Liputan6.com, Jakarta Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) membutuhkan anggaran kesehatan lebih besar ketimbang daerah perkotaan maju lain seperti DKI Jakarta. Apalagi kondisi daerah 3T termasuk wilayah yang kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menuturkan, anggaran kesehatan di daerah 3T bilamana diberikan sebesar 10 persen, maka itu tidak akan cukup. Berbeda halnya dengan Jakarta, yang tidak perlu diberikan anggaran 10 persen.
Advertisement
Sebab, Jakarta dinilai sudah sangat mumpuni dari segala macam akses kesehatan, misalnya ketersediaan rumah sakit dan sumber daya kesehatan yang besar.
“Kalau di daerah 3T, dia anggaran kecil. Jadi kalau dia dikasih 10 persen, enggak bakal cukup. Itu harus dikasihnya lebih,” tutur Budi Gunadi saat ditemui Health Liputan6.com di Gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Jakarta pada Kamis, 20 Juli 2023.
“Kalau di daerah DKI, enggak perlu dia dikasih 10 persen, karena kan dia udah besar. Rumah sakit udah banyak, Puskesmas udah lengkap.”
Hilangnya Mandatory Spending
Penjelasan Budi Gunadi di atas sekaligus berkaitan dengan hilangnya besaran anggaran wajib atau mandatory spending 10 persen dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan terbaru.
Meski mandatory spending hilang, Pemerintah tetap memberikan anggaran kesehatan sesuai program daerah yang dibutuhkan, termasuk di daerah 3T.
“Sebenarnya, enggak terlalu banyak hubungannya mandatory spending dengan result (hasil atau outcome),” lanjut Budi Gunadi.
Tergantung Kebutuhan Program
Ditegaskan sekali oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin, pemberian anggaran kesehatan tergantung dengan kebutuhan program di daerah yang bersangkutan. Dalam hal ini, terlebih dahulu dibuat programnya, kemudian baru diberikan dana.
“Pak Presiden (Joko Widodo) suka bilang, kita kasih anggaran stunting banyak, eh enggak tahunya buat cat pagar. Itu fokusnya dari anggaran (yang dikasih duluan),” tegasnya.
“Kalau fokusnya dari hasil (apa yang akan dicapai), stuntingnya turun butuhnya program ini, maka anggarannya segini yang dibutuhkan.”
“Kalau Kasih Uang Besar, Bisa Jadi Enggak Jelas”
Contoh lain, disebutkan Budi Gunadi, dapat terlihat dari pengeluaran per kapita negara-negara maju terhadap rata-rata usia hidup.
“Saya kasih contoh aja, Amerika spending lebih tinggi, tapi hasilnya 80 tahun rata-rata usia, Jepang spending di bawah Amerika, rata-rata usia 84 tahun,” ucapnya.
“Nah, itu kan 2 kali lipat Amerika lebih mahal anggarannya, kok mereka lebih rendah (usia hidup)?”
Advertisement
Tidak Pernah Ada Korelasi Besarnya Uang dengan Outcome
Kemudian Budi Gunadi Sadikin membandingkan spending di Singapura dengan rata-rata usia hidup mencapai 85 tahun.
“Saya bandingan sama Singapura spending-nya, yang cuma seperempat dari Amerika. Outcome-nya 85 tahun rata-rata usia hidup, lebih tinggi dari Amerika,” terangnya.
“Jadi, enggak pernah ada korelasi besarnya uang dengan outcome. Ya kalau kita kasih uangnya besar malah bisa jadi enggak jelas seperti yang Pak Jokowi bilang. Bukan bagaimana spending yang jauh lebih penting, kalau saya lebih senang liat outcome-nya.”
Program Jelas, Anggaran Dikasih
Outcome yang dituju, misalnya juga ingin menekan angka kematian ibu dan anak. Programnya apa saja dibuat, baru anggarannya berapa yang dibutuhkan.
“Kita mau apa sih, kematian ibu anak turun dari sekian ke sekian, ya udah bikin programnya, kita butuh anggaran berapa. Selama saya jadi Menteri Kesehatan, enggak pernah enggak dikasih (anggaran) sama Bu Menteri Sri Mulyani kalau programnya jelas,” pungkas Menkes Budi.
Baca Juga