Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menyoroti kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit. Salah satunya terkait dengan penghitungan kerugian negara.
Fickar menyebut, yang memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara dalam kasus itu, hasil perhitungan kerugian keuangan negaranya bukan berasal dari lembaga tersebut.
Advertisement
"Seharusnya tidak sah, karena yang punya otoritas menyatakan negara merugi atau tidak hanya BPK," tutur Fickar kepada wartawan, Senin (24/7/2023).
Dalam sidang putusan kasus korupsi persetujuan CPO di Kementerian Perdagangan (Kemendag), sempat terjadi silang pendapat antara hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan jaksa penuntut umum (JPU).
Saat membacakan vonis terhadap General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley Ma; dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Palulian Tumanggor; hakim tidak setuju dengan nilai kerugian keuangan negara Rp6 triliun seperti yang dituangkan dalam dakwaan JPU. Hakim meyakini, kerugian keuangan negara dalam perkara itu hanya Rp2 triliun.
Menurut Fickar, penegak hukum tidak bisa sembarangan dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara. Sebab, unsur kerugian keuangan negara dalam sebuah perkara akan dituangkan ke dalam surat dakwaan.
Namun, jika surat dakwannya tidak memenuhi unsur jelas dan akurat, maka dakwaan bisa batal demi hukum.
"Karena itu setiap dakwaan korupsi menjadi penting perhitungan kerugian negaranya," jelas dia.
Unsur Kerugian Negara Jadi Hal Penting
Lebih lanjut, kata Fickar, unsur kerugian keuangan negara merupakan hal terpenting dalam pembuktian kasus yang menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor. Hanya saja, jika unsur kerugian keuangan negara hanya berdasarkan asumsi, maka hakim bisa menyatakan hal tersebut tidak sah.
"Karena unsur yang sangat mempengaruhi terbukti atau tidaknya korupsi adalah kerugian negara. Yang jadi persoalan adalah apakah kerugiannya itu kerugian bisnis atau dicuri secara melawan hukum. Negara juga bisa bisnis, jadi hubungan dengan pihak swasta itu bisa hubungannya bisnis, jadi kalau kerugiannya karena bisnis itu bukan kerugian negara karena korupsi," terang Fickar.
Tim kuasa hukum tersangka korporasi kasus CPO, Marcella Santoso mengatakan, tuduhan tindak pidana korupsi harus berdasarkan pada bukti kerugian negara hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan alias BPK. Sementara dalam kasus ini, kerugian negara didasarkan pada perhitungan ahli, bukan lembaga tersebut.
"Frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata atau actual loss, bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara atau potensial loss," ujar Marcella.
Advertisement
Belum Ada Perhitungan Kerugian Negara oleh BPK
Hingga saat, sambungnya, belum ada hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK, baik dalam perkara terdahulu, yang sudah berkekuatan hukum tetap, maupun yang kini tengah diusut Kejagung.
"Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016, hanya BPK yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara. Bahkan BPKP pun tidak boleh menyatakan ada tidaknya kerugian negara," ujar Marcella.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka korporasi kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit periode Januari 2022 hingga April 2022.
"Jadi penyidik Kejaksaan Agung, pada hari ini juga menetapkan 3 korporasi sebagai tersangka. yaitu korporasi Wilmar Group, yang kedua korporasi Permata Hijau Group. Yang ketiga korporasi Musim Mas Group," ujar Ketut kepada wartawan, Kamis, 15 Juni 2023.
"Kerugian yang dibebankan berdasarkan keputusan kasasi dari Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah Rp6,47 triliun dari perkara minyak goreng ya," Ketut menambahkan.