Liputan6.com, Jakarta Ketuk palu Ketua DPR RI Puan Maharani pada rapat paripurna DPRI RI yang digelar pada Selasa, 11 Juli kemarin menjadi tanda telah resmi disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (RUU Kesehatan) menjadi UU.
Sebelum mengetuk palu, Puan Maharani menanyakan kepada peserta sidang mengenai RUU Kesehatan.
Advertisement
"Kami menanyakan kembali ke seluruh peserta sidang, apakah Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini disetujui menjadi Undang-Undang?," tanya Puan ke peserta sidang.
Diketahui ada enam fraksi di DPR yang menyetujui disahkannya UU Kesehatan. Yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP. Sementara, Demokrat dan PKS menolak RUU tersebut.
Lantas, apa alasan Demokrat menolak RUU Kesehatan tersebut? Ada tiga catatan Demokrat mengapa fraksinya menolak RUU Kesehatan disahkan. Satu di antaranya terkait indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang dinilai sangat berlebihan.
"Fraksi Partai Demokrat mendukung sepenuhnya, kemajuan praktik kedokteran dan hospitality, termasuk hadirnya dokter asing. Namun, tetap mengedepankan prinsip resiprokal bahwa dokter Indonesia, baik lulusan dalam negeri, maupun lulusan luar negeri, diberikan pengakuan yang layak, dan kesempatan yang setara dalam mengembangkan karir profesionalnya di negara sendiri," beber Anggota Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf, Selasa, 11 Juli 2023.
Sementara itu, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), selaku Ketua Umum Partai Demokrat juga mengatakan bahwa RUU Kesehatan dinilai tidak menjawab harapan para dokter dan tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia.
Persatuan perawat di Tanah Air yang tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) juga menyatakan penolakannya terhadap UU Kesehatan yang telah disahkan.
Menurut Ketua PPNI, dengan disahkannya RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang dikhawatirkan dapat mengancam lapangan kerja bagi perawat Indonesia.
“Sementara di kita, lulusan perawat lebih dari 75 ribu per tahun, mau ke mana ini? Jangankan membuka peluang kerja justru ini mengancam bagi keberadaan ruang-ruang kerja perawat yang ada di dalam negeri," kata Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah dalam demo tolak RUU Kesehatan di depan gerbang Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Selasa (11/7/2023).
Meski banyak penolakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi justru menyambut baiik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kini telah disahkan menjadi UU. Dengan UU Kesehatan kini, dirinya berharap tenaga dokter di Indonesia dapat diperbanyak.
"Dan kita harapkan kekurangan dokter bisa lebih dipercepat, kekurangan spesialis bisa dipercepat. Saya kira arahnya ke sana," ujarnya.
Berikut ini sejumlah tokoh hingga organisasi yang menyatakan menolak disahkannya RUU Kesehatan menjadi Undang Undang oleh DPR RI:
1. Ketua PPNI: RUU Kesehatan Ancam Lapangan Kerja Perawat Indonesia
Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah khawatir bahwa penandatangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dapat mengancam lapangan kerja perawat Indonesia.
“Undang-undang ini kalau dilihat dari substansinya juga mengandung bagaimana memudahkan kemungkinan bagi tenaga-tenaga kesehatan asing yang mengikuti investasi di bidang kesehatan untuk masuk ke Indonesia,” kata Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah dalam demo tolak RUU Kesehatan di depan gerbang Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Selasa (11/7/2023).
Alih-alih dikirim ke luar negeri, lanjut Harif, nyatanya tidak ada upaya-upaya pemerintah untuk memberdayakan, memberikan insentif, dan membantu perawat Indonesia yang ada di luar negeri dalam RUU ini.
“Artinya undang-undang ini juga sama saja, tidak ada yang lebih baik. Oleh karena itu kami tolak.”
Ada tiga alasan PPNI menolak RUU Kesehatan disahkan hari ini.
1. RUU Kesehatan seperti Dibuat Secara Sembunyi-Sembunyi
Menurut Harif, rancangan undang-undang ini seperti dibuat secara sembunyi-sembunyi. Sebab, kata Harif, hingga hari ini pihaknya tidak mendapatkan draf resmi dari RUU Kesehatan Omnibus Law itu.
"Sampai hari ini kami tidak mendapatkan akses terhadap draf yang dibahas. Kenapa sampai demikian kami meminta akses? Karena kami tenaga kesehatan, khususnya perawat yang (jumlahnya) 60 persen dari seluruh jumlah nakes adalah stakeholder yang penting yang akan menjalankan UU itu bila sudah jadi," kata Harif di depan gerbang Gedung DPR RI pada Selasa 11 Juli 2023.
Harif merasa bahwa dia dan jajarannya adalah pihak yang penting dalam RUU ini sehingga harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi di dalam pembuatannya.
"Kami ingin ada partisipasi dan dalam berbagai kesempatan kami melakukan lobi, advokasi, audiensi, dan sebagainya terhadap aspirasi kita ini tapi belum ada yang diterima aspirasi kami itu," kata Harif.
2. RUU Kesehatan dan Isu Mandatory Spending
Hal kedua yang dipermasalahkan oleh PPNI dan OP lain adalah isu menghilangkan mandatory spending atau anggaran belanja yang sebelumnya sudah diatur UU.
"Mandatory spending ini semula lima persen dari APBN dan 10 persen APBD. Apa yang terjadi kalau dihilangkan? Hari ini tenaga perawat itu lebih dari 80 ribu orang berstatus honor dan sukarelawan. Yang di daerah bahkan negara tidak mampu memberikan kompensasi untuk kerja mereka di daerah terpencil," katanya.
