Pejabat Fed Kembali Berkumpul, Suku Bunga AS Bakal Naik?

The Fed dikabarkan akan kembali melakukan kenaikan suku bunga acuan ke level tertinggi sejak tahun 2001.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 26 Jul 2023, 13:41 WIB
Pedagang bekerja di New York Stock Exchange saat Ketua Federal Reserve Jerome Powell berbicara setelah mengumumkan kenaikan suku bunga di New York, Amerika Serikat, 2 November 2022. (AP Photo/Seth Wenig)

Liputan6.com, Jakarta - Federal Reserve atau The Fed memulai pertemuan selama dua hari untuk memutuskan penentuan suku bunga.

Melansir Channel News Asia, Rabu (26/7/2023) The Fed dikabarkan akan kembali melakukan kenaikan suku bunga acuan ke level tertinggi sejak tahun 2001, untuk menjinakkan inflasi Amerika Serikat yang masih di atas target bank sentral.

Setelah jeda pada bulan Juni 2023, The Fed secara luas diperkirakan akan melanjutkan kenaikan suku bunga ke-11 sejak memulai kampanye pengetatan moneter, sebagai tanggapan atas melonjaknya inflasi sejak Maret 2022 lalu.

Pertemuan kebijakan The Fed dimulai pukul 10 pagi waktu Washington, menurut keterangan bank sentral AS. Keputusan suku bunga pun akan diumumkan pada pukul 14:00 waktu setempat.

Seperti diketahui, setelah serangkaian kenaikan suku bunga yang agresif, inflasi AS masih berdiri di atas target jangka panjang The Fed sebesar 2 persen, meski telah turun tajam sejak mencapai puncaknya tahun lalu.

Kenaikan seperempat poin persentase yang diprediksi oleh analis dan pasar akan menaikkan suku bunga pinjaman acuan The Fed ke kisaran antara 5,25 hingga 5,50 persen, level tertinggi dalam 22 tahun.

Dengan peningkatan yang umumnya diperhitungkan oleh pasar keuangan, perhatian terfokus pada seberapa jauh dan seberapa cepat pengetatan moneter akan terjadi.

Pada pertemuan terakhirnya, sebagian besar anggota komite penetapan suku bunga The Fed memperkirakan mereka perlu menaikkan suku bunga dua kali lagi tahun ini untuk menurunkan inflasi AS sesuai target.


Tanda Soft Landing Segera Muncul?

Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas

Laju ekonomi baru-baru ini telah meningkatkan kemungkinan "soft landing", di mana The Fed berhasil menurunkan inflasi dengan menaikkan suku bunga sambil menghindari resesi dan lonjakan angka pengangguran.

Hal ini juga meningkatkan kemungkinan bahwa inflasi AS bisa tetap lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga lagi, mungkin pada awal pertemuan kebijakan berikutnya di bulan September.

Untuk saat ini, ekonom Bank of America menulis dalam catatan baru-baru ini kepada klien bahwa mereka memprediksi kenaikan 25 basis poin lagi pada bulan September, "meskipun The Fed dapat memutuskan bahwa kenaikan terakhir harus dilakukan pada bulan November".

Namun tidak semua analis yakin The Fed akan menaikkan suku bunga lagi.

"Kami memperkirakan Fed akan melakukan kenaikan suku bunga kesebelas (dan terakhir dari perkiraan kami) pada pertemuan FOMC Juli minggu depan," tulis ekonom Deutsche Bank dalam sebuah catatan, merujuk pada Komite Pasar Terbuka Federal yang menetapkan suku bunga.


Ekonom Nomura : Bank Sentral Asia Bakal Dahului The Fed Pangkas Suku Bunga

Ilustrasi Foto Suku Bunga (iStockphoto)

Para ekonom di Nomura mengatakan bahwa bank-bank sentral di kawasan Asia dapat mulai memangkas suku bunga lebih awal dari Federal Reserve atau The Fed.

Mengutip CNBC International, Selasa (11/7/2023) catatan ekonom Nomura yang dipimpin oleh Sonal Varma menjelaskan bahwa suku bunga di Asia dapat berjalan lebih perlahan dari The Fed karena kondisi ekonomi makro yang berbeda.

"Pandangan kami tentang bank sentral Asia memangkas suku bunga kebijakan menjelang The Fed dalam siklus ini didasarkan pada perbedaan mendasar antara ekonomi Asia dan AS," tulis ekonom Nomura.

Risalah dari pertemuan bulan Juni The Fed menunjukkan akan ada lebih banyak kenaikan suku bunga, meskipun pada kecepatan yang lebih lambat.

Sebaliknya, China telah beralih ke pemangkasan suku bunga karena pemulihan ekonominya dari Covid dan investor mengincar langkah-langkah stimulus lebih lanjut.

Menurut survei yang dilakukan oleh tim riset Nomura, lebih dari 32 persen responden memperkirakan bank sentral Korea Selatan akan menjadi yang pertama menurunkan suku bunga setelah China, diikuti oleh india, Filipina, lalu India.

"Setelah China, Korea, India, dan bahkan Indonesia dapat memangkas suku bunga menjelang The Fed, karena disinflasi yang lebih cepat, permintaan yang lemah, dan suku bunga riil yang lebih tinggi," ungkap para ekonom Nomura.

Para ekonom Nomura juga  merujuk pada penurunan manufaktur barang-barang yang menghambat pertumbuhan di wilayah tersebut dan disinflasi sebagai alasan utama dari prediksi terhadap bank sentral Asia memangkas suku bunga sebelum The Fed.

"Karena permintaan domestik mendingin dan inflasi inti turun secara terus-menerus, ini akan membutuhkan tingkat suku bunga yang bergerak ke pengaturan yang tidak terlalu ketat, dalam pandangan kami," jelas para ekonom itu.


Didukung oleh Disinflasi 2023

Ilustrasi suku bunga (Foto:Shutterstock)

Ekonom Nomura juga melihat bahwa kondisi Asia yang lebih menantang berada di pasar tenaga kerja, tidak seperti AS.

Namun, hal iyu tidak menjadi perhatian di Asia, kecuali Singapura.

"Jadi inflasi inti tidak lengket," tulis mereka, menambahkan bahwa inflasi di Asia lebih didorong oleh penawaran daripada permintaan.

Harga produsen China telah memasuki deflasi, sementara inflasi Korea Selatan berkisar sekitar 2,7 persen mendekati target bank sentralnya.

"Disinflasi berkembang jauh lebih cepat di kawasan ini, terutama di EM (Emerging Markets) Asia, di mana harga pangan dan energi memiliki bobot lebih tinggi dalam keranjang CPI dan lonjakan inflasi lebih didorong oleh sisi penawaran," tulis para ekonom.

Nomura memproyeksi Bank of Korea menjadi salah satu bank sentral pertama setelah China yang menurunkan suku bunga.

Ekonom memperkirakan akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada bulan Oktober dan pemotongan tambahan 25 basis poin pada akhir tahun.

"BOK telah meningkatkan penekanan pada faktor domestik (pertumbuhan) meskipun tampaknya tetap sensitif terhadap sikap kebijakan The Fed," tulis para ekonom Nomura.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya