Liputan6.com, Jakarta Paguyuban Pengusaha Pertashop Jateng-DIY mencatat bisnis Pertashop yang dijalankan tengah mengalami masa sulit. Salah satunya harusnya berhadapan dengan para penjaja bensin eceran yang kerap disebut Pertamini.
Ketua Paguyuban Pertashop Jateng-DIY DPC Kota Surakarta, Gunadi Broto Sudarmo mengungkap, kerugian yang dialami pengusaha Pertashop terjadi sejak selisih harga jual antara Pertamax dan Pertalite di pasaran cukup tinggi. Mengingat Pertashop hanya menjajakan BBM Nonsubsidi, Pertamax dan Dexlite, serta bensin eceran kerap menjual Pertalite yang merupakan BBM Bersubsidi.
Advertisement
"Dengan adanya disparitas harga, pasti ada peluang atau dimanfaatkan oleh sekelompok orang lain. Disini kami mehyoroti oenjualan pertalite di pengecer atau Pertamini," ujarnya dalam Audiensi dengan Komisi VII DPR RI, Senin (10/7/2023).
Dia menuturkan, dari sisi keuntungan, pengecer Pertalite mendapat untung jauh lebih besar dari penjualan BBM. Sementara, margin yang dipatok untuk Pertashop hanya berkisar Rp 450-850 per liternya.
"Pengecer atau pertamini yang nyata-nyata ilegal dapat margin yang lebih besar karena adanya disparitas harga yang begitu tinggi. Berapa margin dari pengecer? bisa Rp 2.000-2.500 perliter. Jadi pengecer tak mempunyai kewajiban seperti layaknya lembaga pengalur legal seperti Pertashop," urainya.
"Sedangkam Pertashop yang legal, marginnya cuma Rp 850 perliter, dapat untung yang lebih kecil tapi semua kewajiban resmi seperti pajak dan pungutan legal lainnya tetap menjadi kewajiban kami," sambungnya.
Mengenai legalitas pengecer, dia menyoroti beberapa peraturan. Diantaranya, UU 22/2021 tentang Minyak dan Gas Bumi. Perpres 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Lalu, Surat Kemendag No 62/PKTN/SD/04/2022 perihal legalitas usaha Pertamini. Serta, Surat Edaran Kementerian ESDM Nomor: 14.E/HK.03/DJM/2021.
"Ini menyebutkan bahwasannya penjualan Pertalite atau Pertamini di pengecer melanggar hukum," tegasnya.
Minta Revisi Perpres 191/2014 Disahkan
Sejalan dengan itu, Gunadi meminta pemerintah segera meresmikan revisi Perpres 191/2014, utamanya tentang kriteria kendaraan yang bisa mengonsumsi Pertalite. Dia mengaca pada aturan yang sudah berlaku dalam pembatasan kategori tertentu yang bisa membeli solar bersubsidi, Biosolar.
"Permohonan kami, evaluasi monitoring penyaluran Pertalite di pengecer, kami ingin segera disahkan revisi Perpres Nomor 191 tahun 2014. Karena sampai sekarang belum ada ketentuan mengenai Pertalite ini secara detail, beda dengan produk seperti solar, di Biosolar sudah pasti konsumennya siapa aja, sudah tertata, tapi untuk Pertalite belum," jelasnya.
Dia berharap, dengan adanya penentuan kategori pengkonsumsi Pertalite, bisa membuat penjualan BBM Khusus Penugasan itu menjadi lebih terarah.
"Masih bayak yang sebenarnya (kendaraan dalam kategori) tidak menggunakan Pertalite, seperti plat merah, BUMN, BUMD, TNI/Polri, tapi tenryata masih ditemukan menggunakan BBM jenis Pertalite," ungkapnya.
Advertisement
201 Pertashop Rugi
Diberitakan sebelumnya, Ketua Paguyuban Pertashop Jateng-DIY DPC Kota Surakarta, Gunadi Broto Sudarmo mengungkap sejumlah pengusaha Pertashop mengalami kerugian usai harga jual Pertamax dan Pertaliter terpaut cukup jauh. Dia mencatat ada 201 dari total 448 Pertashop yang mengalami kerugian.
Gunadi menerangkan, ini terjadi sejak beberapa waktu lalu ketika harga jual Pertamax mengalami kenaikan hingga pernah berada di Rp 13.300 dan saat ini dijual Rp 12.400-13.100 di sejumlah titik di Indonesia. Sementara, harga jual Pertalite di tahun lalu naik dari Rp 6.750 menjadi Rp 10.000 per liter. Artinya, ada selisih harga yang cukup besar.
Gunadi bilang, kenaikan harga Pertamax pada April 2022 lalu menjadi Rp 12.500 menganggu pemasukan para pengusaha Pertashop.
"Dengan adanya disparitas harga, omzet kami menurun drastis hingga 90 persen, usaha pertashop tidak memperoleh keuntungan, justru merugi," ujar dia dalam Audiensi dengan Komisi VII DPR RI, Senin (10/7/2023).
"Dari 448 Pertashop itu ada 201 yang rugi, Pertashop yang tutup merasa terancam untuk disita asetnya karena tidak sanggup untuk angsuran bulanannya ke bank yang bersangkutan," sambung Gunadi.
Dia mengungkap kalau sebagian besar pengusaha Pertashop memanfaatkan dana dari pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari perbankan. Dengan keuntungan yang menurun dan tanggungan beban usaha yang tetap, Gunadi menyebut itu jadi satu kerugian bagi pengusaha.
Masih mengenai disparitas harga, Gunadi menuturkan, data per Desember 2022, ada 47 persen Pertashop yang hanya mampu menjual di kisaran 0-200 liter per hari. Menurutnya, dengan tingkat penjualan ini, pengusaha Pertashop mengalami kerugian.
"Dengan omzet 200 liter perhari, berapa sih keuntungannyq? Kami tampilkan, omzet 200 liter perhari, dikali 30 hari, 6.000 liter. Margin kita Rp 850 (per liter), laba kotor Rp 5.100.000 perbulan sedangkan dalam operasional ada gaji operator mininal 2 orang, Rp 4 juta masing-masing Rp 2 juta, ada iuran BPJS ada losses dan lain sebagainya," paparnya.
"Jadi 47 persen teman-teman Pertashop yang punya omzet segitu bisa dibilang merugi, ini belum untuk (membayar) kewajiban ke bank," imbuhnya.
Anjlok Sejak April 2022
Pada kesempatan itu, Gunadi menguraikan kalau penurunan penjualan terjadi sejak April 2022, tahun lalu. Salah satu alasannya, adanya pengaruh harga minyak dunia yang turut merubah harga jual BBM Non Subsidi Pertamax CS.
Dari data yang disampaikannya, pada Januari-Maret 2022, terlihat ada rata-rata omzet penjualan sebanyak 30 ribu sampai 38 ribu liter per bulannya untuk Pertashop. Ini berlaku ketika harga jual Pertamax masih Rp 9.000 per liter.
"Namun setelah terjadinya disparitas harga antara Pertamax dan Pertalite, mulai April itu omset langsung turun drastris. Di harga (Pertamax) Rp 12.500, itu omzet 16.000 (liter) per bulan berlanjut ada fluktuasi harga sampai Rp 14.500 ada yang Rp 13.900 dan lain sebagainya, sampai sekarang di harga Rp 12.500, itupun omzet Pertashop belum bisa kembali disaat harga Pertamax Rp 9.000 dan Pertalite Rp 6.750 (perliter)," bebernya.
Advertisement