Banyak Merek Fesyen Dunia Tolak Ungkap Rantai Pasok di Tengah Gelombang Klaim Ramah Lingkungan

Indeks Transparansi Mode memberi peringkat pada tingkat keterbukaan merek fesyen seputar praktik perusahaan yang berkaitan hak asasi manusia dan kebijakan lingkungan.

oleh Asnida Riani diperbarui 17 Jul 2023, 09:30 WIB
Ilustrasi merek fesyen dunia dengan klaim ramah lingkungan. (Foto ilustrasi: unsplash.com)

Liputan6.com, Jakarta - Laporan baru dari Fashion Revolution, nirlaba "gerakan aktivisme mode," mengklaim bahwa sebagian besar merek fesyen besar menolak mengungkap secara terbuka informasi penting tentang rantai pasokan mereka, di tengah gelombang klaim ramah lingkungan.

Melansir CNN, Jumat, 14 Juli 2023, Indeks Transparansi Mode, tinjauan tahunan yang ditetapkan grup tersebut sejak 2017, memberi peringkat pada tingkat keterbukaan lini mode seputar praktik perusahaan yang berkaitan hak asasi manusia dan kebijakan lingkungan.

"Transparansi hanyalah titik awal, dan tampaknya banyak merek yang bahkan gagal menyediakan (data tersebut)," bunyi pengantar laporan yang dirilis 13 Juli 2023. Sebaliknya, mereka menegaskan, "Ada kepentingan pribadi dalam menampilkan janji-janji kosong."

Pihaknya juga menyinggung target tidak ambisius yang "tidak siap menyelamatkan kita dari krisis iklim, sambil melanjutkan kelebihan (produksi) tidak masuk akal, pencurian upah, dan pengeringan planet kita." Studi ini mengumpulkan data yang tersedia untuk umum tentang merek dengan omzet tahunan lebih dari 400 juta dolar AS.

Daftarnya termasuk perusahaan fesyen di bidang mode cepat, mewah, pakaian olahraga, denim, dan aksesori. Tidak ada informasi yang dirilis Fashion Revolution yang diverifikasi atau diaudit pihak independen, tapi laporan tersebut ada sebagai berkas klaim yang diharapkan kelompok tersebut dapat digunakan pemangku kepentingan untuk "meminta pertanggungjawaban merek."

Tahun ini, mengangkat isu upah layak dan ketidaksetaraan pekerja jadi fokus baru Fashion Revolution, yang sejak Juli 2022 telah mengampanyekan kenaikan gaji di seluruh rantai pasokan global. Untuk Indeks 2023, grup tersebut meminta informasi pada 250 merek besar tentang gaji mingguan untuk pekerja tingkat pemula.


Laporan Fashion Revolution

Ilustrasi merek fesyen dunia dengan klaim ramah lingkungan. (Foto: Free-Photos from Pixabay)

Mereka juga meminta data jumlah pekerja yang dibayar "per satuan" dalam rantai pasokan mereka. Artinya, pembayaran berkorelasi langsung dengan seberapa banyak mereka dapat menghasilkan produk, bukan waktu bekerja.

Menurut laporan tersebut, 99 persen dari merek yang ditanyai tidak mengungkap jumlah pekerja dalam rantai pasok mereka yang dibayar dengan upah layak. Satu persen sisanya mengatakan bahwa mereka telah memberi upah lebih tinggi dari yang diwajibkan undang-undang setempat.

Namun, Fashion Revolution menunjukkan bahwa ini, dalam banyak kasus, tidak sama dengan upah layak huni. Temuan lain dalam laporan tersebut membahas kekurangan industri dalam menghadapi krisis iklim yang sedang berlangsung.

Menurut Indeks, 94 persen merek teratas industri tidak mengungkap secara terbuka bahan bakar apa yang digunakan untuk memproduksi pakaian mereka. Hanya enam persen yang mengaku mengandalkan batu bara untuk menggerakkan setidaknya beberapa rantai pasokan mereka. Lalu, hanya sembilan persen yang mengungkap langkah-langkah yang diambil untuk mendekarbonisasi lini produksi mereka.


Mengubah Sistem

Ilustrasi merek fesyen dunia dengan klaim ramah lingkungan. (unsplash.com/@waldemarbrandt67w)

Laporan tersebut juga mengklaim bahwa semakin banyak merek yang mengomunikasikan pendekatan mereka terhadap uji tuntas, yakni mengidentifikasi hak asasi manusia, risiko lingkungan, dan dampak pemangku kepentingan di seluruh rantai pasokan.

Saat ini, 68 persen merek fesyen menerbitkan proses untuk mengidentifikasi masalah hak asasi manusia dalam rantai pasokan mereka, sedangkan 49 persen berbagi pendekatan mereka untuk masalah lingkungan. Indeks berpendapat kenaikan ini kemungkinan didorong undang-undang yang masuk seperti Pedoman Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan yang diusulkan Komisi Eropa pada Februari 2022.

Laporan tersebut menilai 250 merek berdasarkan transparansi mereka dan mengubah skor tersebut jadi persentase. Tahun ini, 18 merek mendapat skor hanya 0--5 persen. Artinya, mereka tidak mengungkapkan apapun atau sangat sedikit terkait masalah hak asasi manusia dan iklim.

210 dari 250 merek menerima skor kurang dari 50 persen, dan hanya dua perusahaan yang dianggap transparan, mencatat nilai 80 persen. "Masalah dalam industri fesyen tidak pernah jatuh pada satu orang, merek, atau perusahaan mana pun,” bunyi laporan tersebut. "Itulah mengapa kami fokus menggunakan suara kami untuk mengubah keseluruhan sistem."


Waspada Greenwashing

Ilustrasi merek fesyen dunia dengan klaim ramah lingkungan. (Photo by Quang Nguyen Vinh: https://www.pexels.com/photo/fishing-fashion-man-person-6346764/)

Klaim ramah lingkungan telah riuh digemakan sederet merek, dari UMKM sampai perusahaan global, seiring narasi krisis iklim yang gencar disuarakan dan menarik atensi publik. Bersamaan dengan itu, tuduhan greenwashing juga makin kencang berhembus.

Melansir Tech Target, 1 November 2022, greenwashing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tindakan palsu, menyesatkan, atau tidak benar maupun serangkaian klaim dampak positif yang dimiliki perusahaan, produk, atau layanan terhadap lingkungan.

Sebagai pelanggan, tentu penting memahami mana perusahaan yang benar-benar berdampak pada ibu Bumi atau mereka yang ternyata sekadar greenwashing. Sebagai langkah awal, menurut Head of Communication PT Unilever Indonesia, Tbk., Kristy Nelwan, konsumen harus punya rasa ingin tahu.

"Jadi harus cari tahu terus. Ini benar enggak campaign-nya, apa dampaknya, jelas enggak tujuannya, karena kalau (kampanye ramah lingkungannya) benar dan (pelanggan) mau mencari, informasinya ada dan enggak sulit didapatkan," ia mengatakan ketika ditemui usai jumpa pers peluncuran kampanye "Every U Does Good" inisiasi Unilever Indonesia di bilangan Jakarta Pusat, 1  November 2022.

Kristy menyambung, "Kemudian, apakah benar ada program yang berkelanjutan. Walau (dari) semua program itu ada yang berhasil banget, ada yang harus di-improve. Yang harus kita hargai adalah upayanya, tapi benar ada, enggak greenwashing."

Ia mengatakan, membedakan dengan "kasat mata" memang tidak akan bisa. "Dimulai dari pertanyaan kritis, 'Apakah ini greenwashing atau benar berdampak pada lingkungan?' lalu mau mencari tahu," tuturnya. Kristy mengatakan, pelanggan juga bisa melihat apakah upaya ramah lingkungan sebuah merek ada dalam inovasi produk, kemasan, serta program berdampak. 

Macam-macam material fesyen berkelanjutan. (dok. Liputan6.com/Trie Yasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya