Liputan6.com, Jakarta Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan terdapat bisnis lintas batas atau cross border di TikTok Shop Indonesia melalui project S TikTok Shop seperti yang pertama kali mencuat di Inggris.
“Sekarang mereka klaim produk yang dijual bukan produk luar. Kata siapa, ketika saya mau bikin kebijakan subsidi untuk UMKM di online waktu COVID-19, semua pelaku e-Commerce tidak bisa memisahkan mana produk UMKM mana produk impor. Yang mereka bisa pastikan adalah yang jualan di online adalah UMKM dan mereka tidak bisa pastikan produknya ini, jadi jangan bohongi saya,” kata Menkop UKM di Kantor Kemenkop UKM, di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu (12/7/2023).
Advertisement
Menteri Teten menuturkan bahwa Pemerintah melihat fenomena project S TikTok Shop di Inggris akan merugikan pelaku UMKM jika masuk ke Indonesia.
Project S TikTok Shop dicurigai menjadi cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China.
“Di Inggris itu 67 persen algoritma TikTok bisa mengubah behavior konsumen di sana dari yang tidak mau belanja jadi belanja. Bisa mengarahkan produk yang mereka bawa dari China. Mereka juga bisa sangat murah sekali,” ujarnya lagi.
Diproduksi di China
TikTok Shop dinilainya menyatukan media sosial, crossborder commerce dan retail online. Dari 21 juta pelaku UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, mayoritas yang dijual di online adalah produk dari China.
Sehingga jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat, ujarnya pula, pasar digital Tanah Air akan didominasi oleh produk-produk dari China.
Harus Sesuai Mekanisme
Kendati demikian, Teten menegaskan bahwa ia bukan anti produk China maupun dari luar negeri. Namun, sebagai upaya untuk melindungi UMKM, produk dari luar negeri harus mengikuti mekanisme impor produk termasuk melengkapi izin edar dari BPOM, memenuhi SNI hingga sertifikasi halal.
“Kalau misalnya retail online masih dibolehkan menjual produk impor langsung ke konsumen, itu pasti UMKM tidak bisa bersaing karena UMKM di dalam negeri kalau berjualan harus mempunyai izin edar dari BPOM, harus punya sertifikasi halal, punya SNI. Mereka enak langsung,” katanya.
Adapun untuk mengatasi ancaman tersebut, Teten mendesak Kementerian Perdagangan untuk merevisi Permendag Nomor 50/2020 yang saat ini baru mengatur perdagangan di e-Commerce, bukan social commerce. Ia mengaku revisi aturan tersebut sudah diwacanakan sejak tahun lalu, namun hingga kini masih belum terbit.
“Itu bukan hanya untuk TikTok saja, untuk seluruh e-Commerce untuk juga yang cross border commerce semua. Jadi jangan kemudian saya dianggap anti TikTok, bukan, saya hanya mau melindungi produk UMKM supaya ada playing field yang sama dengan produk dari luar, jangan kemudian mereka diberi kemudahan,” kata dia pula.
Advertisement
Aturan Masih Longgar, Social Commerce Jadi Ancaman UMKM Indonesia
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mulai mengkhawatirkan agresifitas berbagai platform social commerce yang terus memperbesar pangsa pasarnya di Indonesia.
Melalui berbagai fitur-fitur baru yang ditawarkan, penjualan melalui platform social commerce terus melambung tinggi. Salah satu yang kini sedang jadi pusat perhatian Menteri Teten adalah project S yang dirilis oleh Tiktok.
“Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan," kata Teten dikutip Senin (10/7/2023).
Melalui Project S dari Tiktok Shop, Tiktok diduga akan menggunakan data mengenai produk-produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di China. Dengan teknologi dan sumber daya yang melimpah, Tiktok diyakini akan mampu mendorong produk-produk murah China membanjiri pasar dunia, termasuk Indonesia.
Selama ini pelaku usaha kecil dalam negeri sudah sangat menderita akibat adanya transaksi cross border yang dilakukan sejumlah platform e-commerce dan social commerce asing. Contohnya adalah para perajin dan produsen hijab lokal yang makin tersingkir oleh hijab impor, terutama produksi Tiongkok yang harganya sangat murah.
Berdasarkan studi World Economic Forum (WEF), hingga tahun 2021 produksi hijab lokal hanya tinggal 25%, sementara 75% dari sekitar 1,02 miliar hijab yang dijualbelikan di Indonesia dikuasai oleh produk impor. Padahal di tahun 2021 masyarakat Indonesia ditaksir menghabiskan uang untuk membeli hijab hingga USD 6,9 miliar.
Ekonom Bhima Yudhistira mendesak pemerintah untuk mengatur platform social commerce dengan tegas. Sebab, platform seperti Tiktok Shop saat ini menjadi social commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi.
“Mau diatur sebagai e-commerce, dia dianggap media sosial. Mau diatur sebagai media sosial tapi dia punya e-commerce,” kata Bhima.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) itu mengatakan, social commerce semestinya tetap didefinisikan sebagai pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau sebagai e-commerce yang telah diatur oleh Permendag. Sehingga, aturan-aturan teknisnya menjadi jelas, termasuk mematuhi harga eceran tertinggi (HET) dari beberapa produk yang sudah diatur, khususnya kebutuhan pokok.