Pengobatan Hemofilia Dunia Berkembang Pesat, Bagaimana di Indonesia?

Pengobatan hemofilia di dunia sudah berkembang pesat. Sementara di Indonesia, pengobatan inovatif hemofilia belum ditanggung sepenuhnya oleh JKN. Kenapa?

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 21 Jul 2023, 15:00 WIB
Pengobatan Hemofilia Dunia Sudah Berkembang Pesat, Apa Kabar di Indonesia? (Sumber: Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Pengobatan hemofilia di dunia terus berkembang pesat. Di Indonesia, pemerintah menanggung seluruh biaya pengobatan penderita hemofilia melalui JKN dan telah meningkatkan akses terhadap pengobatan. 

Namun para pakar menilai masih ada beberapa kendala dalam terapi hemofilia. 

Seperti disampaikan Dokter spesialis anak dari Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Novie Amelia Chozie, pengobatan hemofilia diatur dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) tahun 2021.

Dijelaskan bahwa konsentrat faktor pembekuan darah sebagai pilihan utama dalam mencegah dan mengobati perdarahan pada penyandang hemofilia.

“Pemberian konsentrat faktor pembekuan darah dosis rendah dengan tujuan profilaksis (pencegahan) dalam penanganan hemofilia," kata Novie, alam temu media di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/7/2023).

Terapi dengan pendekatan profilaksis ini diberikan sebelum terjadi perdarahan dan bertujuan untuk mencegah terjadinya perdarahan. Sedangkan, terapi on-demand adalah terapi setelah perdarahan terjadi dan bertujuan untuk menghentikan perdarahan.

Terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dapat dilakukan dengan memberikan faktor pembekuan, berupa faktor VIII (delapan) dosis rendah atau bypassing agent untuk pasien-pasien dengan antibodi faktor VIII, maupun non-factor replacement therapy, yaitu emicizumab, kata Novie.

Dia menambahkan, terapi emicizumab dapat diberikan sebagai terapi profilaksis pada pasien hemofilia A, baik dengan atau tanpa inhibitor (zat penghambat laju hemofilia).

Terutama pada kasus-kasus dengan akses vena (pembuluh darah) yang sulit, di mana pemberian emicizumab diberikan pada pasien secara subkutan (suntikan di bawah kulit).

 


Pengobatan Hemofilia di Indonesia Masih Hadapi Tantangan

Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, Prof. Djajadiman Gatot menjelaskan soal penanganan hemofilia di Indonesia dalam temu media di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2023). Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Meski pengobatan inovatif telah masuk dalam standar penanganan hemofilia oleh pemerintah, tapi berbagai tantangan di lapangan masih kerap ditemui.

Terbatasnya akses, biaya, dan metode pengobatan yang belum sesuai standar menjadi tantangan utama dalam memberikan penanganan yang optimal bagi penyandang hemofilia di Indonesia.

Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, Profesor Djajadiman Gatot menjelaskan, meski PNPK sudah mengadopsi pengobatan inovatif, tapi dalam pelaksanaannya masih ada kendala. Yakni pengobatan pasien masih bergantung dari kebijakan dan kondisi dari masing-masing rumah sakit.

“PNPK diturunkan menjadi Panduan Praktik Klinis (PPK) yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing rumah sakit, sesuai dengan fasilitas dan sumber daya manusia yang ada. Akibatnya, pasien tidak bisa mendapatkan pengobatan yang optimal dan sangat bergantung dari rumah sakit yang menanganinya,” kata Djadja dalam kesempatan yang sama.


Tantangan dari Sisi Pembiayaan

Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia dalam temu media di Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2023). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Tantangan lainnya adalah terkait pembiayaan pengobatan. Hemofilia adalah penyakit yang diderita seumur hidup sehingga pembiayaan menjadi kendala terbesar bagi pasien.

Dalam sistem JKN, hemofilia merupakan salah satu dari delapan penyakit katastropik yang dijamin oleh JKN, dengan jumlah kasus serta biaya yang terus meningkat setiap tahunnya.

Data Profil Kesehatan Indonesia Kementerian Kesehatan tahun 2021 menyebutkan pembiayaan hemofilia mencapai lebih dari Rp 500 miliar.

Terkait biaya ini Novie menambahkan, pengobatan inovatif tidak selalu identik dengan biaya tinggi. Terdapat pengobatan inovatif yang lebih baik dari segi manfaat tapi juga lebih efisien dari segi total biaya perawatan yang tidak hanya terkait biaya obat.

Sebuah studi lokal menggunakan pendekatan model simulasi mengenai pemberian profilaksis dengan obat inovatif emicizumab terbukti menghemat anggaran negara sebesar 51 milyar dalam waktu 5 tahun dibandingkan dengan tanpa emicizumab.

“Studi ini sebelumnya telah dipresentasikan di HTAsiaLink dan Konas HMHI tahun 2021. Dari sisi pembiayaan, penting untuk membangun sinergi antar lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat,” ucap Novie.

Tujuannya, memastikan bahwa transformasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang tengah berlangsung dapat memperluas akses penyandang hemofilia dalam mendapatkan perawatan yang sesuai standar.


Mengenal Hemofilia

Dokter spesialis anak Novie Amalia Chozie jelaskan soal hemofilia, dalam temu media di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2023). Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Hemofilia adalah kelainan langka yang mengganggu pembekuan darah akibat kurangnya faktor pembekuan (protein pembekuan darah). Kondisi ini perlu penatalaksanaan khusus yang berjalan seumur hidup.

World Federation of Hemophilia (WFH) dan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Hemofilia saat ini merekomendasikan terapi profilaksis untuk pasien hemofilia A sebagai pilihan utama.

Banyak studi menunjukkan efektivitas terapi profilaksis yang lebih tinggi dibandingkan terapi on demand untuk menurunkan kejadian perdarahan dan biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan jangka panjang.

Namun, tidak semua pilihan terapi profilaksis yang tersedia dijamin dalam program JKN. Dengan kata lain, terapi ini masih menghadapi berbagai keterbatasan dalam implementasinya.

Infografis Donor Darah Aman Saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya