Ragam Jamu dari Era Kerajaan Majapahit yang Masih Eksis sampai Sekarang

Eksisnya minuman tradisional ini tertuang dalam prasasti Madhawapura peninggalan Kerajaan Majapahit yang menyebutkan bahwa ada profesi bernama acaraki yang berperan sebagai pembuat jamu tradisional.

oleh Asnida Riani diperbarui 11 Jul 2023, 05:00 WIB
Ilustrasi jamu Indonesia dari era Kerajaan Majapahit. (dok. unsplash/Merve Sehirli Nasir)

Liputan6.com, Jakarta - Dilihat dari catatan sejarahnya, jamu Indonesia dipercaya telah ada sejak masa Kerajaan Majapahit. Eksisnya minuman tradisional ini tertuang dalam prasasti Madhawapura peninggalan Kerajaan Majapahit yang menyebutkan bahwa ada profesi bernama acaraki yang berperan sebagai pembuat jamu tradisional.

Ini membuktikan bahwa masyarakat Jawa kuno telah mengenal jamu tradisional sebagai elemen penting dalam bidang kesehatan, catat laman Jalur Rempah Kemendikbud, Senin, 10 Juli 2023. Tanaman dan rempah yang diolah jadi jamu oleh masyarakat di era Majapahit merupakan tanaman yang diyakini dapat menyembuhkan beberapa jenis penyakit.

Berikut delapan jamu tradisional dari zaman Kerajaan Majapahit yang masih eksis sampai sekarang:

1. Kunyit asam

Jamu ini berbahan dasar kunyit dan asam, memiliki rasa manis disertai asam. Warna kuning dari jamu bermakna sebagai kehidupan yang dimulai dari masa bayi hingga anak-anak yang terasa manis.

2. Beras kencur

Terbuat dari beras dan kencur, jamu ini memiliki rasa sedikit pedas. Rasa ini mengemban makna bahwa kehidupan manusia menuju masa remaja disertai dengan merasakan kesulitan hidup.

3. Cabai puyang

Terbuat dari cabai jamu dan lempuyang, jamu ini merupakan simbol kehidupan manusia yang menginjak masa dewasa dan mulai merasakan pahitnya hidup. Makna tersebut tertuang dalam rasa jamu yang pedas dan kepahit-pahitan.

4. Pahitan

Jamu ini berbahan dasar sambiloto, pule, brotowali, dan bidara laut. Dengan cita rasa yang pahit, jamu Indonesia ini bermakna kehidupan manusia dewasa yang pahit, tapi harus tetap dijalani.

 


5. Kunci Suruh

Ilustrasi jamu sudah eksis sejak era Kerajaan Majapahit. (dok. pexels/Glaucio Guerra)

Dibuat dari temu kunci, kunyit, jahe, kencur, kapulaga, sirih, beluntas, kayu manis, asam, serai, dan jeruk nipis, jamu ini melambangkan kesuksesan di masa dewasa karena bekal yang sudah dibawa di masa muda.

6. Kudu laos

Berbahan dasar mengkudu dan laos, jamu ini terkenal sebagai jamu penghangat tubuh, sehingga memiliki makna kedewasaan manusia yang harus mampu mengayomi orang-orang di sekitarnya.

7. Uyup-uyup

Jamu yang terbuat dari kencur, jahe, bangle, laos, kunyit, dan temu giring ini melambangkan pengabdian diri manusia pada Tuhan yang berwujud kepasrahan tulus seorang hamba.

8. Sinom

Berbahan dasar asam, jamu ini bercita rasa asam, manis, dan segar. Rasa tersebut jadi simbol akhir hidup manusia yang dilahirkan dalam keadaan suci, dan akhirnya kembali dalam keadaan suci pula.

Tanaman dan rempah pembuat jamu tradisional biasanya sengaja ditanam di pekarangan atau ditemukan di hutan. Masyarakat Majapahit percaya bahwa menderita sakit medis merupakan salah satu pertanda adanya ketidakseimbangan di dalam tubuh. Jadi, harus dilakukan pengobatan dengan cara pemijatan atau padadah, operasi, dan konsumsi obat-obatan tradisional, seperti jamu. 


Eksistensi Jamu Gendong

Ilustasi jamu sudah eksis sejak era Kerajaan Majapahit. (dok. unsplash/Agnieszka Kowalczyk)

Kemanjuran jamu pun tetap dipercaya, hampir enam abad setelah kelahirannya di tanah Jawa. Di masa ini, masyarakat masih bisa menemui pedagang jamu gendong yang menjajak jamu andalan mereka, kendati jumlahnya mungkin berkurang di kota-kota besar.

Jamu-jamu olahan tersebut merupakan representasi dari "Surya Majapahit," lambang dari Kerajaan Majapahit yang berbentuk matahari dengan delapan sudut. Dalam catatan sejarahnya, merujuk buku Jamu Gendong Solusi Sehat Tanpa Obat yang ditulis Sukini, seperti ditkup 25 Januari 2023, jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan dan dipasarkan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol.

Botol-botol jamu itu kemudian disusun di dalam bakul. Penjual jamu menggendong bakul tersebut saat berjualan, yang kemudian melahirkan istilah jamu gendong. Penjual jamu gendong menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari. Mereka kebanyakan adalah perempuan, lantaran dulu tenaga laki-laki lebih diperlukan untuk bertani.

Konsep berjualan dengan menggendong barang dagangan ini jadi sesuatu yang terbilang menarik. Penjual jamu gendong biasa menggendong bakul jamunya dengan kain panjang, baik kain batik maupun lurik, sebagai salah satu ciri khas perempuan Jawa ketika membawa sesuatu.


Makna Menggendong Botol Jamu

Patung jamu gendong akan menyambut pengunjung memasuki kampung jamu Sumbersari Wonolopo, Mijen. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Disebutkan, tidak hanya penjual jamu gendong yang membawa dagangannya dengan cara digendong. Dulu, penjual aneka jajanan, seperti nasi pecel dan nasi liwet, juga berjualan dengan menggendong dagangannya.

Para perempuan Jawa, khusus pada zaman dahulu atau di daerah pedesaan, pun membawa aneka barang dengan cara digendong, termasuk ketika membawa kayu bakar, air di dalam jerigen, bahan-bahan pangan, dan hasil pertanian. Inilah yang jadi asal-usul jamu gendong di Indonesia.

Membawa sesuatu dengan cara digendong ini pun menyimpan makna tertentu. Menggendong identik dengan seorang ibu yang membuai bayinya dalam gendongan. Karena itu, para perempuan Jawa yang membawa barang dagangannya dengan cara digendong dimaknai membawa barang dagangan seperti halnya membawa anaknya sendiri.

Barang dagangan merupakan sarana mencari rezeki, sehingga harus dibawa dengan baik, ditawarkan dengan baik, dan disajikan dengan baik. Rezeki pun dicari dengan niat dan cara yang baik. Dengan demikian, usaha mencari rezeki dan apa yang didapat diharapkan memperoleh berkah dari Tuhan.

Infografis jamu populer di Indonesia. (Dok: Liputan6.com Tim Grafis)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya