Gelombang Panas Terjang Athena Yunani, Acropolis Ditutup untuk Kunjungan Wisata

Yunani memutuskan untuk menutup Acropolis kuno selama gelombang panas berlangsung demi melindungi para wisatawan. Badan Antariksa Eropa (ESA) telah memperingatkan bahwa Italia, Spanyol, Prancis, Jerman, dan Polandia sedang menghadapi kondisi cuaca panas ekstrem.

oleh Dinny MutiahFarel Gerald diperbarui 18 Jul 2023, 18:02 WIB
Ilustrasi gelombang panas. (Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Yunani memutuskan untuk menutup kawasan Acropolis kuno selama periode gelombang panas berlangsung demi melindungi para wisatawan. Melansir dari The Guardian, Selasa (18/7/2023), pihak berwenang di Athena mengumumkan penutupan Bukit Acropolis, lokasi kuil Parthenon yang menjadi tujuan jutaan wisatawan setiap tahun, dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB (0900 GMT-1400 GMT), pada Sabtu, 15 Juli 2023.

Badan Meteorologi Yunani memperkirakan suhu akan mencapai puncaknya sekitar 41 derajat Celcius di Athena pada tengah hari. Namun, suhu di lokasi tersebut biasanya lebih tinggi karena ketinggiannya dan minimnya tempat teduh. Diperkirakan suhu tinggi tersebut masih akan bertahan dalam beberapa hari mendatang.

Mengutip DW, Menteri Kebudayaan Yunani Lina Mendoni mengatakan bahwa tubuh manusia akan merasa lebih panas jika berada di puncak Acropolis. Karena itu, kementeriannya memutuskan menutup kawasan kuil kuno tersebut dengan tujuan 'melindungi pekerja dan para pengunjung'. Acropolis di saat normal biasanya dibuka dari pukul 8 pagi hingga 8 malam setiap hari.

Keputusan penutupan itu mengecewakan sejumlah turis yang ingin melihat situs arkeologi yang masuk daftar UNESCO. "Aku bahkan membeli tiket 50 euro untuk melewati antrean masuk dan aku tak bisa masuk tempat itu," kata seorang turis kepada Associated Press.

Dalam beberapa hari terakhir, otoritas Yunani mengambil sejumlah langkah untuk menangani gelombang panas yang menyengat di Acropolis. Di awal pekan, sejumlah pekerja membangun shelter di pintu masuk kompleks tersebut.

Pada Kamis dan Jumat, Palang Merah Hellenic membagikan botol air dingin kepada pengunjung yang kepanasan. Koordinator palang merah, Ioanna Fotopoulou mengatakan paramedis juga siap memberikan pertolongan pertama kepada sejumlah wisatawan yang menunjukkan gejala dehidrasi dan pingsan. Situs wisata populer lainnya di sekitar Batu Suci tempat Acropolis berdiri, seperti Agora Kuno, akan tetap dibuka.

 


Musuh Tak Terlihat

Ilustrasi gelombang panas. (Unsplash)

Sebelum Jumat tengah hari, 14 Juli 2023, sebanyak 30.000 botol air telah didistribusikan Palang Merah dari hasil sumbangan. Pria, wanita, dan anak-anak yang pingsan atau kelelahan telah menerima pertolongan pertama di tenda-tenda lapangan tempat wisata Bukit Acropolis.

Sekitar 11.000 pengunjung, sering kali didampingi oleh pemandu, diingatkan untuk bergerak lebih cepat guna menghindari suhu panas yang dianggap sebagai musuh tak terlihat. Di antara mereka adalah Annali Kemp bersama dua anak remaja dan suaminya, Steve. Dia hampir memutuskan untuk pulang ketika melihat antrean panjang, tetapi akhirnya tetap mendaki setelah didorong keluarganya.

"Tidak terpikirkan bahwa pertengahan Juli dan Agustus sudah tiba," ujar Annali Kemp, seorang pebalap Inggris berusia 53 tahun, dengan wajah kemerahan setelah mendaki. "Kami merasa seperti ikan sarden di beberapa titik di sana, tetapi ini adalah pengalaman sekali seumur hidup."

