UU Kesehatan Disahkan, Ini Respons Menkes Budi Soal IDI Siap Tempuh Judicial Review

Respons Menkes Budi Gunadi Sadikin soal IDI dan organisasi profesi lain yang siap menempuh 'judicial review' terkait UU Kesehatan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 13 Jul 2023, 11:00 WIB
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menanggapi soal adanya organisasi profesi yang akan bersiap menempuh atas disahkannya UU Kesehatan yang baru di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa, 11 Juli 2023). (Dok Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Jakarta - Jauh-jauh hari sebelum UU Kesehatan yang baru disahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan empat Organisasi Profesi (OP) lain sudah merencanakan adanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Upaya ini sebagai bentuk perjuangan organisasi profesi yang menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Rencana pengajuan judicial review kembali menyeruak oleh IDI selepas UU Kesehatan disahkan pada 11 Juli 2023. Dikatakan, empat organisasi profesi yang lain yang juga akan mengajukan judicial review yakni Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menanggapi adanya rencana judicial review dari organisasi profesi terhadap UU Kesehatan. Secara tidak langsung, ia menyentil beberapa isu yang menjadi penolakan organisasi profesi terhadap UU Kesehatan.

“Saya bicara dengan banyak dokter muda, saya bicara dengan dokter yang ada di luar kota-kota besar, mereka menyatakan bahwa untuk mendapatkan izin praktik di luar kota besar itu susah,” terang Budi Gunadi usai Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023).

“Banyak yang menceritakan susahnya seperti apa, prinsip dari disusunnya UU ini adalah kita mau simplifikasi perizinan.”

Soal Izin Praktik

Terkait izin praktik, baik Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) juga disorot Budi Gunadi. Terlebih lagi, STR akan mulai berlaku seumur hidup.

"Lalu kalau tadi dua, STR, SIP, kenapa sih enggak dibikin satu? Kalau syaratnya lima, kenapa sih enggak dibikin dua. Kalau misalnya kita lihat substansinya, apa rekomendasi dari OP, itu tidak dipindahkan? Jadi kita hapuskan. Itu untuk menjaga, bagaimana kita tahu etikanya bagus atau tidak,” pungkas Menkes Budi.


Penilaian Subjektif dari Senior

Banyak dokter yang selama ini mendapatkan persetujuan berpraktik di rumah sakit dengan penilaian subjektif seorang senior. Penilaian masih dilakukan secara personal.

Hal ini tentu merugikan sejumlah dokter yang kerap mendapatkan penilaian semacam itu.

"Kalau ketemu oknum yang tidak baik, tidak suka atau ada nepotisme dia bisa tidak diberikan dan izinnya akan sangat sulit, itu terjadi di banyak kota," sambung Menkes Budi Gunadi Sadikin.

Kejadian semacam ini berulang, menurut Budi Gunadi, tidak kunjung mendapatkan penyelesaian. 

Sistem Diawasi Transparan

Oleh karena itu, melalui UU Kesehatan baru, penilaian perizinan praktik terkait etik masing-masing tenaga kesehatan tidak lagi dilakukan secara individu, melainkan masuk ke dalam sebuah sistem yang bisa diawasi secara transparan.

"Semua dokter yang punya masalah etik nanti kan ada majelis etik, masukkan ke sana secara transparan, mereka dijalankan prosedurnya, dan mereka boleh membela diri kan kalau mereka tidak beretika," jelas Budi Gunadi.

"Itu dilakukan secara transparan melalui mekanisme terbuka, tidak satu per satu, personal, ini untuk menjaga etika yang kita berikan izinnya.”


Belum Memerhatikan Aspirasi Semua Kelompok

Ketua PB IDI Moh. Adib Khumaidi membeberkan beberapa alasan yang membuat IDI dan empat organisasi lain ajukan judicial review terkait pengesahan RUU Kesehatan. (Ade Nasihudin Al Ansori/Liputan6.com)

Ketua PB IDI Moh. Adib Khumaidi membeberkan beberapa alasan yang membuat IDI dan empat organisasi lain mengajukan judicial review terkait pengesahan RUU Kesehatan.

Pertama, proses penyusunan RUU Kesehatan belum mencerminkan partisipasi yang bermakna. 

"Belum memerhatikan aspirasi dari semua kelompok termasuk profesi kesehatan dan kelompok yang memberikan aspirasi terkait kesehatan di Indonesia," kata Adib dalam keterangan video, Rabu (12/7/2023).

Dinilai Tidak Transparan

Kedua, pembuatan UU Kesehatan yang baru ini dinilai tidak transparan. Hal ini lantaran, sampai kemarin, Selasa, 11 Juli 2023 PB IDI dan empat organisasi profesi lain belum dapat rilis resmi soal RUU Kesehatan final yang kemudian disahkan.

"Sebuah cacat prosedural dalam pembuatan regulasi," lanjut Adib.


Sudah Cukup Demonya, Silakan 'Judicial Review'

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem Irma Chaniago meminta agar demo terkait pengesahan UU Kesehatan dapat dihentikan. Ia mendorong agar pihak yang tidak puas dengan pengesahan UU Kesehatan itu dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau judicial review itu dibenarkan, silakan saja lakukan judicial review enggak ada masalah, karena memang itu diperbolehkan. Tapi harus tahu juga yang mana yang harus di-judicial review," ungkapnya di Ruang Rapat Badan Legislatif (Baleg), Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (12/7/2023).

“sampaikan juga ke kawan-kawan yang temen-temen kenal juga, sudahlah cukuplah demo-demonya.”

Naskah Sudah Disiapkan Sebelumnya

Irma turut merespons anggapan RUU Kesehatan baru ini terkesan terlalu terburu-buru disahkan.

"Kan naskah akademiknya sudah kita siapkan sebelumnya, bukan baru tiba-tiba kita bikin naskah akademiknya ketika kita melakukan rapat-rapat, jadi mereka keliru," pungkasnya.

Infografis Sederet Aspek Disempurnakan di UU Kesehatan. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya