Liputan6.com, Jakarta Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti tren social commerce yang berkembang pesat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Sebagai informasi, Social Commerce adalah gabungan antara jejaring sosial dan ecommerce dengan iklan tertarget dan personal. Dalam praktik Social Commerce, media sosial memfasilitasi koneksi, dan konten online mendukung interaksi antara penjual dan pembeli.
Advertisement
Peneliti di INDEF, Izzudin Al Farras Adha mengungkapkan bahwa penjualan di social commerce di seluruh dunia pada tahun 2023 akan meningkat dua kali lipat tiga tahun lalu.
Mengutip data dari Influencer Marketing Hub pada tahun 2022, Izzudin menyebut, pada tahun 2020 saja penjualan di social commerce di seluruh dunia mencapai USD 560 miliar atau setara Rp. 8,4 kuadriliun.
Pada tahun selanjutnya di 2021, penjualan di social commerce di seluruh dunia mencapai USD 732 miliar dan USD 958 miliar atau Rp. 14,3 triliun.
Untuk tahun 2023, penjualan di social commerce diprediksi mencapai USD 1.253 miliar atau Rp. 18,8 triliun di seluruh dunia dan USD 1.639 miliar atau Rp. 24,6 triliun pada tahun 2024 mendatang.
"Bahkan hingga tahun 2026 (penjualan social commerce) masih akan meningkat hingga USD 2.900 di seluruh dunia," kata Izzudin dalam acara diskusi Diskusi Publik "Project S TikTok: Ancaman atau Peluang? yang disiarkan secara daring pada Senin (24/7/2023).
Dukungan TikTok
Izzudin pun menyoroti salah satu platform yang mendukung praktik social commerce yaitu TikTok. Indonesia sendiri menjadi negara dengan pengguna terbanyak untuk platform media sosial asal China tersebut.
Berada di urutan kedua sebagai negara dengan pengguna terbanyak di dunia, Indonesia tercatat memiliki 99,7 juta pengguna TikTok.
Perhatian Pemerintah
Menurut Izzudin, Pemerintah perlu memberi perhatian khusus pada perkembangan TikTok di Indonesia, khususnya layanan TikTokshop mereka.
Hal itu tercermin dari penjualan TikTok di Indonesia yang mencatat nilai Rp. 228 miliar, dengan 2 juta UMKM yang berbisnis melalui platform tersebut.
Adapun rencana investasi TikTok di Indonesia yang menyentuh USD 10 miliar hingga 5 tahun ke depan.
"Artinya TikTok di Indonesia akan semakin ekspansif di mana konsekuensinya akan menjangkau pengguna, pelanggan, konsumen seputar isu data, UMKM, dan lainnya," jelas Izzudin.
Advertisement
Butuh Aturan
Dalam kesempatan itu, Digital Economy Researcher INDEF Nailul Huda mengatakan, Social Commerce di Indonesia membutuhkan peraturan.
"Social commerce itu belum ada peraturan sama sekali di Indonesia. Ini yang kita butuhkan sehingga ada (peraturan) yang sama antara social commerce dan e commerce," kata Nailul.
Paparan Nailul juga menyoroti peningkatan impor di Indonesia seiring berjalannya ecommerce dan social commerce boom.
"(Sebanyak) 90 hingga 95 persen (barang yang dijual) di ecommerce kita merupakan barang impor, meski yang menjual merupakan seller lokal," sebutnya.
Maka dari itu, menurutnya, dengan social commerce yang berkembang pesat diperlukan adanya penyempurnaan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020, salah satunya terkait definisi Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang hanya mengatur transaksi Perdagangan.
Dijelaskannya, hal ini dikarenakan social commerce bukan untuk transaksi perdagangan melainkan komunikasi secara umum.
"Karena social commerce ini belum termasuk transaksi perdagangan, maka tidak dicantumkan dalam Permendag Nomor 50 Tahun 2020," bebernya.
"Perlu ada peraturan terkait dengan Penyelenggara Sarana Perantara karena sering digunakan sebagai kedok social commerce untuk dalih bukan tempat jualbeli," papar Nailul.
Selain itu, diperlukan juga adanya Peraturan mengenai barang impor dimana harus ada di deskripsi barang di setiap jendela barang.