Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) menegaskan tetap mengatur penggunaan pemanis buatan aspartam (aspartame) yang biasa digunakan pada produk makanan dan minuman. Hal ini tertuang dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP).
Pengaturan BPOM RI tersebut menjawab perihal hasil kajian terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) melalui International Agency for Research on Cancer (IARC) dan Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA).
Advertisement
Bahwa pemanis buatan aspartam berpotensi karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker.
IARC menggolongkan aspartam sebagai kemungkinan karsinogenik bagi manusia (Grup 2B) berdasarkan bukti terbatas untuk kanker pada manusia -- khususnya, untuk karsinoma hepatoseluler, yang merupakan jenis kanker hati.
"Aspartam ini masuk ke Bahan Tambahan Pangan (BTP) dan penggunaannya telah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan," tulis BPOM dalam keterangan yang diterima Health Liputan6.com pada Minggu, 16 Juli 2023.
Belum Ada Perubahan Regulasi
Berkaitan dengan kajian terbaru IARC dan JECFA, belum ada perubahan regulasi soal aspartam yang ada pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 ini.
"Saat ini, belum ada perubahan terkait peraturan (pemanis buatan aspartam) tersebut," lanjut keterangan BPOM.
Aturan Penggunaan Pemanis Buatan
Sebagaimana Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), berikut ini beberapa pengaturan soal pemanis, termasuk pemanis buatan.
Pada Pasal 12:
(1) Penggunaan BTP Pemanis dapat berupa Table-top sweetener.
(2) Table-top sweetener sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh dikemas dalam kemasan sekali pakai yang setara dengan 5 (lima) gram sampai 10 (sepuluh) gram gula (sukrosa).
Kemudian Pasal 13 berbunyi, BTP Pemanis Buatan tidak dapat digunakan pada produk Pangan yang khusus diperuntukkan bagi bayi, anak usia di bawah tiga tahun, ibu hamil dan/atau ibu menyusui.
Advertisement
Tidak Mencerminkan Risiko Berkembangnya Kanker
Identifikasi bahaya International Agency for Research on Cancer (IARC) adalah langkah mendasar pertama untuk memahami karsinogenisitas suatu agen dengan mengidentifikasi sifat spesifiknya dan potensinya untuk menyebabkan kerusakan, yaitu kanker.
Klasifikasi IARC mencerminkan kekuatan bukti ilmiah mengenai, apakah suatu agen dapat menyebabkan kanker pada manusia, tetapi klasifikasi tersebut tidak mencerminkan risiko berkembangnya kanker pada tingkat paparan tertentu.
Evaluasi bahaya IARC mempertimbangkan semua jenis paparan (misalnya, makanan, pekerjaan). Klasifikasi kekuatan bukti di Grup 2B adalah tingkat tertinggi ketiga dari 4 tingkat dan umumnya digunakan baik ketika ada bukti terbatas, tetapi tidak meyakinkan untuk kanker pada manusia atau bukti meyakinkan untuk kanker pada hewan percobaan, tetapi tidak pada keduanya.
“Temuan bukti terbatas karsinogenisitas pada manusia dan hewan, dan bukti mekanistik terbatas tentang bagaimana karsinogenisitas dapat terjadi, menggarisbawahi perlunya penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakan pemahaman kita tentang apakah konsumsi aspartam menimbulkan bahaya karsinogenik,” kata program IARC Monographs, Dr Mary Schubauer-Berigan dalam rilis yang diterima Health Liputan6.com.
Kembangkan Studi Lebih lanjut
Evaluasi International Agency for Research on Cancer (IARC) dan Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) tentang dampak aspartam didasarkan pada data ilmiah yang dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk makalah peer-review, laporan pemerintah, dan studi yang dilakukan untuk tujuan regulasi.
Studi tersebut telah ditinjau oleh para ahli independen, dan kedua komite telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan independensi dan keandalan evaluasi mereka.
IARC dan WHO akan terus memantau bukti baru dan mendorong kelompok penelitian independen untuk mengembangkan studi lebih lanjut tentang hubungan potensial antara paparan aspartam dan efek kesehatan konsumen.
Advertisement