Monster Gelombang Panas Cerberus Menyerang Eropa, Suhu Ekstrem di Spanyol Melampaui 60 Derajat Celcius

Sejumlah turis di Italia dikabarkan pingsan karena sengatan panas, termasuk seorang pria Inggris yang tengah berada di luar Colosseum di Roma.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 17 Jul 2023, 07:59 WIB
Ilustrasi suhu panas ekstrem. (Dok. Pixabay/RosZie)

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang panas Cerberus mencengkeram Eropa selatan dan diperkirakan akan memicu lonjakan suhu  dalam beberapa hari mendatang.

Penamaan Cerberus sendiri diberikan oleh Masyarakat Meteorologi Italia. Itu merujuk pada nama monster berkepala tiga dalam mitologi Yunani, yang mampu menyemburkan api.

Independent melansir pada Kamis (13/7/2023), bahwa suhu tanah di sejumlah daerah di Spanyol berdasarkan rekaman satelit telah melampaui 60 derajat Celcius. Saking panasnya, bahkan warna merah pada peta berubah menjadi hitam.

Rekor suhu telah dipecahkan di sebagian besar Eropa, termasuk Prancis, Swiss, Jerman, dan Italia, di mana suhu tertinggi 40 derajat Celcius kembali tercatat pada Rabu (12/7).

Dikutip dari BBC, suhu di Italia diprediksi dapat mencapai 48,8 derajat Celcius. Level siaga merah telah dikeluarkan untuk 10 kota, termasuk Florence dan Roma.

Pada Selasa (11/7), seorang pria usia 44 tahun dilaporkan pingsan di tengah panas ekstrem saat sedang mengecat zebra cross di Kota Lodi. Dia dilarikan ke rumah sakit, di mana dia kemudian dinyatakan meninggal.

Sejumlah turis di Italia juga pingsan karena sengatan panas, termasuk seorang pria Inggris yang tengah berada di luar Colosseum di Roma.

"Kita mengalami gelombang panas yang tidak tertahankan," twit politikus Italia Nicola Fratoianni.

"Pada jam-jam terpanas, semua tindakan pencegahan perlu diambil untuk menghindari tragedi seperti yang terjadi di Lodi."

Met Office, badan cuaca nasional Inggris, mengungkapkan bahwa suhu panas ekstrem akan mencapai puncaknya pada Jumat (14/7).

Di ibu kota Republik Ceko, cuaca panas pada Sabtu (15/7), diperkirakan dapat setinggi 36 derajat Celcius. Itu naik dari rata-rata 24 derajat Celcius selama bulan Juli.

Suhu terpanas di Eropa sebelumnya, yaitu setinggi 48,8 derajat Celcius, tercatat di dekat Syracuse, Sisilia, Italia, pada Agustus 2021.


Lebih dari 60 Ribu Kematian Akibat Cuaca Panas Ekstrem

Layanan cuaca Spanyol mengatakan termometer berpotensi mencapai 45 C (113 F) di daerah tenggara Semenanjung Iberia, yang waspada terhadap panas ekstrem. (AP Photo/Manu Fernandez)

Sebuah studi yang dipublikasikan pada Senin (10/7) di Jurnal Nature Medicine, mencatat terdapat lebih dari 60.000 kematian akibat gelombang panas pada tahun 2022.

Pakar kesehatan masyarakat menggunakan pemodelan epidemiologi untuk mendapat data tersebut. Hasilnya, 61.627 orang meninggal karena dipicu suhu panas di Eropa antara 30 Mei dan 4 September 2022, dengan tingkat kematian tertinggi di Italia, Yunani, Spanyol, dan Portugal.

"Ada orang yang sekarat, tapi itu tidak dihitung dalam metode ini," ungkap Joan Ballester, profesor riset iklim dan kesehatan di Barcelona Institute for Global Health sekaligus penulis utama studi tersebut seperti dikutip dari The Guardian.

Hanya sebagian kecil dari kematian tersebut yang terkait langsung dengan sengatan panas. Mayoritas kasus, cuaca ekstrem membunuh mereka dengan isu kesehatan lain, seperti penyakit jantung dan paru-paru.

Panas terhebat melanda pada 18 hingga 24 Juli 2022, di mana terdapat 11.637 kematian.


Perempuan Paling Terdampak

Suhu di Madrid naik menjadi sekitar 36 derajat Celcius pada hari Sabtu dengan cuaca yang lebih panas diperkirakan akan terjadi dalam beberapa hari mendatang. (AP Photo/Manu Fernandez)

Baik penelitian di Swiss maupun di seluruh Eropa menemukan bahwa tingkat kematian perempuan, terutama yang lebih tua, akibat cuaca ekstrem lebih tinggi dibanding pria.

Studi di Swiss menggarisbawahi bahwa polusi dari pembakaran bahan bakar fosil dan perusakan alam akan menambah jumlah kematian.

Lebih dari 2.000 perempuan di Swiss telah menuntut pemerintah ke pengadilan hak asasi manusia Eropa karena dianggap gagal berbuat cukup untuk menghentikan pemanasan global, mengutip risiko kesehatan mereka. Sementara itu, pemerintah Swiss setuju bahwa kenaikan suhu membahayakan kesehatan masyarakat, namun menolak memperlakukan sekelompok perempuan tersebut sebagai korban menurut hukum.

Pemerintah menegaskan bahwa kaitan antara kebijakannya dan penderitaan yang dialami para perempuan itu terlalu lemah dan jauh.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya