmative action, Timor Tengah Selatan perlu mendapat perhatian khusus. Masyarakat sana tidak tahu rabies seperti apa. Mungkin jika orang digigit anjing dianggap sebagai kejadian yang biasa," kata Imran kepada Liputan6.com.
Hingga saat ini, data kematian akibat penyakit rabies di Kabupaten Timor Tengah Selatan ada empat kasus. Menurut Imran, hal tersebut disebabkan karena masyarakat terlambat mencari pertolongan.
Edukasi dan sosialisasi terkait bahaya gigitan hewan harus digencarkan. Dia meminta masyarakat segera ke fasilitas kesehatan jika menemukan kasus gigitan hewan penyebab rabies. Hal itu guna mendapatkan penanganan yang baik.
Selain itu untuk bisa terbebas dari rabies pada manusia harus dilakukannya pemberian pada anjing baik jadi peliharaan maupun yang berkeliaran. Vaksinasi menjadi langkah awal agar anjing peliharaan tersebut terhindar dari rabies. Pasalnya, ketika hewan pembawa rabies masih berkeliaran dan tidak terlindungi oleh vaksin maka dapat menularkan rabies ke manusia.
Beberapa Wilayah dengan Kasus Gigitan Hewan Rabies
Saat ini ada 26 provinsi yang menjadi endemis rabies di Indonesia. Kemudian hanya 11 provinsi yang bebas rabies yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Kemudian terdapat beberapa pulau di Indonesia yang bebas rabies, misalnya Pulau Sumba di NTT. Lalu ada juga Pulau Tabuan dan Pulau Pisang di Lampung, Pulau Meranti di Riau, Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, Kepulauan Sintaro di Sulawesi Selatan, Pulau Nunukan, Pulau Batik, dan Pulau Tarakan di Kalimantan Utara.
Imran menyatakan terdapat provinsi dengan kasus cukup tinggi terkait gigitan hewan rabies. Antara lain provinsi Bali, NTT, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, serta Maluku. Setiap provinsi memiliki karakter yang berbeda-beda terkait kasus rabies. Misalnya Bali, diakibatkan banyaknya anjing liar.
"Kalau di Padang memang mereka memelihara anjing untuk berburu, di Kalbar-pun sama. Anjingnya rata-rata dilepas liarkan. Kalau di Sulawesi bahkan dijadikan komoditas, dijadikan masakan," ucapnya.
Siapa Saja yang Diperbolehkan Menerima Vaksin Rabies?
Imran menyebut, pada tahun 2023 Kemenkes telah mengadakan vaksin untuk manusia sebanyak 241.700 vial dan serumnya sebanyak 1.650 vial. Saat ini vaksin dan serum tersebut sudah didistribusikan ke provinsi hampir 227.000 vial vaksin dan lebih dari 1.550 vial serum. Vaksin itu sudah didistribusikan sejak awal tahun ke semua provinsi dan memprioritaskan kepada daerah-daerah endemis.
Karena terjadi peningkatan, Kemenkes kembali melakukan kembali penambahan vaksin sebanyak 15rb vial, serum anti rabies 510 vial. "Tapi kita tidak berharap dipakai terus, kalau dipakai terus tapi gigitan masih banyak ya kita kewalahan," ujar dia.
Vaksin rabies, kata Imran tidak direkomendasikan sebagai vaksin rutin. Sebab, rabies memilik faktor risiko. Rabies merupakan zoonosis atau penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Sehingga pemberian vaksin dilakukan kepada hewan penyebab rabies sebagai pencegahan.
Terdapat beberapa indikasi orang yang menerima vaksin rabies. Pertama yaitu orang-orang tergigit hewan, kemudian untuk kelompok-kelompok tertentu misalnya pelatih anjing, dokter hewan, tim vaksinator hewan, hingga pemburu. Sedangkan diluar itu tidak disarankan termasuk pemilik anjing peliharaan.
Untuk mengantisipasi bertambahnya kasus rabies, Imran mendorong masyarakat yang memiliki peliharaan, seperti anjing, kucing, monyet, harus divaksinasi rabies setiap tahun. Untuk pemilik anjing dilarang melepas hewan peliharaan di jalan. Sebab dikhawatirkan nantinya anjing tersebut berinteraksi dengan anjing yang tidak divaksin, lalu bertengkar dan tertular rabies.
Kemudian, saat tergigit harus segera mencuci luka dengan sabun di bawah air mengalir selama 15 menit. Tindakan tersebut guna mencegah air liur yang mengandung virus dapat masuk ke pembulu darah.
"Dicuci supaya air liurnya bersih, lalu diberi obat luka. Baru dibawa ke faskes untuk dilakukan pertolongan. Di situ dilihat, apakah perlu vaksin, apakah perlu serum," paparnya.
Imran menambahkan, terdapat beberapa kriteria dalam pemberian vaksin dan serum rabies. Sebab tidak semua luka perlu diberikan serum. Sedangkan untuk luka derajat 2 atau tidak dekat dengan kepala dapat diberikan vaksin. Pemberian tersebut untuk membentuk kekebalan di tubuh.
Kemudian untuk luka derajat tiga atau berdarah banyak, lukanya besar, digigit di leher atau kepala akan diberikan serum. Serum dan vaksin merupakan hal yang berbeda. "Kalau vaksin itu meng-induce antibody dari tubuh. Kalau serum sudah antibodinya. Kenapa kita tidak membuat serum semua, karena mahal sekali tiap ampulnya," imbuh dia.
Kasus Rabies Berujung Kematian
Dalam pemberian serum satu orang bisa sampai empat ampul. Untuk satu ampul dapat dikenakan biaya mulai Rp 1,7 juta sampai Rp 2 juta. Imran mengungkapkan jika penanganan kasus rabies yang tidak tepat akan sangat membahayakan.
"Kalau di text book, case fatality-nya masih 100 persen, jadi kalau sudah didiagnosis sebagai rabies pasti meninggal," jelas Imran.
Untuk diketahui, terdapat beberapa gejala rabies pada manusia pada tahap awal. Gejala yang timbul adalah demam, badan lemas dan lesu, tidak nafsu makan, insomnia, sakit kepala hebat, sakit tenggorokan, dan sering ditemukan nyeri.
Kemudian dilanjut dengan rasa kesemutan atau rasa panas di lokasi gigitan, cemas, dan mulai timbul fobia yaitu hidrofobia, aerofobia, dan fotofobia sebelum meninggal dunia.
Sementara gejala hewan yang terkena rabies dicirikan dengan karakter menjadi ganas dan tidak menurut pada pemiliknya, tidak mampu menelan, lumpuh, mulut terbuka dan air liur keluar secara berlebihan. Lalu bersembunyi di tempat gelap dan sejuk, ekor dilengkungkan ke bawah perut di antara kedua paha, kejang-kejang, dan diikuti oleh kematian. Pada rabies asimtomatik hewan tidak memperlihatkan gejala sakit namun tiba-tiba mati.
Advertisement
Vaksinasi Rabies Dapat Dilakukan Sejak Hewan Berumur Setahun
Secara data internasional, 96 persen kasus rabies pada manusia disebabkan oleh anjing. Gigitan anjing tersebut sebagai penyebab rabies. Dokter hewan Denny Widaya Lukman menyatakan virus rabies tersebut terdapat di air liur dan masuk melalui luka gigitan.
Meskipun gigitan atau cakaran kucing dan kelelawar juga dapat menimbulkan rabies, anjing masih mendominasi. Pembedanya terletak pada gejala klinis yang ditimbulkan.
Kata Denny, terdapat dua gejala klinis akibat gigitan anjing. Pertama tipe diam atau anjing tersebut tidak menunjukkan gejala yang terlihat. Tiba-tiba diam dan menyendiri. Kemudian tipe galak atau agresif, artinya anjing akan menjadi lebih aktif dan sering menggigit. Sedangkan pada kucing, monyet, dan kelelawar cukup sulit diketahui.
"Jadi yang memang harus kita perhatikan terutama adalah anjing dan kucing liar. Nah, untuk anjing dan kucing yang dimiliki, memang diimbau pada pemiliknya untuk melaksanakan vaksinasi secara berkala, satu tahun sekali," kata Denny kepada Liputan6.com.
Denny juga meminta kepada masyarakat untuk waspada akan gigitan anjing gila sekecil apapun. Sebab luka kecil maupun besar tetap memiliki risiko masuknya virus rabies melalui air liurnya. Meskipun anjing itu tidak memperlihatkan gejala klinis. Menurutnya, jilatan anjing yang tidak menimbulkan luka masih dianggap aman dari rabies.
Untuk mengantisipasi hewan terpapar virus rabies, pemilik anjing dan kucing diminta melakukan vaksinasi sejak umur satu tahun dan diulang setiap satu tahun. Sedangkan untuk anjing liar atau yang tidak berpemilik harus ada kolaborasi semua pihak agar tidak menjadi ancaman masyarakat.
"Misalnya bagaimana masyarakat ikut membantu pelaksanaan vaksinasi anjing dan kucing yang tidak berpemilik. Kemudian mengendalikan kelahiran anjing dan kucing. Saat ini di kota-kota besar sudah ada lembaga swadaya masyarakat maupun dokter hewan yang ikut melakukan sterilisasi kelahiran anjing-anjing yang tidak berpemilik," ucapnya.
Masyarakat Dilarang Jahil kepada Anjir yang Tak Dikenal
Epidemiolog dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu juga memberikan tips kepada masyarakat yang tidak paham akan perilaku anjing. Langkah pencegahannya yakni tidak mengganggu atau jahil pada anjing yang tidak dikenal, terutama anak-anak.
Kasus gigitan anjing di Asia Tenggara didominasi terjadi kepada anak-anak. Selain terlibat dalam gerakan vaksinasi untuk anjing, masyarakat dituntut untuk memahami caranya melaksanakan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) pada saat digigit anjing apapun yang terindikasi rabies maupun tidak.
"Karena ini sudah menjadi program nasional juga di Kementerian Kesehatan. Repotnya, rabies hanya bisa dikendalikan oleh vaksin, kecuali kita yakin anjing kita tidak bermain di luar. Dipastikan oleh dokter hewan kalau tidak terpapar rabies," ucapnya.
Vaksin Rabies Berbayar Berdampak pada Kenaikan Kasus?
Sejarah mengenai kasus rabies pertama kali di Indonesia terjadi pertama kali di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Epidemiolog, Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menyebut kasus rabies yang terdeteksi menular pada manusia sudah terjadi sejak tahun 1980-an.
Ketika anjing terdeteksi terkena virus rabies, kemungkinan besar akan menular ke manusia. Menurut Miko, salah satu penyebab tingginya kasus rabies saat ini diakibatkan vaksinasi yang mulai berbayar.
Dia mengkhawatirkan kemampuan masyarakat untuk melakukan vaksinasi berbayar. Sebab banyak masyarakat Indonesia yang memelihara anjing dari pemberian ataupun adopsi.
"Di Indonesia vaksinasi terhadap orang saja orang tidak mau membayar apalagi vaksinasi pada anjing. Menurut saya vaksinasi pada anjing harus dipikirkan kriterianya, kapan gratis, kapan berbayar," kata Miko kepada Liputan6.com.
Miko mencotohkan kasus rabies yang sempat terjadi di Bali sempat pada tahun 2014-2017. Saat itu kasus rabies mencapai 400 dari 500 kasus secara nasional. Penurunan kasus terjadi akibat adanya dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional. Mereka turut membantu untuk menangkap anjing-anjing liar untuk diberikan suntikan vaksin.
Menurut dia, saat itu masyarakat Indonesia kurang mengerti dan menghargai ketika hewan peliharaan terkena virus rabies. Padahal dampak penyakit rabies tertular pada manusia sangat fatal dan 97 persen kasus terrsebut menyebabkan kematian. Kepedulian masyarakat terhadap anjing dianggap salah satu penanganan pertama pada kasus rabies.
Kemudian disusulnya ketersediaan serum rabies di setiap fasilitas kesehatan. Namun, permasalahnnya tidak semua kota/kabupaten menyediakannya. Padahal keterlambatan pemberian serum kepada korban gigitan sangatlah fatal.
"Walaupun ada serumnya, kemungkinan tertolong kecil sekali. Menurut saya, mari berikan perhatian khusus pada penyakit rabies, jangan sampai ada di Indonesia. Oleh karena itu, vaksinasi pada anjing jangan lah berbayar," ucapnya.
Inkubasi Penyakit Rabies Terjadi Paska Terjadi Gigitan
Miko menjelaskan bahayanya kasus rabies yang tertular pada manusia. Setelah digigit anjing virus akan ada di jaringan syaraf. Kemudian dia akan cepat sekali beredar ke seluruh tubuh. Sedangkan masa inkubasinya terjadi sejak pasca gigitan hingga 90 hari ke depan.
"Ada yang satu hari langsung gila begitu, masa inkubasinya memang panjang. Jadi kalau 1 sampai 90 hari gejala itu muncul, kecepatan serum itu berkecepatan dengan gejala itu. Kalau gejala-gejala itu muncul, kematian pasti akan menjemput kita. Jika gejala belum muncul, serum antirabies bisa menolong kita," paparnya.
Lanjut Miko, vaksin rabies hanya diberikan kepada hewan dan akan menimbulkan antibody. Kemudian untuk manusia akan diberikan ketika seseorang tersebut tegigit anjing terduga rabies. Sedangkan serum berisikan anti racun. Untuk penanganan kasus rabies, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI tersebut mendorong pemerintah untuk membuat regulasi khusus ketika adanya satu kasus rabies ditemukan.
Atau langsung menerapkan KLB setiap kota/kabupaten atau puskesmas setempat. Hal tersebut untuk mengantisipasi adanya penularan. Sebab dalam kasus rabies paling sulit yaitu dalam pengamanan anjing daripada manusianya.
"Konsepnya setiap anjing yang kena rabies akan mati dalam 20 hari. Harusnya anjing yang kena rabies ditangkap semua, atau semua anjing dimasukkan ke dalam kandang dalam waktu sebulan paling tidak," ujar Miko.
Dia menambahkan, "Harusnya kebijakan itu diambil oleh pemerintah Indonesia. Mengandangkan tidak membunuh, sebaiknya dilakukan. Mungkin keberatannya adalah memberi makan. Menurut saya bisa gotong-royong untuk memberi makan anjing dengan sisa-sisa daging atau tulang."
Advertisement
Darurat Rabies, Jumlah Vaksinasi akan Ditambah
Sementara itu, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) Nuryani Zainuddin angkat bicara mengenai adanya peningkatan kasus rabies di beberapa daerah, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Salah satunya yaitu adanya pengalokasian vaskin rabies senilai RP 6,92 miliar secara nasional pada tahun 2023.
Nuryani menyebutkan pihaknya tengah berupaya mengakses vaksin rabies dari Badan Kesehatan Hewan Dunia atau World Organisation for Animal Health (WOAH) dengan total 400 ribu dosis. Rencananya vaksin dikirimkan secara bertahap. Sebab jumlah vaksin yang disiapkan saat ini belum mencukupi.
"Untuk respon darurat, kita kirimkan tambahan vaksin rabies ke daerah yang kasusnya meningkat seperti di NTT," kata Nuryani dalam keterangan tertulis.
Menurut dia, vaksinasi darurat dilanjutkan vaksinasi massal rabies harus segera dilakukan pada anjing di daerah-daerah tertular rabies. Targetnya yaitu minimal 70 persen populasi anjing di wilayah tertular telah mendapatkan vaksinasi. Nuryani menyebut jika vaksinasi tidak hanya melindungi hewan dari ancaman rabies. Namun juga sebagai upaya agar siklus rabies di hewan berhenti dan masyarakat terlindungi dari ancaman rabies.
Nuryani menduga peningkatan kasus rabies saat ini merupakan dampak dari adanya pandemi Covid-19 yang mengakibatkan penurunan kegiatan vaksinasi rabies dalam 3 tahun terakhir. Saat ini Kementan telah melakukan kerjasama kemitraan untuk ketahanan Kesehatan Indonesia – Australia (AIHSP) untuk mendukung pengendalian rabies.
Hal tersebut untuk peningkatan kapasitas petugas hingga pengujian laboratorium, dan KIE. Pelatihan kepada vaksibator telah dilakukan di wilayah tertular. Nuryani juga menambahkan untuk menuntaskan rabies di daerah tertular, pihaknya telah berkoordinasi dengan berbagai lembaga neagara lainnya.
Selain itu, dia mendorong pembahasan terkait potensi penggunaan sumber pendanaan lain, seperti dana desa untuk mendukung pengendalian rabies di Indonesia.
"Ada beberapa contoh desa yang berhasil menggunakan dana desa untuk mendukung pengendalian rabies, sehingga harapannya jika di semua desa tertular bisa mengakses dana ini, saya yakin akan lebih mudah untuk mengendalikan dan memberantas rabies," pungkas Nuryani.