Liputan6.com, Phnom Penh - Hun Sen menyatakan mundur sebagai perdana menteri Kamboja pada Rabu 26 Juli 2023. Ia berkuasa di Kamboja selama 38 tahun, lebih lama dari masa jabatan Presiden RI Soeharto.
Kamboja merupakan salah satu negara paling miskin di ASEAN dengan pendapatan per kapita USD 1.786 pada 2022, berdasarkan laporan Bank Dunia.
Advertisement
Meski turun dari kursi kekuasaan, Hun Sen bertekad agar anaknya jadi penguasa selanjutnya pada bulan depan.
Berdasarkan laporan Radio Free Asia, Kamis (27/7/2023), Hun Sen meminta agar rakyat memahami keingingannya untuk mundur dari kekuasaan.
"Saya ingin meminta pengertian dari rakyat sebagaimana saya tidak akan lanjut sebagai perdana menteri," ujar Hun Sen yang berkuasa sejak 1985.
Putranya yang akan berkuasa adalah Hun Manet. Ia akan membentuk pemerintahan pada 22 Agustus 2023 setelah Komite Pemilu Nasional secara resmi mengumumkan hasil pemilu Kamboja tahun ini.
Hun Sen diprediksi luas meraih 120 dari 125 kursi di Majelis Nasional untuk menjadi perdana menteri. Pemilu Kamboja 2023 mendapat kritikan dari kelompok oposisi karena penguasa disebut mengintimidasi dan membungkam lawan.
Partai Cahaya Lilin (Candlelight Party) telah didiskualifikasi pada Mei 2023 karena alasan teknis.
Oposisi Kamboja yang sedang menjadi eksil, Sam Rainsy, sempat mengunjungi Indonesia untuk mengungkap aksi Hun Sen yang tidak demokratis. Sam Rainsy turut membandingkan rezim Hun Sen seperti di Korea Utara.
Hun Sen juga mengatakan bahwa Hun Sen ingin memberikan kekuasaan kepada anaknya, serta anak-anak dari kroninya.
Oposisi Kamboja Diberangus
Pada kunjungannya ke Indonesia pada Mei lalu, tokoh penting oposisi Kamboja, Sam Rainsy, berkata Hun Sen akan melanjutkan kekuasaan hingga membangun dinasti yang tidak demokratis, seperti Korea Utara.
"Hun Sen sekarang berencana untuk digantikan oleh anak laki-lakinya sendiri. Ia ingin membuat dinasti politik, seperti di Korea Utara. Dan ia bilang, setelah anak laki-lakinya, maka cucu-cucunya yang akan menggantikan putranya," ujar Sam Rainsy dalam acara diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Jumat (19/5).
Sam Rainsy merupakan politikus Kamboja yang menjadi eksil sejak tahun 2015. Human Rights Watch (HRW) melaporkan pada 2022 bahwa pemerintah Hun Sen memang menarget pihak oposisi lewat pengadilan massal.
"Parahnya lagi, demi mengamankan dukungan dari orang-orang di kelompoknya, ia (Hun Sen) berjanji kepada anggota kelompoknya agar mereka digantikan oleh anaknya masing-masing. Jadi ini klan. Penerusan seperti klan. Feodalistik. Beberapa keluarga akan terus memerintah negara ini selamanya," lanjut Rainsy.
Politikus senior itu berkata orang-orang intelektual di Kamboja sudah sadar betapa "gilanya" kondisi di Kamboja.
Rainsy lantas meminta agar Indonesia tidak mengakui pemilu Kamboja pada Juli mendatang karena menuding badan pemilu negara itu tidak netral. Kendati demikian Indonesia yang masuk dalam ASEAN diketahui memiliki prinsip non-intervensi.
Perihal tersebut, Rainsy mengatakan sejatinya perlu ada perubahan, sebab ia yakin Kamboja akan lebih sensitif terhadap kritikan internasional.
Rainsy berkata pihak Myanmar memang lebih tertutup, sehingga lebih imun terhadap kritikan internasional. Tetapi, Kamboja butuh dukungan internasional untuk membangun proyek-proyek dan mendapat pendanaan.
Advertisement