Dalam ekonomi yang sangat mengandalkan pariwisata, Pemerintah Athena tidak ingin mengambil risiko dengan jumlah pengunjung yang mencetak rekor.

"Kami berada di Roma pada hari Rabu dan cuacanya sangat panas, tetapi tidak ada tindakan yang diambil," kata Leo Grafstein, seorang dokter Amerika yang melakukan perjalanan ke Eropa bersama keluarganya. "Di Colosseum, bahkan para pemandu wisata mengatakan bahwa kita harus mencari tempat teduh."

 


Ancaman Kebakaran Lahan

Ilustrasi gelombang panas. (Unsplash)

Dilansir CNBC, sehari sebelumnya, Kementerian Perlindungan Sipil Yunani mengeluarkan peringatan mengenai risiko kebakaran hutan di lima wilayah dan mengimbau masyarakat untuk menghindari kegiatan seperti membakar rumput liar yang dapat menyebabkan kebakaran. Dokter juga memperingatkan orang tua dengan kondisi kesehatan yang lebih buruk memiliki risiko yang lebih tinggi.

"Mereka menderita masalah jantung, bronkitis kronis, stroke, gagal ginjal," kata Angel Abad, dari kantor pembangunan berkelanjutan di rumah sakit La Paz Madrid.

"Sebagian besar dari mereka berlatar belakang sosial ekonomi yang rendah, dan kita tahu bahwa dalam kasus ini, orang-orang yang tidak memiliki AC lebih rentan. Mereka menghadapi risiko yang lebih tinggi dan tingkat kematian yang lebih tinggi saat mereka tiba di ruang gawat darurat," tambah Abad, yang merupakan seorang ahli obat pencegahan dan kesehatan masyarakat.

Di sisi lain, penduduk desa di Kroasia sedang membersihkan sisa-sisa kebakaran hutan akibat gelombang panas yang melanda Eropa selatan. Di Italia, ada kekhawatiran tentang hari-hari mendatang, karena diperkirakan suhu akan meningkat dan mencapai lebih dari 45 derajat Celcius minggu depan, terutama di wilayah tengah dan selatan negara tersebut.

Badan Meteorologi Nasional Hellenic mengumumkan bahwa intensitas panas diperkirakan berkurang mulai Sabtu, 15 Juli 2023, tetapi akan kembali meningkat mulai Kamis, 20 Juli 2023. Gelombang panas baru akan melanda sebagian besar negara.


Gelombang Panas di Eropa

Ilustrasi gelombang panas. (Unsplash/Xurzon)

Badan Antariksa Eropa (ESA) yang menggunakan satelit untuk memantau suhu daratan dan lautan, telah memperingatkan bahwa Italia, Spanyol, Prancis, Jerman, dan Polandia semuanya sedang menghadapi kondisi cuaca ekstrem. Saat ini, suhu di Eropa dapat mencapai rekor tertinggi yang pernah tercatat sebelumnya, dengan pembanding suhu tertinggi di Sisilia pada Agustus 2021 sebesar 48,8 derajat Celcius.

Dampak dari panas musim panas yang ekstrem telah menjadi fokus penelitian minggu ini. Penelitian tersebut mengungkap bahwa sebanyak 61.000 orang mungkin telah meninggal akibat panas yang melanda Eropa pada musim panas sebelumnya.

Joan Ballester, seorang profesor di Institut Kesehatan Global Barcelona, menjelaskan bahwa Prancis telah belajar dari gelombang panas mematikan pada tahun 2003, dan negara-negara seperti Italia, Yunani, Spanyol, dan Portugal dapat mengambil langkah-langkah yang serupa.

Ballester, salah satu penulis studi tersebut, menyatakan bahwa ada langkah-langkah yang relatif lebih mudah, seperti koordinasi antara entitas publik dan melakukan sensus terhadap populasi yang rentan. Namun, ada juga langkah-langkah yang jauh lebih sulit, seperti merancang ulang kota untuk memperbaiki kondisi perumahan. 

 

Infografis Sengatan Gelombang Panas Mematikan Landa Eropa dan AS (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya