Liputan6.com, Jakarta - Saat itu, 10 Juli 2023, Rahayu, bukan nama sebenarnya, bingung dan pusing ketika tahu anaknya tak lolos seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur prestasi akademik di SMP yang tak jauh dari rumahnya di Kota Tangerang Selatan, Banten. Padahal, dari semua jalur yang ada, anak Rahayu hanya memiliki kesempatan melalui jalur prestasi.
Sebab, dia dan sang suami belum pindah domisili sejak beberapa tahun terakhir lalu. Sejumlah prosedur telah diikuti. SMP yang dipilih hanya menerima tujuh calon siswa. Namun, di detik-detik terakhir anaknya hanya masuk dalam posisi ke delapan.
Advertisement
Rahayu masih berupaya agar anaknya bisa diterima di SMP negeri dekat rumahnya tersebut. Sebab, dia yakin, anaknya cukup pintar untuk bersaing dengan yang lain. Bersama salah seorang guru dia mendatangi kepala sekolah secara langsung.
Ketika bertemu kepala sekolah, dia menanyakan apakah anaknya dapat diterima di sekolah tersebut tanpa harus memakai jalur belakang atau membayar.
"Kata kepala sekolahnya tidak bisa, karena yang lain juga membayar. Andaikata yang lain sekian, ibu bisa bayar berapa. Jujur saya mulai dari nol (tidak bisa membayar), saya enggak mau juga, saya hanya sanggup bayar seragam saja," kata Rahayu kepada Liputan6.com.
Debat panjang antara Rahayu dan kepala sekolah pun tak terelakkan. Rahayu bersikukuh, anak berprestasi dapat diutamakan.
Beberapa langkah negosiasi dari pihak sekolah terus dilakukan. Bahkan, kepala sekolah memastikan akan menghubunginya nanti terkait PPDB. Sesampainya di rumah dia menceritakan hal tersebut kepada anaknya.
Meskipun sedih tidak diterima di SMP negeri bersama teman-teman yang lain, sang anak tidak mau menggunakan jalur belakang. Anaknya malu jika harus sekolah melalui jalur yang tidak semestinya.
Padahal, beberapa temannya yang tidak lolos jalur zonasi memilih membeli kursi dengan tarif yang berbeda. Mulai dari Rp 3,5 juta sampai Rp 5 juta. Akhirnya sang anak memilih untuk mendaftar seleksi di pesantren.
"Akhirnya ikut seleksi masuk pesantren, alhamdulillah lolos. Bahkan, jauh lebih baik dari sekolah negeri yang ini. Sekarang sudah di pondok pesantren itu," ucapnya.
Saat hari pertama mengantarkan anaknya ke pesantren, pihak SMP tersebut menghubunginya. Mulai dari wakil kepala sekolah hingga kepala sekolahnya. Namun Rahayu tak menggubrisnya, karena anaknya sudah memutuskan untuk bersekolah di pesantren.
Dugaan Kecurangan Melalui Jalur Zonasi
Cerita lain terkait PPDB tahun 2023 juga diutarakan Budi Ariyanto warga Kota Bekasi, Jawa Barat. Dia sempat mengamuk di depan SMAN 2 Bekasi lantaran anaknya tak lolos jalur zonasi, meski rumahnya berdekatan dengan sekolah.
Budi yang datang seorang diri, meluapkan amarahnya atas hasil PPDB SMAN 2 Bekasi yang dinilai banyak kecurangan. Dia menyebut sejumlah anak yang rumahnya lebih jauh dinyatakan lolos.
"Anehnya, anak-anak yang diterima melalui jalur zonasi adalah yang jelas-jelas rumahnya 60 sampai 100 meter di belakang rumah saya. Bahkan, ada yang lebih jauh lagi. Anak-anak itu nantinya kalau mau bersekolah lewat depan rumah saya," kata Budi saat ditemui Liputan6.com.
Dia menduga telah terjadi kecurangan atas pendaftaran anaknya yang dilakukan pihak sekolah. Sang anak yang sudah jauh-jauh mendaftar online, baru diklarifikasi pihak sekolah pada H-1 pengumuman seleksi.
Keanehan lain juga diungkapkan Budi. Ketika anaknya mengajukan pendaftaran, jarak antara rumahnya ke SMAN 2 Bekasi tertera 623 meter. Namun, usai diklarifikasi pihak sekolah, jaraknya berubah menjadi 781 meter.
"Saya membuat pernyataan di atas meterai, bahwa jarak koordinat anak saya adalah 623 meter. Namun, tiba-tiba ada informasi dari pihak sekolah yang sudah diverifikasi operator, jaraknya itu berubah menjadi 781 meter. Kita tidak dikonfirmasi lagi. Namun, ada beberapa anak yang dikonfirmasi dan jaraknya itu diubah menjadi jarak terdekat," ucapnya.
Lebih Parah daripada Tahun-Tahun Sebelumnya
Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online dianggap banyak masalah. Tak sedikit orang tua murid yang pusing bukan kepalang dengan sistem online tersebut. Beberapa keluhan juga disampaikan warganet di instagram milik Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai meskipun pelaksanaan PPDB online 2023 sudah selesai, namun masih mewariskan sejumlah masalah yang belum usai. Dia menyebut pelaksanaan PPDB kali ini lebih buruk daripada tahun-tahun sebelumnya.
"Semua masalah yang terjadi di 2023 tidak ada yang baru, terjadi sejak lama, maladministrasi, titipan kursi, manipulasi KK. Bagi kami ini wujud pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah karena itu bukan kasus baru. Banyak juga melibatkan sekolah dan pemerintah adalah titipan, jual beli kursi, itu kasus yang gelap dan kesannya dibiarkan," kata Ubaid kepada Liputan6.com.
Sejumlah kecurangan tersebut akibat dari berbagai persoalan yang belum terselesaikan. Misalnya jumlah sekolah negeri yang disediakan pemerintah sangat terbatas atau tidak memadai. Contohnya di DKI Jakarta yang hanya 33 persen dari keseluruhan sekolah.
Bahkan fenomena tersebut juga terjadi di semua kabupaten/kota. Ubaid menilai hal tersebut yang menjadikan sekolah negeri menjadi rebutan oleh masyarakat. Lalu ada persoalan anggapan sekolah favorit atau unggulan di benak orang tua murid. Kualitas pendidikan yang belum merata, menurut Ubaid juga perlu menjadi fokus perbaikan.
Karena itu, dia meminta Pemerintah dapat mengembangkan skema PPDB. Salah satunya dengan menyediakan 100 persen sekolah yang dibutuhkan dengan menggandeng sekolah swasta. Hal tersebut agar tidak terjadi diskriminasi.
"Ada public private partnership. Kalau nunggu Pemerintah membangun sekolah butuh waktu dan biaya, sedangkan kebutuhan anak harus segera terpenuhi. Kolaborasi dengan swasta harus dikembangkan," ucap dia.
Dengan jumlah sekolah yang mencukupi, PPDB dinilai tidak perlu menggunakan mekanisme seleksi, namun melalui sistem undangan. Sebab, dengan sistem seleksi sama halnya dengan lotre atau rebutan kursi sekolah.
Ubaid mengusulkan Pemerintah menggunakan sistem undangan kepada calon peserta didik sesuai dengan zonasinya. Sistem undangan dapat diibaratkan layaknya tempat pemungutan suara (TPS) yang memberikan undangan kepada warga untuk memilih.
"Undangan itu akan menenteramkan hati orang tua bahwa semua anak mendapat undangan untuk bisa masuk sekolah. Undangannya masuk sekolah mana, itu bisa menggunakan zonasi. Agar anak bisa dapat jatah sekolah, baik negeri maupun swasta yang sudah bekerja sama dalam pembiayaannya yang dibiayai full oleh Pemerintah," papar dia.
Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 Multitafsir?
Ubaid menilai permasalahan PPDB saat ini bermuara pada beberapa poin dalam Permendikbud Nomor 1 tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan yang dianggap multitafsir.
"Jadi tahun depan harus ada Permendikbud baru dan sistem baru. Jangan hanya menganakemaskan sekolah negeri, mengekslusi sekolah swasta, jangan hanya memfasilitasi gratis anak-anak di sekolah negeri, sementara yang di swasta harus bayar mahal," tutur Ubaid.
Sementara itu, terkait sejumlah dugaan kecurangan yang sering terjadi Ubaid meminta agar Kemendikbud dan Dinas Pendidikan dapat saling berkoordinasi dengan multi-stakeholder untuk mengungkap kasus yang ada. Ubaid menyebut koordinasi tersebut harus melibatkan banyak pihak dan butuh political will yang serius.
Kemudian Kemendikbud, Dinas Pendidikan, dan aparat penegak hukum harus menindaklanjuti semua laporan masyarakat yang diadukan ke berbagai pihak. Mulai dari Ombudsman, Kemendikbud, Dinas Pendidikan, LSM, dan KPAI.
"Dewan Pendidikan dan juga Irjen di Kemendikbud dan Kemenag harus bekerja untuk menuntaskan kasus ini. Jangan hanya diam saja dan makan gaji buta. Mereka digaji oleh masyarakat dari APBN untuk melakukan pengawasan, pencegahan, dan tindak lanjut kasus," ujar Ubaid.
Selanjutnya Kemendikbud dan Dinas Pendidikan harus membuat tim investigasi yang independen yang melipatkan semua stakeholder pendidikan, termasuk masyarakat sipil, untuk menindaklanjuti kasus ini sampai ke ranah hukum.
"Segera evaluasi dan revisi Permendikbud No.1 tahun 2021. Regulasi ini dinilai tidak berkeadilan dan menimbulkan banyak kasus diskriminasi di level implementasi," tandas dia.
Advertisement
Keluhan dan Permasalahan PPDB 2023 Bentuk Kejadian Ulang Setiap Tahun
Sejumlah orang tua dan siswa masih mengalami permasalahan dalam pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2023. Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais menyebut, berbagai permasalahan PPDB kali ini merupakan kejadian berulang setiap tahun.
Meskipun ada perbaikan setiap tahunnya, kata dia, terdapat sejumlah hal baru yang terungkap.
"Misalnya, dulu (masyarakat) malu-malu mindahin satu anak, sekarang bisa sampai 5-6 anak. Itu jadi temuan baru. Persoalan yang berulang meskipun beberapa daerah juga udah melakukan perbaikan tapi kembali lagi ini menjadi persoalan klasik yang belum bisa dipecahkan dari dulu sampai sekarang," kata Indraza kepada Liputan6.com.
Kisruh jalur zonasi hanya salah satu permasalahan dalam PPDB 2023. Indraza menyebut permasalahan dalam sistem PPDB online terjadi mulai dari persiapan hingga daftar ulang siswa baru. Karena itu berbagai langkah perbaikan harus dapat dilakukan mulai dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah.
Untuk persiapan PPDB terdapat sejumlah perbaikan. Mulai dari aturan teknis tingkat provinsi/kota/kabupaten, sarana dan prasarana, hingga jumlah petugas. Saat masa pendaftaran ada beberapa kendala misalnya jangka waktu yang terlalu sempit sampai kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.
"Ada empat jalur zonasi, afirmasi, prestasi dan pindah. Ini juga ada tantangannya. Misal, zonasi kita tahu ada banyak masyarakat yang memanfaatkan kemudahan dalam proses administrasi kependudukan tapi digunakan untuk hal yang tidak terpuji ini," ucapnya.
Selanjutnya, untuk jalur prestasi memerlukan waktu cukup lama melakukan verifikasi atau validitas sertifikat hasil perlombaan non-akademik. Bahkan terdapat sejumlah dugaan kecurangan seperti halnya perbaikan nilai rapor jelang hari terakhir pendaftaran.
"Lalu jalur afirmasi kita tahu semua data terpadu kesejahteraan sosial kita masih lemah, sehingga kadang kadang dimanfaatkan. Untuk jalur pindah banyak orang tua atau masyarakat yang tidak memahami kadang terisi penuh kadang tidak terisi," ujar dia.
Kemudian usai pengumuman dan adanya daftar ulang, permasalahan terkait PPDB masih berlangsung. Mulai dari munculnya jumlah bangku baru tambahan, titipan pejabat hingga tokoh masyarakat, serta biaya pungutan.
"Permasalahan PPDB sangat banyak dan perlu kita dalami satu-satu dan lalu kita pilah mana yang bisa segera kita lakukan perbaikan dan mana memang tersusun aturan ulang," papar Indraza.
Indraza menegaskan, penyelenggaraan PPDB merupakan tanggung jawab bersama dalam memberikan pelayanan publik terbaik kepada masyarakat. Karena itu dia meminta para kepala daerah untuk menindak secara tegas praktik kecurangan dalam proses PPDB.
Sebab penyelenggaraan PPDB tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah. "Penyelenggaraan PPDB merupakan tanggung jawab bersama dalam memberikan pelayanan publik terbaik kepada masyarakat," jelas Indraza.
PPDB Berbasis Zonasi Tak Sejalan dengan Tujuan Awal
Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema menilai pelaksanaan PPDB berbasis zonasi bertolak belakang dengan tujuan awal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Salah satunya terkait kuota zonasi untuk anak SD hanya 80 persen dan SMP, SMA, dan SMK 50 persen.
"Ini bertentangan dengan ide dasar nya karena kuota PPDB berbasis zonasi diperbanyak agar akses pendidikan tidak terlalu jauh," kata Doni kepada Liputan6.com.
Lalu, Doni menyoroti mengenai proses alur PPDB di masyarakat dinilai tidak sesuai dengan ketentuan dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Alur yang benar yaitu zonasi, afirmasi, pindah tugas orang tua, kemudian prestasi akademik dan non akademik.
"Tapi beberapa Pemerintah Daerah mereka justru bolak-balik. Ini jadi masalah karena apa, harusnya zonasi dulu ada ruang afirmasi perpindahan lalu prestasi bukan mengecilkan arti prestasi tapi buat prioritas terkait akses," ucapnya.
Selain itu, Doni menilai pelaksanaan PPDB kali ini diikuti dengan berbagai kecurangan yang sangat jelas. Seperti halnya masyarakat yang tinggal sekitar sekolah unggulan yang membisniskan anggota di Kartu Keluarga (KK).
"Tahun 2023 lebih parah, warga berani membisniskan. Ini banyak terjadi KK satu KK 10 famili. Kecurangan selain itu data kelompok pra sejahtera dibisniskan juga," ujar Doni.
Penambahan Sekolah Merupakan Kewajiban Pemerintah Daerah
Inspektur Jenderal Kemendikbud Chatarina Muliana Girsang mengakui sejumlah masalah yang sering kali terulang saat pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Untuk penetapan zonasi telah diserahkan kepada kebijakan masing-masing Pemerintah Daerah (Pemda).
Mulai dari penentuan jarak hingga geografisnya. Sebab sebaran letak sekolah berbeda-beda. Ada yang berlokasi di gunung hingga dekat sungai.
"Mungkin jaraknya dekat, tapi karena ada sungai, dia tidak ada akses melewati jembatan, dia harus muter jadi jauh. Jadi itu kita serahkan bagaimana geografis masing-masing daerah. Harapan kami, prinsipnya yang semakin dekatlah yang diterima," kata Chatarina kepada Liputan6.com.
Tujuan adanya zonasi agar ada pemerataan keadilan. Hal itu guna mengantisipasi adanya anak dengan nilai kurang tidak diterima di sekolah negeri. Ataupun hanya anak yang mampu saja yang dapat bersekolah negeri.
Selain itu dengan zonasi, Chatarina menyebut untuk mengantisipasi tidak adanya penambahan sekolah di setiap wilayah. Bahkan, jumlah sekolah SMP saat ini lebih sedikit ketimbang SD dan SMA/SMK tidak lebih banyak dari SMP.
Berdasarkan data BPS, jumlah SD pada tahun ajaran 2021/2022 adalah 148.992 sekolah. Sedangkan jumlah SMP 41.402 sekolah, kemudian SMA 14.007 sekolah dan SMK 14.199 sekolah. Karena hal itu, dia menyebut untuk melaksanakan wajib belajar, setiap Pemda harus dapat menyediakan sekolahnya.
"Ini yang harus kita sadarkan kembali ke pemerintah daerah, memang kita harus menambah sekolah, karena pemerintah daerah punya kewajiban. Setiap anak-anak sesuai dengan jenjang umurnya masuk ke jenjang yang sesuai dengan aturan. Ini kewajiban pemerintah daerah," tutur dia.
Kemudian, terkait membludaknya orang tua siswa pindah Kartu Keluarga (KK) dekat sekolah unggulan merupakan bentuk tidak adanya verifikasi dari pihak sekolah. Apalagi ketika satu KK didominasi dengan anak kelahiran tahun yang sama.
Hal tersebut kata Chatarina bukan kesalahan regulasi yang ada, namun tataran implementasi yang dimanfaatkan oleh segelintir oknum.
"Kita sudah menyampaikan, apapun yang diinput dalam sistem, data dukungnya harus diupload. Nah ketika ada KK yang isinya 10 anak, lalu tahun lahirnya, satu tahun bisa lebih dari dua, kan tidak mungkin. Seperti itu harusnya dalam mekanisme verifikasi tersingkir, inilah yang tidak dilakukan," papar dia.
Chatarina menegaskan pihaknya terus melakukan pengawasan terkait sejumlah dugaan kecurangan dalam pelaksanaan PPDB oleh oknum guru, sekolah, ataupun Dinas Pendidikan. Sanksi berat yang diberikan yaitu pidana.
"Karena bisa saja ada titipan karena paksaan dari atasan. Tapi kalau ada oknum guru menawarkan, itu berarti pidana. Tinggal diproses secara pidana saja. Kita harus mendudukkan kembali, apakah ini pelanggaran administrasi ataukah memang murni bentuk tindak pidana korupsi," ujar dia.
Advertisement