Liputan6.com, Jakarta Indonesia dan Inggris meneken kerja sama implementasi nilai carbon atau carbon pricing sebagai upaya menekan emisi karbon secara global. Kesepakatan nilai karbon merupakan tindak lanjut dari kesepakatan yang terjalin sejak forum G20 di Bali tahun lalu.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menerangkan, komitmen negara-negara di dunia perlu diperkuat usai COP26 do Glasgow beberapa waktu lalu. Utamanya soal menjaga kenaikan suhu bumi di kisaran 1,5 derajat celcius dengan upaya pencegahan krisis iklim.
Advertisement
"Banyak alat dan strategi yang digunakan untuk memitigasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca, termasuk Penetapan Harga Karbon. Berbagai negara telah mengadopsi dan menerapkan alat ini untuk mendorong transisi menuju praktik yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon," ujarnya dalam Penandatanganan Implementing Arrangement (IA) UK PACT Carbon Pricing, di Menara Danareksa, Jakarta, Senin (24/7/2023).
Luhut mengatakan, atas ambisi untuk mengurangi dampak emisi karbon, perlu adanya kerja sama antarnegara. Salah satu yang dijalankan adalah kerja sama antara Indonesia dan Inggris.
"Kami menyadari negara membutuhkan dukungan dan kerjasama dengan pihak lain untuk mencapai target yang ambisius. Indonesia dan Inggris menyadari pentingnya kemitraan untuk mengatasi tantangan global terkait perubahan iklim, dan sepakat untuk menandatangani MoU on UK Partnering for Accelerated Climate Transition atau kami menyebutnya UK-PACT dalam side event G20 Bali tahun lalu," kata Menko Luhut.
Luhut menegaskan, pemerintah Indonesia telah memulai landasan penetapan harga karbon dengan memberlakukan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Tak lama kemudian, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri tentang Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Sub Bidang Pembangkit Listrik.
"Sementara instrumen pelengkap lainnya, seperti Peta Jalan Penetapan Harga Karbon Sektoral, regulasi Pertukaran Karbon, regulasi Perdagangan Karbon Internasional, dan Inventarisasi Pengurangan Emisi GRK Online, secara bersamaan sedang dikembangkan," paparnya.
Keuntungan Pajak Karbon
Diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, pemerintah serta para stakeholder terkait termasuk juga pelaku usaha harus bersinergi mencari jalan keluar bersama agar penurunan emisi karbon benar-benar bisa terealisasi.
Wacana penggunaan pajak karbon sebagai salah satu cara dunia untuk menekan emisi bisa menjadi momentum tepat. Penerapan pajak karbon, sebagai salah satu upaya mencapai Net Zero Emission yang tengah menjadi fokus dunia.
Arifin mengatakan, teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan emisi dari penggunaan energi di Indonesia.
Terlebih lagi, ada kajian yang menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan atau reservoir untuk menyimpan CO2 mencapai 400 Gigaton CO2.
"Kita harus mendorong energi bersih. Kita harus bisa memanfaatkan sumber-sumber dalam negeri kita untuk mengurangi karbon. Kita dikaruniai luar biasa potensi untuk menyimpan carbon karena ada teknolgi CCUS, kita ada reservoir yang sudah kosong. Dari studi Rystad Energy kita bisa dibilang memiliki kapasitas untuk 400 gigaton CO2," ujar Arifin melansir laman Kementerian esdm, seperti dikutip Kamis (13/7/2023).
Advertisement
Disadari Pengusaha
Menurut Arifin, kondisi tersebut sudah disadari oleh para pemain besar dunia. Exxon, BP, hingga Chevron kini sedang melakukan kajian untuk menerapkan CCUS di Indonesia.
"Sudah banyak yang berebut untuk masuk. Exxon, Chevron, dan BP langsung mulai apa manfaatnya selain menampung karbon, untuk mendorong kita punya industri. Nanti ini bisa digunakan untuk carbon hub kita bisa melakukan perdagangan. Jadi dari 400 gigaton tersebut, emisi indonesia itu sampai 2060 paling memanfaatkan 25% saja. Ini yang sedang kita develop kalau kita bisa laksanakan dengan baik, kita bisa membalikkan ancaman jadi kesempatan," jelas Arifin.
Arifin menyebutkan bahwa di Indonesia masih banyak industri yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara atau minyak. Hal ini tentu jadi catatan khusus agar upaya mendorong produktivitas industri domestik jangan sampai memberikan dampak serius terhadap lingkungan.
Pengaruh
Dia menilai jika tidak ada upaya yang signifikan maka Indonesia bisa terkena sendiri dampaknya. Penerapan pajak karbon yang kini sedang direncanakan secara global dipastikan akan berpengaruh kepada persaingan produk Indonesia.
"Kami menganggap ancaman yang paling besar adalah justru jika diterapkan praktik carbon mechanisme secara global akan ada pajak karbon yang disepakati seluruh negara. Contohnya sekarang negara-negara Skandavia itu sudah menerapkan pajak karbon, apa jadinya negara-negara kalau ketinggalan dalam mengurangi emisinya. Akibatnya industri yang menggunakan energi fosil akan terkena pajak. Itu akan menyebabkan tidak kompetitifnya produksi kita di pasar internasional," jelas Arifin
Advertisement