"Apa jadinya kalau mandatory spending dihilangkan? Saya kira akan semakin parah dan tidak mendapat kejelasan bagaimana mereka dibayar, sementara mereka sudah mengabdi puluhan tahun, belasan tahun kepada faskes milik pemerintah," Harif menambahkan.
Menghilangkan mandatory spending, lanjut Harif, dapat membuat para tenaga honor diberhentikan. Sementara di daerah-daerah jumlah PNS-nya lebih sedikit. Hal ini dapat berpengaruh pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat, ujar Harif.
3. RUU Kesehatan dan Pengaruh Khusus bagi Perawat
Pengesahan RUU Kesehatan, kata Harif, akan berdampak pada pengaturan delegasi blanko.
"Maka dampaknya adalah pada pengaturan delegasi blanko nanti kita tidak tahu aturan seperti apa yang akan dibuat oleh pemerintah nanti. Yang sudah ada dihilangkan, tapi kita tidak tahu yang baru seperti apa," Harif menekankan.
Ini dinilai sebagai bentuk penurunan kepastian hukum, pengembangan, keamanan, dan pengamanan profesi perawat.
Advertisement
2. RUU Kesehatan Sah Jadi Undang-Undang, Ketua IDI: Ini Pendzaliman Terhadap Organisasi Profesi
Pada pagi sebelum penandatanganan RUU Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi profesi (OP) lain melakukan unjuk rasa di depan gerbang Gedung DPR RI, Jakarta Selatan.
Dalam unjuk rasa itu, Ketua IDI, Adib Khumaidi, mengatakan, jika RUU Kesehatan disahkan, ini akan menjadi awal perjuangan mereka.
"Kita datang ke rumah wakil-wakil rakyat kita dan ini tidak akan jadi yang terakhir, kita mungkin akan sering ke sini apabila yang ada di dalam tidak mewujudkan kepentingan untuk kesehatan rakyat," kata Adib dalam orasinya.
RUU Kesehatan Disahkan, Perjuangan Dimulai
Dia juga mengatakan bahwa perjuangan ini bukan untuk kepentingan organisasi profesi, bukan karena kepentingan tenaga medis, dan tenaga kesehatan tapi untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Berbeda dengan demo-demo sebelumnya yang disebut 'Aksi Damai', unjuk rasa kali ini bertajuk 'Aksi Selamatkan Kesehatan Rakyat Indonesia' dari RUU Kesehatan Omnibus Law.
"Hari ini bukan titik akhir perjuangan kita, tapi hari ini adalah titik awal perjuangan bahwa apa yang kita perjuangkan dan selalu kita perjuangkan adalah untuk kesehatan rakyat Indonesia," Adib menekankan.
Adib menilai bahwa Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini menunjukkan pendzoliman terhadap organisasi profesi.
Sebab, RUU Kesehatan ini adalah sebuah janji manis pembuktian transformasi yang sengaja dilembagakan dan diregulasikan dalam bentuk undang-undang.
"Kita akan melihat, apa yang akan terjadi ke depan dan siapa yang ada di dalam adalah orang-orang yang mempunyai tanggung jawab apabila kesehatan rakyat Indonesia semakin buruk," katanya.
3. Tolak RUU Kesehatan, AHY: Tak Menjawab Harapan Para Dokter dan Nakes
Partai Demokrat pastikan menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan. Menurut Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) RUU tersebut tidak menjawab harapan para dokter dan tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia.
"Kita menolak karena memang ada sejumlah substansi yang menurut kami tidak bisa menjawab harapan dari para dokter dan tenaga kesehatan kita di Indonesia," tuturnya, saat ditemui di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Rabu (12/7/2023) dini hari.
Lalu, Partai Demokrat juga menilai ada masalah keadilan di RUU yang kini sudah disahkan jadi undang-undang tersebut. Termasuk juga Partai Demorkat ingin sekali mempertahankan dan memperjuangkan mandatory spanding 5 persen, nilai tersebut dari APBN yang diharapkan dengan itu bisa menyakinkan sektor kesehatan Indonesia juga semakin baik kualitasnya.
"Dan ada beberapa juga hal lainnya, yang jelas itu lah kami menolak RUU kesehatan. Karena sekali lagi ada sejumlah isu, sejumlah elemen penting yang tidak bisa menjawab harapan kita," katanya.
Dia mengaku khawatir, ketika Undang-undang Kesehatan ini disahkan, akan benar-benar berpengaruh pada masa depan sektor kesehatan di Indonesia.
Advertisement
4. RUU Kesehatan Disahkan Jadi Undang-Undang, CISDI Nilai Terburu-Buru dan Tidak Transparan
Pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan itu mendapat respons berbagai pihak, salah satunya Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).
CISDI mengecam keras langkah DPR RI mengesahkan RUU Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna kemarin.
CISDI menilai penyusunan RUU Kesehatan dilakukan secara terburu-buru dan tidak transparan. Beberapa hal yang mengindikasikan hal tersebut yakni proses konsultasi yang singkat dan tidak dipublikasikannya naskah final kepada punlik secara resmi sebelum pengesahan. Selain itu, CISDI berpendapat, pengesahan RUU menjadi UU itu juga mengabaikan rekomendasi masyarakat sipil terkait aspek formil dan materiil dalam RUU Kesehatan.
"Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti," ungkap Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih melalui keterangan resmi yang diterima Liputan6.com.
Diah mengatakan, tertutupnya proses penyusunan RUU Kesehatan ditandai dengan absennya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang. Setelah Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan terkait RUU Kesehatan bersama pemerintah pada 19 Juni 2023, naskah terbaru masih tidak jelas keberadaannya.