Heboh Guru di Karawang Korban Penganiayaan Ditolak Berobat Pakai JKN, Ini Penjelasan BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan jelaskan soal guru di Karawang korban penganiayaan yang ditolak berobat menggunakan JKN di rumah sakit.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 19 Jul 2023, 10:13 WIB
Ilustrasi BPJS Kesehatan jelaskan soal guru di Karawang korban penganiayaan yang ditolak berobat menggunakan JKN di rumah sakit. (unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Belakangan kabar mencuat terkait guru di Karawang, Jawa Barat yang jadi korban penyiraman air keras ditolak berobat menggunakan layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di rumah sakit. Diketahui, ia datang berobat dengan membawa kartu JKN tapi pihak rumah sakit menolak karena dirinya termasuk korban penganiayaan.

Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Humas BPJS Kesehatan Agustian Fardianto menjelaskan, korban penganiayaan merupakan salah satu yang tidak dijamin dalam pelayanan JKN.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

"Kalau korban penganiayaan ditolak rumah sakit, sebenarnya kan memang di dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 itu termasuk hal-hal yang tidak dijamin -- dalam pelayanan JKN," jelas Ardi, sapaan akrabnya saat berbincang dengan Health Liputan6.com di Kantor Pusat BPJS Kesehatan Jakarta pada Selasa, 18 Juli 2023.

Lapor ke LPSK

Apabila menemukan kasus pasien JKN yang menjadi korban penganiayaan, Ardi mengimbau rumah sakit untuk menginformasikan kepada pasien dan keluarga pasien agar menghubungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Kami mengimbau rumah sakit, tolong dibantu untuk diinformasikan kepada peserta soal penjaminan LPSK dan dibantu diinformasikan untuk dapat menghubungi ke LPSK. Karena itu sudah diatur di peraturan perundangan-undangan tentang perlindungan saksi dan korban," ucapnya.


Perhatikan Kondisi Medis Pasien

Meski pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018, korban penganiayaan tidak masuk yang dijamin JKN, rumah sakit patut memerhatikan kondisi medis pasien yang bersangkutan.

Sebab, keselamatan pasien harus tetap dinomorsatukan. Sementara itu, pihak keluarga pasien dapat mengurus administrasi dan laporan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Ya kalau ngurus (ke LPSK) kan ada keluarga pasiennya. Terus penanganan pasien gimana? Setahu kami hal itu sudah diatur juga di undang-undang terkait pelayanan medis, UU Perumahsakitan," Agustian Fardianto menerangkan.

"Di aturan itu juga menyatakan keselamatan pasien nomor satu, jadi kondisi medisnya harus tertangani."


Kronologi Penyiraman Air Keras

Ilustrasi dari berbagai informasi yang beredar, Eli Chuherli, guru di Kabupaten Karawang, kini tak lagi bisa melihat karena menjadi korban penyiraman air keras. https://unsplash.com/Angelo Abear

Dari berbagai informasi yang beredar, Eli Chuherli, guru di Kabupaten Karawang, kini tak lagi bisa melihat karena menjadi korban penyiraman air keras. Peristiwa naas itu terjadi pada 23 Mei 2023.

Penyiraman bermula dari bisnis rental mobil jemputan bersama terduga pelaku, AH. Saat itu, Eli meminjam uang Rp50 juta dari bank yang digunakan untuk bisnis mobil jemputan.

Namun, karena statusnya sebagai guru tak membuatnya leluasa, Eli bekerja sama dengan AH.

Suatu hari, AH datang ke rumah Eli. Tanpa disangka, AH menyiramkan air keras ke wajah Eli. Setelah disiram air keras penglihatan Eli mulai kabur.

Kemudian ia niat berobat menggunakan JKN, tapi tidak bisa karena katanya ia adalah korban penganiayaan.

"Katanya bisa pakai BPJS, tapi harus lapor dulu ke LPSK,” tutur Eli. Minggu (9/7/2023).

Mendengar informasi harus melapor dulu ke LPSK, Eli merasa proses tersebut memakan waktu akhirnya memilih untuk mengobati matanya sendiri.

Aksi penganiayaan terus bertambah (liputan6.com/abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya