Liputan6.com, Tangerang Selain demensia atau pikun, ternyata Parkinson adalah penyakit lain yang bisa mempengaruhi kualitas hidup di usia senja atau lanjut usia (lansia).
Penyakit yang menyerang saraf ini umum terjadi pada sekitar satu persen populasi mereka yang berusia lebih dari 60 tahun seperti disampaikan dokter spesialis saraf Siloam Hospital, Dr. dr Rocksy Fransisca V Situmeang.
Advertisement
"Penyakit ini menyebabkan disabilitas progresif, karena berkurangnya sel saraf penghasil depomin di otak akibat proses degerenatif," jelas Rocksy di Tangerang, Banten Selasa (11/7/2023).
Makanya, keluhan yang dirasakan pasien Parkinson setiap orang berbeda-beda. Namun keluhan utamanya seperti gerakan melambat, gemetar atau tremor, dan kekakuan pada sendi atau rigiditas.
Perlu diwaspadai, gejala ini tak melulu akan tetap, namun dapat semakin memberat seiring dengan pertambahan usia atau telat penanganan.
"Misalnya ada pasien di saat awal gejalanya tangan kiri saja yang gemetar, lalu beberapa bulan lagi kakinya yang sulit berjalan. Jadi ciri khasnya semakin hari bertambah gejala yang dirasakan," kata Rocksy.
Ciri khas gejala Parkinson selain gemetar atau tremor adalah berkurangnya ayunan lengan, suara lebih kecil atau pelan, ekspresi wajah lebih datar, gangguan tidur, berkurangnya penciuman, depresi, perasaan mudah lelah, lebih lambat berpikir. Sampai munculnya gejala disfungsi otonom seperti konstipasi, disfungsi seksual dan dermatitis seboroik.
Parkinson Perlu Didiagnosa Klinis
Bagi seorang dokter untuk mendiagnosa pasien mengidap parkinson atau bukan, perlu adanya diagnosa klinis yang mendalam dan terampil. Jadi, diagnosa yang dilakukan tidak terburu-buru dan asal saja, sebab akan berpengaruh terhadap proses pengobatan ke depannya.
"Misal ada pasien datang dengan gejala Parkinson, kita tunggu terlebih dulu sampai satu dua bulan kedepan sembari diberi pengobatan. Bila gejalanya hilang berarti bukan Parkinson. Kalau gejalanya tetap bahkan bertambah, maka kita tegakan di Parkinson," tutur Rocksy.
Setelah itu, dilakukan CT scan atau MRI untuk mengetahui titiknya. Serta untuk mengetahui, parkinson yang disebabkan murni bawaan usia atau ada penyebab dari stroke.
"Dokter spesialis saraf dapat menegakan diagnosa akurat, memerlukan observasi yang kontinyu," katanya.
Advertisement
Langkah Pengobatan untuk Pasien Parkinson
Jika seseorang sudah didiagnosa Parkinson, sudah dipastikan ada dua terapi yang akan dijalani. Pertama, dengan mengonsumsi obat-obatan tiap harinya. Kedua, dengan cara non pengobatan.
"Kalau mengonsumsi obat-obatan harus sesuai dengan keluhan pasiennya. Lalu non obat, dengan cara fisioterapi, konsumsi nutrisi, hingga penanganan dengan operasi Deep Brain Stimulatiom (DBS)," kata Rocksy.
Dengan pengobatan yang tepat, pasien Parkinson bisa bertahan tanpa gejala berat atau pertambahan gejala lainnya hingga 20 tahun.
Makanya, pasien Parkinson membutuhkan tim yang solid dari keluarga terdekat dan lingkungannya, untuk bisa tetap menjalani rutinitas sehat dan semangat menjalani pengobatan ataupun terapi di rumah sakit.
Cegah Parkinson dengan Gaya Hidup Sehat
Rocksy menjelaskan penyakit saraf tersebut gejalanya sudah bisa terlihat di saat usia muda atau tarik mundur 20 tahun sebelum usia saat tertimpa Parkinson. Pasalnya, saat didiagnosa tersebut, sel saraf penghasil depomin sudah menurun 30 persen.
"Seperti sering konstipasi atau susah BAB, depresi, susah tidur dan lainnya. Hati-hati, 20 tahun kemudian bisa jadi Parkinson menghampiri," kata Rocksy.
Lalu, gen keluarga juga bisa menjadi salah satu faktor penyebab. Hati-hati juga dengan paparan logam berat di lingkungan ataupun air minum. Eksposur pestisida dan pernah mengalami cidera pada kepala, juga bisa menjadi faktor pemicu Parkinson.
Melakukan gaya hidup dan asupan makan yang menunjang agar Parkinson tidak menghampiri. Seperti rajin berolahraga, mengonsumsi kopi juga dinilai bisa merendahkan risiko Parkinson.
"Pernah mengonsumsi obat-obatan anti radang seperti ibuprofen juga pelindung dari Parkinson. Selain itu tetap makan makanan sehat," ujarnya.
Advertisement