Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Joe Biden bersama tujuh bos perusahaan teknologi AS sepakati tentang perlunya keamanan dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI.
Adapun ketujuh perusahaan teknologi tersebut adalah Amazon, Anthropic, Google, Inflection, Meta, Microsoft, dan OpenAI. Ketujuh bos serta petinggi perusahaan tersebut bertemu dengan presiden Joe Biden di White House belum lama ini.
Advertisement
Pertemuan antara para bos perusahaan teknologi dengan Joe Biden merupakan bentuk dukungan para pemimpin terhadap perancangan pedoman aturan terkait AI, guna meminimalisasi penyalahgunaan dan bias dalam AI.
Hal ini seiring dengan meningkatnya kekhawatiran tentang penyalahgunaan kecerdasan buatan.
Biden pun berkata, "pedoman tersebut berupaya untuk memastikan produk yang dibuat perusahaan teknologi bersifat aman dan apa adanya."
Joe Biden menggarisbawahi tiga prinsip dasar yang diperlukan, yakni keselamatan, keamanan, dan kepercayaan.
Dengan pertemuan ini, sesuai perjanjian yang dikeluarkan Gedung Putih, perusahaan akan menempatkan sistem kecerdasan buatan baru melalui pengujian internal dan eksternal sebelum dirilis dan meminta tim luar untuk menyelidiki sistem mereka.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui kelemahan, keamanan, hingga kecenderungan diskriminatif dan risiko artificial intelligence terhadap hak atau keselamatan orang Amerika.
Perusahaan-perusahaan teknologi juga berkomitmen pada metode untuk melaporkan kerentanan pada sistem mereka.
Komitmen Perusahaan Teknologi Terhadap Keamanan AI
Perusahaan juga bakal memakai watermark digital untuk membantu membedakan foto dan video asli serta gambar yang dihasilkan AI alias deepfake.
Langkah pertemuan Joe Biden dengan perusahaan dilakukan di tengah kekhawatiran maraknya konten palsu yang dianggap sebagai kenyataan dan kekhawatiran akan bias terhadap kaum konservatif.
AI tool ini memungkinkan teknologi yang berkembang untuk menulis teks mirip manusia dan meyakinkan. Juga menghasilkan gambar baru yang memungkinkan kampanye disinformasi.
Google dkk disebut telah sepakat untuk secara terbuka melaporkan kelemahan dan risiko dalam teknologi mereka. Termasuk pada keadilan dan bias.
Advertisement
Perlu Pengujian Internal dan Eksternal Sebelum Launching Produk AI
"Kita perlu memastikan perusahaan melakukan pengujian produk mereka saat mengembangkannya dan sebelum merilisnya, guna memastikan bahwa mereka tidak memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Misalnya rentan terhadap serangan dunia maya atau dipakai untuk mendiskriminasi orang-orang tertentu," kata Kepala Staf Gedung Putih Jeff Zients.
Terlepas dari itu, langkah pemerintah Biden ini dipandang sebagai cara cepat mengatasi kemungkinan risiko agar Congress AS meluluskan regulasi di bidang teknologi AI.
Gedung Putih sendiri sudah mulai terlibat dalam debat yang berkembang mengenai teknologi AI.
Perlunya Aturan Terkait AI Agar Tak Disalahgunakan dan Diskriminatif
Sebelumnya pada Mei lalu, Wakil Presiden AS Kamala Harris menggelar rapat bersama para bos perusahaan teknologi, untuk memberi tahu seberapa besar kepedulian pemerintah mengenai AI.
Apalagi sejauh ini penggunaan keteknologi AI terus tumbuh. Contohnya, dalam dua bulan setelah rilis, ChatGPT dipakai oleh lebih dari 100 juta pengguna aktif per bulannya. Jumlah ini meningkat lebih banyak ketimbang TikTok dan Instagram.
Namun, riset memperlihatkan bahwa platform tersebut memiliki kecenderungan pro lingkungan dan berorientasi libertarian kiri. Menghindari situasi condongnya teknologi AI ke salah satu kepentingan yang dianggap tak netral, pemerintah Biden merasa perlu untuk meregulasi AI untuk menghindari adanya diskriminasi.
April lalu, Komite Nasional Advisor Kecerdasan Buatan milik Departemen Perdagangan AS mengajak sejumlah bos perusahaan teknologi untuk berdiskusi tentang apa cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk meregulasi AI.
Advertisement