Liputan6.com, Jakarta - Malapetaka melanda dunia pada tahun 535/536. Kemudian, jutaan manusia meregang nyawa karena kekeringan, kelaparan, wabah, dan huru-hara perang. Penyebabnya masih misterius. Namun, diduga jawabannya ada di Selat Sunda, di mana Gunung Anak Krakatau berada.
Bukan gunung itu yang bikin gara-gara, bukan pula Krakatau, induknya yang meledak dahsyat pada 1883. Yang jadi tersangka adalah nenek moyangnya, Gunung Batuwara.
Advertisement
Catatan menyebut, apa yang terjadi pada 535, 536, dan setelahnya adalah salah satu bencana alam paling parah dalam sejarah peradaban manusia, memicu Abad Kegelapan (Dark Ages) 100 tahun lamanya.
Para sejarawan kuno mencatat perilaku aneh Matahari yang tiba-tiba meredup. Tercekik kabut tebal, Sang Surya tak mampu menyalurkan panasnya. Langit siang kelabu. Bulan purnama pun kehilangan keanggunannya.
Efeknya kemudian terasa di ladang-ladang pertanian. Tanpa sinar matahari, tanaman mati. “Buah-buahan tak bisa matang. Minuman anggur terasa seperti buah kecut,” kata sejarawah John dari Efesus, kota Yunani Kuno yang saat ini masuk wilayah Turki, dikutip dari buku Catastrophe: An Investigation into the Origin of the Modern World karya David Keys.
Di belahan dunia lain, kekeringan, kelaparan yang diperparah wabah cacar air melanda Korea dan Jepang. “Makanan adalah pondasi kekaisaran. Emas kuning dan sepuluh ribu untai koin uang tidak dapat menyembuhkan rasa lapar. Apa manfaat seribu kotak mutiara bagi dia yang kelaparan dan kedinginan,” demikian dimuat dalam kronik sejarah Jepang, Nihon Shoki, yang mengacu pada maklumat Kaisar Senka pada tahun 536.
Sementara itu di China, pada tahun 535, kekeringan melanda wilayah utara. Di Kota Nanjing debu kuning jatuh dari langit, bak hujan salju. Setahun kemudian di Xi’an, tujuh sampai delapan dari 10 orang tewas. Para penyintas terpaksa memakan jasad manusia. Jadi kanibal karena tak punya pilihan.
Pada tahun 536, sejarawan Bizantium, Procopius menuliskan bagaimana seluruh Mediterania terjerumus dalam tahun yang dingin dan gelap. Seperti dikutip dari Vice.com, fenomena itu menandai dimulainya salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah, Wabah Yustinianus (Justinian Plague). Dalam setahun, pagebluk itu menewaskan 25 juta warga Kekaisaran Bizantium.
Hingga saat ini, penyebab pasti malapetaka pada Abad ke-6 belum diputuskan. Para ilmuwan masih meneliti tiga kemungkinan: asteroid, komet, atau erupsi gunung. Nenek moyang Krakatau, Gunung Batuwara masuk dalam kemungkinan ketiga.
Nenek Moyang Krakatau, Petunjuk dari Kitab Kuno
Petunjuk lokasi erupsi gunung dahsyat pada tahun 535 kemungkinan terekam dalam inti es, baik di Greenland maupun Antartika. Penelitian lebih lanjut mengarahkan, kejadiannya diduga ada di wilayah tropis selatan: dari Afrika timur (termasuk Kepulauan Komoro), Andes tengah, Kepulauan Galapagos, dan rantai gunung berapi sepanjang 5.000 mil atau 8.046 km dari Samoa hingga Sumatra.
Dari dampak masifnya ke iklim Bumi, diduga erupsinya lebih besar dari Gunung Tambora pada 1819. Dan, berdasarkan Nan Shi atau Sejarah Dinasti Selatan China, digambarkan terdengar gelegar letusan pada Februari 535. “Dua kali lebih keras dari suara geledek.” Hal itu mengingatkan pada erupsi Gunung Krakatau pada 1883 yang terdengar hingga sejauh 4.000 mil atau 6.437 km.
Bukti lain yang tak terduga ditemukan dalam teks kuno Pustaka Raja Purwa yang kemungkinan menggambarkan erupsi dahsyat gunung yang berada di Selat Sunda, antara Jawa dan Sumatra pada tahun 535. Tepat di lokasi Gunung Krakatau berada.
Digambarkan, suara guntur menggelegar datang dari Gunung Batuwara atau Pulosari. “Bumi berguncang hebat, kegelapan mutlak, petir dan kilat. Lalu, angin ribut datang disertai guyuran hujan lebat dan badai mematikan yang menggelapkan seluruh dunia.”
Pustaka Raja Purwa menyebut, banjir bandang datang dari Gunung Batuwara, menerjang ke arah timur ke Gunung Kamula (Gunung Gede). Kitab kuno itu kemudian mengklaim, erupsi dahsyat membuat area luas di dekatnya amblas hingga di bawah permukaan air laut, menciptakan selat yang kini memisahkan Jawa dan Sumatra.
Versi paling tua dari babad tersebut berasal dari tahun 1869. Sementara, versi berbeda yang berasal dari tahun 1880-an diduga terkontaminasi penggambaran kejadian erupsi Krakatau pada 1883.
Masalah muncul karena kedua versi Pustaka Raja Purwa ditulis pada Abad ke-19, 13 abad setelah peristiwa erupsi yang memicu malapetaka 535/536 terjadi. Jedanya terlalu jauh.
Persoalan lain, erupsi yang digambarkan dalam naskah itu disebut terjadi pada tahun 338 Saka atau 416 Masehi, bukan tahun 535.
Sejumlah akademisi yang meneliti Pustaka Raja Jawa menuding, isinya fiksi belaka. Hanya imajinasi pengarangnya, Ranggawarsita III. Namun, ahli lain meyakini, karya tersebut didasarkan pada cerita turun-temurun, dari mulut ke mulut, maupun yang sempat ditulis dalam lembaran lontar.
Masalahnya, benarkah nenek moyang Krakatau, Gunung Batuwara erupsi pada tahun 553? Dan apakah peristiwa itu yang memicu malapetaka level dunia?
Advertisement
Ilmuwan Menguak Misteri di Selat Sunda
Dalam waktu dekat, para ilmuwan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan menuju ke Selat Sunda. Untuk memecahkan misteri nenek moyang Krakatau, Gunung Batuwara.
Geolog BRIN, Eko Yulianto akan membandingkan apa yang tertera di Pustaka Raja Jawa dengan penelitian ilmiah.
"Kita tidak punya catatan lain. Dan yang jelas, catatan di dalam babad Pustaka Raja Purwa itu bersifat agak mitologis maksudnya entah kiasan, entah imajinasi, tapi menggambarkan sebuah peristiwa yang luar biasa," kata Eko kepada Liputan6.com.
Bukti lain tercatat oleh alam. Aerosol atau gas yang dikeluarkan dalam peristiwa letusan gunung api purba pada tahun 535 terekam jejaknya di Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Selama ini sejumlah orang berusaha mencari lokasi di mana gunung pemicu malapetaka 535/536 berada. “Karena bukti aerosol-nya ditemukan dari Kutub Utara maupun Kutub Selatan, maka orang banyak berpendapat bahwa sumbernya ada di daerah khatulistiwa," ucap dia.
Menurut Eko, banyak hipotesa awal untuk memecahkan misteri Peristiwa 535 tersebut. Beberapa pihak ada yang menduga letusan tersebut terjadi di Amerika Selatan yang termasuk wilayah garis khatulistiwa. Ada pula yang memperkirakan peristiwa itu terjadi di Greenland hingga Islandia.
Kenapa Erupsi 535 Dikaitkan dengan Nenek Moyang Gunung Krakatau?
Dalam rencana penelitiannya, Eko kembali merujuk pada catatan Jawa kuno Pustaka Raja Purwa, yang menyebutkan peristiwa tersebut memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera.
"Nah yang menarik sekaligus juga lucu kita tidak punya rekaman sejarah kemudian hasil penelitian geologi yang mengindikasikan kapan saja letusan hebat gunung-gunung api di Indonesia secara keseluruhan. Kita tidak punya catatan itu. Sehingga kemudian bukti bahwa misalnya (nenek moyang) Krakatau apakah meletus atau tidak pada tahun sekitar 535 itu, kita tidak punya juga rekaman geologinya," papar dia.
Kendati begitu, Eko menyebut, beberapa hipotesa awal yang ada dalam buku Catastrophe: An Investigation into the Origin of the Modern World karya David Keys bisa dijadikan bahan. Misalnya terkait hancurnya dan berakhirnya puluhan kerajaan di wilayah Sumatra bagian selatan dan Jawa bagian barat.
Sebab setelah peristiwa besar tersebut lahirlah sejumlah kerajaan-kerajaan baru. Salah satunya yaitu kerajaan tertua Buddha di Jawa Barat, Tarumanegara.
Advertisement