Kumpulan Puisi Khairil Anwar yang Fenomenal dan Dikenang Sepanjang Masa

Puisi Chairil Anwar mencakup berbagai topik, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, seringkali hingga banyak interpretasi. 

oleh Panji Prayitno diperbarui 27 Jul 2023, 13:00 WIB
Pengunjung melintas di depan lukisan Chairil Anwar yang dipamerkan pada pameran seni rupa koleksi nasional #2 yang bertema Lini Transisi di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (13/8/2019). Pameran berlangsung hingga 31 Agustus mendatang. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Sosok Chairil Anwar merupakan salah seorang penyair Indonesia yang memiliki sejumlah karya fenomenal. Ia diyakini telah menulis puluhan karya sastra termasuk puisi.

Chairil lahir dan besar di Medan sebelum pindah bersama ibunya ke Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1940. Saat itu pula, ia mulai menekuni sastra.

Setelah Chairil menerbitkan puisi pertamanya pada tahun 1942, ia terus menulis. Puisi Chairil Anwar mencakup berbagai topik, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, seringkali hingga banyak interpretasi. 

Selama ia hidup, Chairil Anwar telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 karya puisi. Namun, kebanyakan karyanya tidak pernah dipublikasikan hingga kematiannya.

Penyebab dari kematiannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi menurut dugaan Chairil Anwar meninggal karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

Berikut merupakan puisi puisi Chairil Anwar yang fenomenal dan dikenang sepanjang masa.

Tak Sepadan

Aku kira

Beginilah nanti jadinya

Kau kimpoi, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pinti terbuka.

Jadi baik juga kita pahami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tinggak rangka.

Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam

Ada beberapa dahan di tingkap merapuh

Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

Sudah berapa waktu bukan kanak lagi

Tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

Sebelum pada akhirnya kita menyerah

Aku

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Krawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

Tidak bisa teriak “ Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda.

Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai,

belum bisa memperhitungkan 4-5 ribunyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan

kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkataKami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


Puisi Chairil Anwar

Senja di Pelabuhan Kecil

Kepada Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

Menyinggung muram, desir hari lari berenang

Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

Menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalandari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap

 

Di Mesjid

Kuseru saja Dia

Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia Bernyala-nyala dalam dada.

Segala daya memadamkannya

Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda

Ini ruang

Gelanggang kami berperang.

Binasa-membinasa

Satu menista lain gila

 

Persetujuan dengan Bung Karno

Ayo! Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

Dipanggang di atas apimu, digarami lautmu

Dari mulai 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api, Aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu, di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu, di uratku kapal-kapal kita betolak dan berlabuh

 

Cinta dan Benci

Aku tidak pernah mengerti

Banyak orang menghembuskan cinta dan benci

Dalam satu napas

Tapi sekarang aku tahu

Bahwa cinta dan benci adalah saudara

Yang membodohi kita, memisahkan kita

Sekarang aku tahu bahwa

Cinta harus siap merasakan sakit

Cinta harus siap untuk kehilangan

Cinta harus siap untuk terluka

Cinta harus siap untuk membenci

Karena itu hanya cinta yang sungguh-sungguh mengizinkan kita

Untuk mengatur semua emosi dalam perasaan

Setiap emosi jatuh… Keluarlah cinta

Sekarang aku mengetahui implikasi dari cinta

Cinta tidak berasal dari hati

Tapi cinta berasal dari jiwa

Dari zat dasar manusia

Ya, aku senang telah mencintai

Karena dengan melakukan itu aku merasa hidup

Dan tidak ada orang yang dapat merebutnya dariku

 

Kepada Peminta-minta

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah

Mengerang tiap kau memandang

Menetes dari suasana kau datang

Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Di bibirku terasa pedas

Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

 

Yang Terampas dan Yang Terputus

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku

Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin.

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu

tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

 

Kepada Kawan

Sebelum ajal mendekat dan menghianat

Mencengkam dari belakang ketika kita tidak melihat

Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa

Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada

Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam

Layar merah berkibar hilang dalam kelam

Kawan, mari kita putuskan kini di sini

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri

Jadi

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju

Jangan tembatkan pada siang dan malam

DanHancurkan lagi apa yang kau perbuat

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat

Tidak minta ampun atas segala dosa

Tidak memberi pamit siapa saja

Jadi

Mari kita putuskan sekali lagi

Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi

Sekali lagi kawan, sebaris lagi

Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu…!!

 

Selamat Tinggal

Ini muka penuh luka

Siapa punya?

Kudengar seru menderu

Dalam hatiku

Apa hanya angin lalu?

Lagi lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ahh!

Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal..!!!

Selamat tinggal…!!

 

Puisi Kehidupan

Hari hari lewat, pelan tapi pasti

Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru

Karena aku akan membuka lembaran baru

Untuk sisa jatah umurku yang baru

Daun gugur satu-satu

Semua terjadi karena ijin Allah

Umurku bertambah satu-satu

Semua terjadi karena ijin Allah

Tapi… coba aku tengok kebelakang

Ternyata aku masih banyak berhutang

Ya, berhutang pada diriku

Karena ibadahku masih pas-pasan

Kuraba dahiku

Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk

Kutimbang keinginanku….Hmm… masih lebih besar duniawiku

Ya Allah

Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama ditahun depan?

Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?

Masihkah aku diberi kesempatan?

Ya Allah….

Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku

Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku

Astagfirullah…

Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan

Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah

Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang

Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu

Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana

Hamba sangat ingin melihat senyumMu

di sana…Ya Allah,

Ijikanlah

 

Penulis: Belvana Fasya Saad

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya